Chapter 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

C h a p t e r 3
―Prince―

***

Sembari melangkahkan kaki, menuju arena latihan, Eu bersenandung pelan disepanjang lorong, memecah keheningan.

Para pelayan yang notabene sudah sedikit jumlahnya sejak awal, sebagian besarnya tengah berada di pemandian mengurusi Pollux, menjadi salah satu faktor utama mengapa suasana lorong begitu sunyi. Sangat sunyi sampai-sampai Eu seakan bisa mendengar detak jantungnya sendiri.

Ia berkeliaran di lorong saat ini bukanlah tanpa alasan. Ia ada disini karena amanat dari salah satu pelayan yang tadi ada bersamanya di pemandian.

"Bisakah kau membujuk pangeran untuk segera bersiap?"

Eu masih ingat wajah cemas si pelayan ketika meminta bantuannya dengan suara yang lirih. Jujur saja, meski terkesan tidak sopan, Eu sedikit merasa geli ketika ada pelayan yang memintai bantuannya setiap kali mereka harus berurusan dengan putra mahkota Sparta.

Selain penampilannya yang cukup mencolok dan bakat bertarungnya yang diatas rata-rata bahkan untuk orang Sparta, Castor juga terkenal memiliki pribadi yang keras dan mulut yang sedikit kurang ajar baik pada pria maupun wanita. Tak heran para pelayan sedikit canggung bahkan takut pada si pangeran.

Satu-satunya orang yang dapat melunakkan sikap Castor itu tak lain dan tak bukan adalah Pollux seorang. Namun karena perbedaan derajat yang ketara diantara pelayan dan putri, maka pilihan jatuh pada orang yang sekiranya sederajat dengan pelayan, cukup sering berbincang dan kelihatannya cukup dekat dengan si kembar, Euthalia.

Kesimpulannya, Eu ini adalah seorang tumbal untuk Castor setiap kali Pollux tidak bisa turun tangan.

Mengingat kembali hal itu, Eu hanya bisa meringis. Tidak, Eu tidak takut kepada Castor seperti pelayan-pelayan istana lain, ia hanya sedikit...

...malas.

Ia malas mendengar suara Castor---yang tidak sesuai dengan umur dan wajah---keluar dari mulutnya, dengan melontarkan omelan serta cibiran yang panjangnya bisa sampai memenuhi satu lembar papirus.

Eu bisa saja menolak sebenarnya, tapi ada beberapa alasan yang membuatnya tidak dapat mengabaikan segala perintah yang ada sangkut pautnya dengan Castor.

Tapi Eu juga tidak dapat menyangkal kalau Castor itu memang merepotkan.

Helaan napas panjang mengakhiri kegiatan berlarut dalam pikirannya sendiri, entah sudah berapa banyak waktu yang ia gunakan hanya untuk melamun---serta memaki Castor dalam pikirannya---yang jelas, sadar-sadar dia sudah ada didepan arena latihan.

Tapi ada yang cukup janggal menurut Eu. Arena latihan yang biasanya dipenuhi prajurit itu, sekarang kondisinya kosong, tidak ada satupun orang disana berapakalipun Eu mengedarkan pandangan ke sekitarnya.

Merasa tidak ada pilihan lain dan menunggu hanya akan membuang waktunya lebih banyak, Eu mengangkat bahu lalu dengan langkah yang sedikit ragu ia mendekat menuju ke tengah arena.

"Pangeran? Anda dimana?"

Tidak ada jawaban selain gema suara samar yang menjawab panggilannya.

"Pangeran?" Eu mencoba memanggil Castor sekali lagi, kali ini mata dan kakinya ikut bergerak mencari keberadaan si pemuda. Namun nihil, panggilannya sekali lagi dijawab oleh gema suaranya sendiri.

Sekali lagi, Eu berkata pada dirinya sendiri tiap kali ia tidak mendengar jawaban dari sosok yang ia cari. Terus menerus seperti itu hingga tanpa sadar, Eu sudah mengatakan sekali lagi kepada dirinya sebanyak lima kali.

Eu menggaruk kepalanya pelan. "Ini lebih merepotkan daripada yang kubayangkan---huh?"

Kala kesabarannya serta rasa optimisme hampir habis, matanya menangkap sekelebat warna putih dari balik dedaunan pohon yang berada ditepi arena.

Tanpa pikir panjang, Eu melangkahkan kakinya mendekati pohon tersebut.

Saat jaraknya dan pohon semakin dekat, kakinya tiba-tiba menendang sesuatu. Benda yang ditendang ukurannya memang tidak terlalu besar hingga dapat membuatnya terjatuh, tapi ukurannya cukup untuk menarik perhatian si gadis.

Ia menundukkan kepala, mendapati bagian tengah buah apel yang dipenuhi sisa gigitan. Dan ternyata benda itu tidak hanya satu. Saat Eu melihat kebawah pohon, ada setidaknya tiga benda yang sama berserakan, tersembunyi dibalik rerumputan yang sudah mulai panjang.

Dikarenakan insting dan gerakan reflek setelah melihat keadaan dan suara kunyahan samar, Eu mendongakkan kepala. Sebuah senyum tipis terkembang di wajahnya ketika ia menemukan sosok yang dicari tengah duduk santai disalah satu cabang pohon sambil menguyah buah apel, tidak menyadari atau mengindahkan kehadiran Eu.

"Pangeran Castor, anda harus segera bersiap!" Eu berteriak dari bawah pohon. Meski pemilihan katanya dapat dikatakan sopan, Castor yakin gadis itu hanya ingin menjahilinya.

Decakan yang cukup keras dikeluarkan oleh Castor sebelum si pemuda menatap Eu dari atas pohon dengan sebelah alis terangkat. "Oh, jadi yang sedari tadi berteriak itu kau rupanya?"

Eu membuang napas lelah.

"Iya itu aku. Aku tahu suaraku jelek, tapi cepat turun, kau harus segera bersiap!" si gadis kembali berteriak, kali ini membuang segala formalitas yang baru saja ia gunakan beberapa saat yang lalu.

Bukannya menjawab atau menuruti kata-kata si gadis, Castor malah memalingkan wajahnya.

"Castor? Pangeran? Hei, Casto---"

"Dimana Pollux?" si pemuda bertanya, memotong kata-kata Eu.

"Huh? Pollux---maksudku, tuan putri sedang berada di pemandian. Bukannya kau juga tahu hal itu?"

Castor kembali bergeming dan Eu memiringkan kepalanya heran.

Ia tahu beberapa hari belakangan ini, Castor menjadi sedikit lebih mudah marah dibandingkan dengan biasanya. Ia juga menjadi lebih sering menempel pada Pollux dan kadang bertingkah layaknya perisai bagi si adik kembar.

Baik, untuk yang kedua itu sepertinya berlaku untuk setiap saat.

Tapi tetap saja. Meski tidak banyak yang menyadarinya, akhir-akhir ini Castor terkesan jauh lebih protektif terhadap Pollux. Eu punya firasat bahwa hal ini berkaitan dengan fakta bahwa Pollux akan segera menikah dan kemungkinan besar akan meninggalkan Sparta kelak.

Castor mungkin takut akan hal itu, Eu juga sedikit memaklumi tingkah si sulung. Toh, siapa juga yang mau kehilangan gadis semanis Pollux?

"Kudengar tahun ini juga usiamu empat belas tahun. Bagaimana? Sudah punya calon suami?" tanya Castor, pemuda itu kembali melirik Eu dengan wajah terhias sebuah senyuman yang seolah mencemooh si gadis.

"Mana ada waktu untuk memikirkan pernikahan untuk orang-orang seperti kami?" Eu membalas Castor dengan nada yang sedikit ketus.

Castor mendengus seakan meremehkan.

"Sudahlah, hal itu tidak penting. Cepat turun dan bersiap wahai pangeran Castor---uwa?!"

Belum juga Eu selesai bicara, Castor sudah terlebih dulu melompat lalu mendarat tepat dihadapannya, cukup membuat Eu terkejut sampai mundur beberapa langkah dari tempatnya semula berpijak.

Eu mengusap dada lalu menghela napas. "Jangan mengejutkanku yang mulia."

Tanpa sedikitpun niatan untuk membalas atau bahkan mengindahkan kata-kata Eu, Castor mengambil langkah lebar menjauh dari sana.

Eu sejenak berdiri diam ditempatnya, memperhatikan figur Castor yang semakin lama semakin jauh meninggalkannya sendirian di arena latihan. Merasa dirinya sudah tidak punya peran, Eu memutar badannya hendak kembali ke pemandian.

Hingga suara Castor kembali mengalihkan perhatiannya.

"Oi kau! Tangkap ini!"

"Huh? Ap---"

Dengan kemampuan refleknya yang rata-rata, sebuah keberuntungan ketika Eu masih sanggup dan berhasil menangkap benda yang dilempar Castor tinggi-tinggi dan hampir saja mendarat di mata kanannya.

Eu mengerjap, masih memproses apa yang baru saja terjadi lalu kemudian melihat kearah benda yang kini ada didalam genggamannya.

Si gadis tersenyum miring begitu menyadari apa sebenarnya benda itu. "Ini... apa maksudnya?"

"Anggap saja bayaran, terserah mau kau apakan buah itu. Mau kau makan atau buang, aku tidak peduli," ucap Castor sambil melirik Eu dari ekor matanya. "Kalau begitu aku duluan. Oh, satu lagi..."

Si pemuda mengulas seringaian menyebalkan, lalu ia berkata kepada Euthalia dengan sangat amat enteng sebelum kembali melangkah pergi.

"... karena kebetulan hari ini ulang tahun kami, kau tidak mau minta didoakan agar nanti tidak jadi perawan tua?"

Mata Eu berkedut mendengar perkataan Castor. Si gadis hanya bisa menghela napas pasrah karena ia tahu jikalau ia membalas kata-kata Castor urusannya akan jauh lebih panjang.

Pandangannya kini tertuju pada buah apel yang ada ditangannya. Terdapat tiga bekas gigitan di buah itu, menunjukkan daging buahnya yang putih dan terlihat menggiurkan.

Eu menaikkan bahu lalu tanpa ragu mengambil gigitan pertamanya dam seketika indera pengecapnya dipenuhi oleh sensasi segar dan rasa manis. Hal itu membuat Eu mendengus setengah geli, kemudian bergumam kepada dirinya sendiri, masih setia berdiri dibawah pohon.

"Ya, akan aku anggap ini sebagai permintaan maaf kalau begitu."

Satu gigitan kembali diambil oleh Euthalia.

***

Langit biru cerah perlahan tergantikan oleh langit jingga seraya setengah bagian matahari sudah menghilang dibalik cakrawala, sementara beberapa bintang telah menunjukkan diri mendahului bulan yang tak lama lagi akan menggantikan posisi matahari.

Rombongan Pollux sudah pergi ke kuil beberapa saat yang lalu, meninggalkan Eu dan beberapa pelayan---atau mungkin juga helot---lelaki untuk berjaga dan mempersiapkan hal-hal lain yang belum selesai.

Berdiri dengan tangan memegang keranjang berisi buah-buahan segar, Eu menyandarkan punggungnya pada tembok seraya matanya melihat ke sekitar mencari dua sosok identik sejak beberapa saat yang lalu.

Kakinya yang mengetuk lantai dengan ritme semakin cepat menjadi tanda bahwa kesabarannya sudah mulai menguap.

"Eu!!"

Sebuah suara yang akrab di telinga tiba-tiba terdengar memanggilnya. Eu menoleh, matanya menangkap sepasang anak tengah berlari mendekatinya dengan membawa masing-masing satu keranjang yang entah apa isinya.

"Kalian lama," Eu berkata begitu kedua orang itu sudah berada didepannya.

"M-maafkan kami," ucap Adele sembari menundukkan kepala. Makalios yang ada disampingnya pun ikut melakukan hal yang sama.

Eu membuang napas. "Sudahlah. Ayo kita segera ke aula," ajak Eu sambil menggerak-gerakkan pelan bahunya yang sudah terasa sedikit kaku. Adele dan Makalios menjawabnya dengan anggukan kepala yang hampir berbarengan.

Sepanjang perjalanan menuju ke aula, ketiganya bergeming sibuk dengan pikiran mereka atau hal lain sambil berusaha agar tidak menjatuhkan barang yang dibawa dam menabrak tiang ataupun para pelayan yang berlalu-lalang.

"Aduh," tiba-tiba disela keheningan Makalios mengaduh, membuat Eu dan Adele yang berjalan didepannya sontak menolehkan wajah.

"Luka yang tadi masih sakit?" tanya Eu khawatir. Matanya tertuju pada bagian lengan atas Makalios yang berwarna kebiruan.

"Sedikit. Sudah tidak sesakit tadi," jawab Makalios.

"Sudah dipakaikan obat?"

"Sudah, walau cuma sedikit." kini Adele yang menjawab pertanyaan Eu. Eu baru saja membuka mulut untuk kembali bertanya, namun seakan sudah mengetahui apa yang hendak Eu tanyakan, Adele kembali berkata. "Obatnya tinggal sedikit. Kita juga harus sisakan untuk ayah."

Ah, benar juga.

Beberapa minggu yang lalu, terjadi sebuah kecelakaan yang menimpa ayah mereka ketika sedang mengurus beberapa ekor kuda. Entah karena sedikit lalai atau memang karena alasan lain, salah seekor kuda menendang bagian atas perutnya, hampir mendekati dada. Sebuah keajaiban kala si pria dengan tubuh lemah yang umurnya sudah menginjak setengah abad itu masih dapat selamat.

Tapi karena itu pula Eu, Adele, dan Makalios harus bekerja lebih keras mengingat sang ayah masih belum dapat kembali bekerja di lapangan.

Uang hasil kerja mereka akan dibagi untuk membeli bahan pokok dan obat sementara sisanya ditabung untuk berjaga-jaga akan adanya keperluan mendadak.

Jika Eu ingat-ingat lagi, uang tabungannya sudah cukup untuk membeli obat yang harganya lebih mahal---walau sedikit---daripada yang biasanya mereka beli.

Terimakasih atas keputusan bijak Eu untuk menolak merayakan ulang tahunnya yang ke empat belas.

Sebenarnya, Eu juga ingin meracik obat sendiri tapi apa daya. Tiada satupun orang di keluarganya yang paham soal hal itu. Eu pernah mencoba membuat obat diam-diam, namun yang tercipta bukanlah obat melainkan suatu hal abstrak yang mendekati definisi racun.

"Eu, awas!"

"Huh---"

Eu kadang heran. Mengapa ia sering sekali melamun di saat yang tidak seharusnya seperti sekarang ini. Terlalu fokus memikirkan tentang keluarganya sembari berjalan dengan membawa keranjang yang beratnya bukan main itu adalah pilihan terburuk yang pernah Eu lakukan minggu ini.

Peringatan Adele yang terlambat disadari Eu membuat si gadis menabrak sosok jangkung dihadapannya. Membuat tubuhnya kehilangan keseimbangan meski dirinya sudah berusaha sebisa mungkin.

"Uwa---bahaya, bahaya. Untung saja tepat waktu."

Sosok yang ditabrak Eu tadi berkata dengan nada santai nan bersahabat. Tangan kanannya berada dibelakang punggung Eu, menahan tubuh si gadis agar tidak terjengkang kebelakang sementara tangan kirinya memegangi lengan Eu.

"Kau baik-baik saja?"

Eu berkedip beberapa kali, memproses apa yang terjadi sepersekian detik yang lalu sebelum ia membetulkan posisi lalu menjawab pertanyaan yang lawan bicaranya lontarkan.

"A-aku---tidak, saya baik-baik saja. Terimakasih sudah menolong saya."

Disela perkataannya yang sedikit kacau, Eu diam-diam memperhatikan sosok didepannya.

Dia seorang laki-laki, umurnya mungkin sama atau lebih tua dari Castor, matanya kecil hingga mirip seperti rubah, perawakannya mirip dengan Castor mungkin dengan tinggi yang sedikit berbeda, dan sebuah senyum bersahabat menghias wajahnya. Dilihat dari pakaiannya, sepertinya orang ini bukan dari kalangan biasa.

Tidak hanya itu, Eu juga melihat satu laki-laki lagi disampingnya, yang satu ini terlihat lebih muda dengan ciri fisik yang sama---kecuali matanya yang lebih besar---dan ia juga mengenakan pakaian yang sama.

"Syukurlah kalau begitu, lain kali hati-hati," katanya sambil menggerakkan salah satu tangannya dengan lihai, mengambil satu buah pir yang ada didalam keranjang lalu melengos pergi bersama dengan rekannya.

"Tunggu! Buah itu untuk---"

"Jangan khawatir. Jika mereka menanyakan hal ini, bilang saja 'Pangeran Idas yang memintanya'."

Ia menyeringai sambil menatap Euthalia, Adele, dan Makalios yang terdiam, membatu ditempat sambil melempar-lempar buah ditangannya ke udara.

(Tbc)

Chap kemaren udah dikit bagian Pollux, sekarang bagiannya si Castor//walau dikit juga www

Mohon maaf kalau Castornya agak OOC, ini aku cuma mengandalkan info yang ku dpt dari My Room Lines dia + beberapa diskusi di reddit dan komentar di youtube + cocokologi sendiri, jadilah Castor yang hasemeleh begini :")

Ya pokoknya gitu lah. Semoga mata kalian ga lelah baca ketikanku.

Peace! (◍•ᴗ•◍)v

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro