Chapter 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Siang berganti malam. Obor-obor di seluruh sudut istana dinyalakan, menyinari acara dengan cahaya kemerahan yang menghangatkan malam.

Orang-orang berkumpul mengelilingi lapangan terbuka dimana tarian pyrrhic, salah satu tarian perang dimana penarinya memakai zirah lengkap dengan perisai dan tombak ditangan dan diiringi oleh suara seruling dipertontonkan.

Di tempat yang lebih tinggi dari lapangan, ada sebuah meja panjang penuh dengan berbagai hidangan yang menggiurkan. Dibelakang meja itu duduk anggota keluarga kerajaan---Raja Tyndareus, Ratu Leda, Pollux, Castor, dan juga sepasang putri kembar yang usianya terpaut dua tahun dari Castor dan Pollux, Helen dan Clytemnestra.

Namun ternyata tidak hanya keluarga kerajaan yang duduk disana, nampaknya ada dua wajah yang cukup asing bagi orang-orang di Sparta. Idas dan Lynceus, dua pangeran dari Messenia yang diundang secara khusus ke Sparta baik sebagai perwakilan kerajaan ataupun karena fakta bahwa Idas---sang pangeran tertua, tak lain dan tak bukan merupakan tunangan Pollux.

Sementara itu dari barisan penonton, Eu kembali menyesap air minum dari gelasnya entah untuk keberapa kali. Pertunjukkan tari yang biasanya sangat ia nanti entah kenapa tidak menarik sama sekali dimatanya saat ini.

Bukan berarti tariannya tidak bagus, jika saja begitu faktanya, maka orang-orang selain dirinya tidak akan menonton pertunjukkan ini dengan wajah berseri.

Eu sendiri tidak tahu apa alasan pastinya, tapi ia sadar kalau suasana hatinya mendadak menjadi jelek---jelek sekali malah, setelah ia bertemu dengan Idas dan Lynceus beberapa saat yang lalu. Agaknya samar-samar ada aura tidak mengenakkan dibalik wajah mereka yang terkesan ramah dan murah senyum.

Sembari berpikir seperti itu, sadar tidak sadar Eu melirik kearah meja keluarga kerajaan. Pollux terlihat sedang bersenda gurau dengan Helen dan Clytemnestra lalu berhenti begitu Tyndareus menegur mereka.

Di sisi lain, sambil bertopang dagu Castor memasang wajah datar, menyaksikan pertunjukkan. Tidak ada sirat ketertarikan barang sedikit saja di wajahnya.

Sejauh ini tidak ada yang aneh. Baik Castor dan Pollux bersikap seperti biasanya. Eu menghembuskan napas lelah sambil kembali meminum air yang sudah tinggal seperempat gelas.

Mungkin hanya perasaanku saja.

"Eu, kau baik-baik saja?"

Menyadari gelagat Eu yang sedikit aneh, Makalios mengalihkan perhatian yang sedari tadi terpaku kepada para penari lalu bertanya pada si gadis berambut hitam. Karena hal itu juga Makalios berhasil mengalihkan perhatian si kakak kembarnya.

"Kau terlihat murung. Ada apa?" Makalios kembali bertanya.

"Ehm, itu..."

Menggenggam gelasnya, Eu mengedarkan pandangan ke segala arah, mencari-cari alasan yang lebih umum untuk menjawab pertanyaan Makalios.

Tanpa sengaja, saat pandangannya kembali tertuju pada meja anggota keluarga kerajaan, sepasang mata tajam menatapnya balik.

Sambil bertopang dagu dan senyum yang membuat matanya semakin sipit  menghiasi wajah, pandangan Idas dan Eu bertemu. Mereka bertatapan untuk beberapa detik sebelum senyumnya bertambah lebar hingga matanya hanya terlihat seperti garis.

Sebelah alis Eu terangkat heran. Pangeran Messenia itu benar melihat kearahnya bukan? Eu melihat ke sekitar dari sudut mata, tidak ada seorangpun yang menyadari hal itu.

Kenapa perasaannya mendadak tidak enak begini?

"Eu? Halo~?"

Adele melambaikan tangannya didepan wajah Eu. Yang bersangkutan baru merespon setelah sepuluh detik berselang. Namun hal yang selanjutnya ia lakukan bukanlah menjawab pertanyaan Adele dan Makalios, ia langsung menenggak sisa air didalam gelas lalu dengan cepat bangkit dari tempatnya.

"Eu, kau ini kena---"

"Aku mau mencari angin segar dulu. Tidak akan lama kok, aku janji."

Setelah berkata seperti itu, Eu bergegas pergi dari tempatnya tanpa menoleh sedikitpun.

Adele dan Makalios saling bertatapan kala sosok Eu sudah menghilang dari pandangan. "Dia kenapa? Bukannya disini udaranya sudah segar?" celetuk Makalios.

Adele mengangkat bahu, "Entahlah. Aku juga bingung."

***

"Sejak tadi apa yang sedang kau perhatikan?"

Tangan Idas yang hendak hendak memasukkan sebutir anggur kedalam mulutnya tiba-tiba terhenti ketika sebuah suara berat terdengar tepat dari sampingnya.

Idas tersenyum sambil cengengesan. "Ah, tidak. Aku hanya melihat gadis disebelah sana, sedari tadi ia melihat kearah sini..."

Si pangeran Messenia melemparkan tatapan pada satu tempat di sisi penonton yang diikuti oleh Castor. Namun alih-alih gadis yang dimaksud, Castor hanya melihat sebuah tempat kosong di samping dua orang berambut coklat yang wajahnya cukup akrab.

Ah, sepertinya Castor tahu siapa gadis yang dimaksud.

"...ya, sekarang dia sudah pergi sih," sambung Idas sebelum ia melemparkan sebutir anggur itu ke mulutnya. "Tapi tenang saja, tuan putri Pollux tetap yang paling cantik," canda Idas seolah ia sudah dapat menebak apa yang akan dikatakan calon saudara iparnya itu selanjutnya.

Dibarengi suara dengusan sebal, Castor memalingkan wajah. "Tentu saja. Tidak ada satupun manusia yang dapat menandingi kecantikan Pollux!" ia berkata bangga sembari setengah membusungkan dada. "Tidak. Di mataku tetaplah Pollux yang tercantik meski disandingkan dengan dewi Aprodhite sekalipun!"

"Kakak!" dengan wajah memerah, Pollux menegur dan memukul pelan pundak Castor. Sang putri agaknya malu mendengar pernyataan yang blak-blakan---terkesan tak tahu malu malah---keluar dari mulut si kakak kembar. 

Pemandangan itu sukses membuat Idas terkekeh geli. "Kalian ini akrab sekali. Untuk kata-kata dari pangeran sendiri aku juga setuju. Maksudku, aku belum pernah dengar ada manusia yang dapat mengalahkan atau bahkan pantas dibandingkan kecantikannya dengan para dewa." 

Sembari memutar-mutar gelasnya yang berisi anggur, Idas mendongakkan kepala menatap langit malam berhias bintang dan bulan. Sebuah senyum misterius menghias wajahnya.

"Tapi kau tahu..." kalimat Idas dipotong oleh dirinya sendiri untuk meminum anggurnya hingga tersisa setengah gelas. 

Sang pangeran Messenia melirik kearah Castor dan Pollux yang menatapnya dengan penuh tanya. "...sebaiknya kau tidak terlalu mengagung-agungkan derajat kalian sebagai seorang dewa. Jika begitu terus, cepat atau lambat petaka akan datang menghampiri kalian."

Perkataan Idas itu seketika membuat wajah Castor menjadi kusut. Mulutnya terbuka, hendak menanyakan apa yang sebenarnya Idas maksud lewat perkataannya namun baru saja suara akan keluar dari mulutnya, suara riuh tepuk tangan menggema, menandakan bahwa tarian yang dipertunjukkan sudah usai.

"Ayo kak, sekarang giliran kita."

Pollux meraih tangan Castor, bersamaan keduanya bangkit dari tempat duduk masing-masing. Layaknya tahun-tahun kemarin, mereka akan menuruni anak tangga, berjalan menuju lapangan dengan bergandengan tangan. Maka dari itu keduanya cukup kaget kala Tyndareus menegur mereka.

"Ada apa Ayah?"

Tyndareus menepuk pundak keduanya lalu menghela napas setelah ia melihat satu persatu wajah si kembar---yang dihadiahi oleh tatapan heran sekaligus sedikit risih dari si kakak.

"Hari ini memanglah ulang tahun kalian berdua. Akan tetapi Castor, bisakah untuk tahun ini kau memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mendampingi Pollux?" dengan suara lembut dan pemilihan kata yang terkesan berhati-hati, Tyndareus menatap Castor.

Seakan tahu apa---siapa yang sebenarnya Tyndareus maksud, Castor spontan menolehkan kepala untuk melihat Idas yang sudah berdiri tepat disampingnya.

Alih-alih melepaskan genggamannya pada tangan Pollux, Castor justru memegang---cenderung meremas tangan kecil si adik.

"Kak, tidak apa." Menyadari hal itu, Pollux menyentuh punggung tangan Castor sambil berbisik. Suaranya amat lembut dan juga pelan sehingga hanya Castor yang bisa mendengarnya.

Perlu beberapa kali Pollux mengulangi kata-kata itu sebelum Castor akhirnya menyerah. Genggaman tangannya semakin melonggar hingga akhirnya lepas, tangan Castor berayun pelan beberapa kali kala genggamannya terlepas sebelum akhirnya tergantung dengan lemas.

Idas berjalan mendekati Pollux lalu berdiri di samping sang putri. Tangannya yang terulur disambut oleh Pollux dengan anggun. Sementara itu Lynceus berjalan mendekati Castor.

Tak lama setelah itu, para penonton ikut berdiri, menyaksikan keempatnya berjalan beriringan menuruni anak tangga menuju ke tengah lapangan.

Sambil menuruni tangga, diam-diam Castor melirik kearah satu tempat lewat ekor matanya. Sebuah helaan napas disusul oleh decakan pelan keluar dari mulutnya kala melihat tempat di samping dua orang berambut coklat itu masih kosong.

***

"Tempat ini memang hebat."

Sambil menatap hamparan bintang diatasnya, Eu bergumam dengan wajah tersenyum layaknya orang bodoh.

Disinilah dia sekarang, di tepi sebuah danau berair tenang yang dikelilingi pepohonan rindang. Di atas permukaan airnya, samar-samar terlihat titik-titik cahaya yang berkelap-kelip menambah keindahan tempat itu.

Kala Eu tengah menikmati suasana, suara berisik kembali terdengar setelah jeda beberapa saat. Padahal Eu sudah yakin jarak antara tempat ini dan tempat berlangsungnya pesta terbilang cukup jauh.

Menghela napas dan menyandarkan punggungnya ke batang pohon, Eu memeluk lututnya. Matanya menatap permukaan air jernih bagai cermin yang memantulkan langit berbintang dengan sirat kekaguman. Berusaha menghibur diri dan mengubah suasana hatinya yang sekarang cukup buruk mengingat ini pertama kali ia melewatkan kesempatannya untuk menari di pesta kedua teman baiknya.

Sebenarnya ada rasa bersalah ketika Eu sadar kalau dia meninggalkan Makalios dan Adele disana seenaknya, padahal ia sendiri yang dititipi kedua anak itu oleh kedua orang tua mereka.

Ia sekali lagi menghembuskan napas pasrah. Yang sudah terjadi biarlah terjadi, ia akan meminta maaf setelah acaranya selesai nanti.

Untuk kedua kalinya saat ia sedang berusaha menikmati suasana damai dan tenteram barang sebentar saja, indera penciumannya mengendus sesuatu yang rasanya cukup janggal berada ditempat seperti ini.

Perlahan ia bangkit, mempertajam inderanya yang lain ketika ia rasa bahwa sekedar mengandalkan indera penglihatannya saja tidak akan membuahkan hasil yang berarti.

Samar-samar ia mendengar suara dedaunan yang saling bergesekan tak jauh dari tempatnya berdiri serta bau anggur cukup kuat terbawa oleh hembusan angin malam menusuk kulit dan menggelitik hidungnya.

Suara serta baunya semakin jelas menghampiri Eu yang tubuhnya hampir dikuasai oleh perasaan gugup yang luar biasa.

Sialan. Kakinya mendadak tak bisa ia gerakkan, perutnya pun mendadak tidak bisa diajak berkompromi. Isi perutnya seolah diaduk---berputar-putar tak karuan, membuat rasa tidak nyaman yang luar biasa hebat.

Kala ia terfokus menebak-nebak dari mana asal suara serta bau itu berasal, Eu merasa hampir saja jantungnya copot lalu terjun ke lambung kala ia melihat semak-semak yang berada tak jauh didepannya bergerak-gerak pelan.

Dengan pelan, berusaha tidak menimbulkan gerakan tiba-tiba, Eu mengambil sebuah ranting yang tergeletak tak jauh dari kakinya lalu di acungkannya benda itu kearah semak-semak dengan posisi siaga.

Eu semakin bingung ketika sosok penyebabnya itu keluar dari semak-semak. Bingung ia harus lega atau tetap siaga mengingat yang ada didepannya ini adalah seekor babi hutan.

Ukurannya memang tidak terlalu besar, sedang-sedang saja tapi Eu yakin jika hewan itu menyerangnya, luka tadi pagi yang belum pulih juga akan bertambah parah.

Sialan.

Eu melangkahkan kakinya dengan hati-hati, berjalan menyamping sambil berusaha tidak menimbulkan gerakan tiba-tiba ataupun suara berisik. Sialnya, binatang itu sepertinya tertarik pada gadis itu. Buktinya ia mengikuti kearah mana gadis itu bergerak.

Sepertinya hewan itu memaksa Eu untuk memutar otak lagi.

Suara serta aroma yang kian mendekat sama sekali tidak membantunya untuk membantu menjernihkan pikirannya.

Tidak ada pilihan lain lagi.

Eu menggoyang-goyangkan pelan ranting di tangan, menarik perhatian hewan itu agar terfokus pada benda itu. Barulah setelah merasa rencana awalnya berhasil, Eu melempar ranting itu kearah semak-semak yang ada dibelakang pohon. Layaknya seekor anjing, babi hutan itu lekas berlari mengejar ranting tersebut dan hal itu menimbulkan suara yang cukup berisik.

Dirasa suara itu cukup untuk mengalihkan perhatian, tanpa membuang waktu lagi Eu lekas memanjat keatas pohon.

Hening.

Suasana sekitar mendadak hening bahkan ketika Eu sudah memaksimalkan indera pendengarannya namun nihil. Suasana hening begini bukan membuatnya tenang, malah membuat perutnya semakin tidak enak. Dalam kata lain, gugup.

Tiba-tiba dari arah tempat babi itu berlari, terdengar suara grasak-grusuk memecah keheningan. Sambil mencoba membiasakan penglihatannya dalam keadaan gelap gulita, Eu mengintip dari atas pohon tempatnya bersembunyi entah dari apa dan siapa.

Dari atas pohon bersembunyi dibalik dedaunan rimbun, Eu mengintip dengan menyingkap sedikit daun ke asal suara. Ia dapat melihat semak-semak itu bergoyang pelan sebelum seekor babi yang tadi keluar dari sana.

Kala ia pikir tidak ada hal yang aneh, babi itu tiba-tiba kembali masuk kedalam semak-semak. Dilihat dari manapun babi itu tidak seperti masuk sendiri kedalam semak, lebih seperti...

...ditarik?

Belum juga satu menit, Eu kembali mendengar suara, kali ini ia dapat melihat babi itu meronta dan mengeluarkan suara keras seolah meminta tolong ketika salah satu kaki depannya diangkat oleh seseorang. 

Dari arah yang satunya, seorang lagi muncul dari kegelapan dan menyambar satu kaki depan lain babi itu.

Dilihat dari tempatnya bersembunyi, Eu melihat keduanya adalah wanita. Mereka memakai chiton putih bersih, di kepala mereka ada hiasan berbentuk sulur tanaman anggur yang melingkar.

Kejadian selanjutnya cukup membuat Eu kaget dan hampir terjatuh dari tempat sembunyinya baik karena pemandangan atau suara hewan malang itu yang menjadi teriakan karena sakit yang ia rasakan ketika dua wanita itu menarik kakinya ke dua arah yang berlawanan dengan sekuat tenaga.

Bukan menghentikan kegiatan mereka ketika suara babi itu semakin keras, keduanya malah bernyanyi sembari sesekali tertawa layaknya orang yang kesetanan.

Tidak sampai disana, nyanyian serta kekehan menyeramkan kembali terdengar dari berbagai arah seolah mengepung Euthalia.

Lalu tak perlu waktu lama lagi, suara si babi semakin kecil, kecil, dan menghilang sepenuhnya ketika tubuhnya robek menjadi dua bagian karena perlakuan kedua wanita gila itu. Eu menelan ludah. Sekuat apa tenaga yang mereka gunakan?

Pemandangan selanjutnya sukses membuat Eu hampir tidak bisa menahan rasa mualnya ketika wanita-wanita yang berpakaian sama perlahan muncul dari balik kegelapan, mereka mengerubungi---menerkam mayat babi itu lalu memakannya.

Iya benar. Memakannya mentah-mentah.

Bau anyir darah tercium, menguar disekitar tempat yang beberapa saat lalu Eu anggap sangat damai ini.

Menutup mulut dengan satu tangan, Eu menolak untuk melihat atau bahkan membayangkan nasibnya jika saja ia tidak punya akal untuk bersembunyi.

Tolong maafkan aku, tuan babi.

Tak berselang lama, wanita-wanita itu berdiri menatap sebuah area yang berwarna merah kehitaman karena darah sebelum mereka kembali pergi dan menghilang ditelan kegelapan.

Eu memeluk dirinya sendiri, berusaha menenangkan dirinya yang masih enggan turun. Bulu kuduknya meremang, untuk pertama kali dalam hidupnya Eu merasa takut, sangat takut.

Dengan suara bergetar, ia bergumam pada dirinya sendiri.

"Apa yang sebenarnya terjadi?"

***

"Maaf jadi melibatkanmu dalam hal ini juga."

"Tidak, tidak apa Pangeran Idas. Ayah dan yang lainnya juga pasti mengerti."

Sembari menelusuri jalan setapak, Idas dan Pollux berbincang. Keduanya mengendap-ngendap pergi dari acara untuk mencari udara segar, meninggalkan Castor yang tengah menari dengan ogah-ogahan disana.

Mereka berjalan hingga akhirnya mereka tiba disebuah danau. "Disini tempatnya, kita sudah sampai!"

Idas bersiul kagum melihat keindahan tempat itu. "Kau tahu darimana tempat ini?"

Pollux tersenyum manis. "Ini tempatku, kakak, dan teman baik kami sering bermain. Aku kira dia pergi kemari juga tapi sepertinya tidak."

Idas mengangguk-angguk. Ia kemudian menatap Pollux yang tengah asyik melihat langit bertabur bintang diatas mereka.

"Ibu sangat bahagia ketika kau menerima lamaran kami," ucap Idas sembari memainkan rambut Pollux, mengalihkan perhatian si putri.

"T-terimakasih," balas Pollux dengan wajah merona. "Ayah juga senang bisa menjalin hubungan dengan Messenia. Walau mungkin kakak masih sedikit ragu, tolong maklumi dia."

Idas tertawa. "Aku tahu. Lagipula Pangeran Castor itu tidak dapat menyerahkanmu semudah itu bukan?"

"Kau itu cantik, ramah, dan berbakat. Kelak kau pasti akan jadi seorang ratu yang hebat dan..." Idas menggantungkan ucapannya kala Pollux terkekeh pelan.

"Kau terlalu berlebihan, tapi sekali lagi terimaka---"

"...dan juga sebuah persembahan yang amat indah."

Kata-kata Pollux terpotong ketika telinganya mendengar lanjutan kalimat Idas. Persembahan? Persembahan apa?

Dengan kaku, Pollux menoleh kearah Idas yang masih belum sedikitpun berubah raut mukanya.

"Huh?"

Senyum Pollux memudar lalu kemudian sirna seraya Idas menyeringai lebar seperti seorang predator yang sudah berhasil menjebak mangsanya.

***

C h a p t e r  4
―The Curtain Rises―

***

(Tbc)

Emm, aku masih bingung, cerita ini mending aku kasih tag nsfw / dewasa aja atau ga ya? Diliat udah ada 2 chapter yang ada unsur begini nya :")

See ya next chap!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro