Chapter 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dengan suasana hati yang semerawut dan wajah tertekuk, Castor mengedarkan pandangan menyapu area sekitar dari sudut lapangan yang gelap tak tersentuh cahaya. Mencari sosok si adik kembar yang mendadak hilang dari pantauannya.

Decakan penuh rasa sebal lantas dikeluarkan kala sepasang mata ametis itu tidak dapat menemukan apa yang dirinya cari.

Hanya wajah akrab sekaligus tak akrab milik orang-orang yang sebagian besar Castor tidak tahu―tidak peduli lebih tepatnya―namanya. Seakan tidak ada satupun diantara mereka yang sadar ataupun peduli dengan keberadaan Pollux.

Castor melirik kearah Tyndareus dan Leda, berharap raja dan ratu Sparta itu menyadari ada hal yang aneh barang secuil saja. Namun nihil, nampaknya kedua orang itu juga tidak mengindahkan hilangnya putri tertua Sparta dari area pesta.

"Dasar manusia bodoh!" Castor mengumpat setengah berbisik.

Castor menarik napas, menenangkan dirinya agar urat kesabaran miliknya yang teramat tipis dan pendek itu tidak cepat putus sesuai dengan saran Pollux dan Eu. Namun alih-alih tenang, Castor malah dibuat lebih kesal ketika nama gadis berambut hitam itu muncul dibenaknya.

Gadis itu dengan seenaknya menghilang tanpa jejak tepat sebelum acara utama dimulai. Meski benci dan enggan mengakuinya, Castor mengaku kalau Eu adalah satu dari beberapa manusia―atau bahkan satu-satunya―yang dapat mereka berdua―khususnya Castor percayai.

Toh, Castor tahu sendiri kemampuan berbohong Euthalia itu berada di titik nol besar bahkan mungkin minus. Jadi setidaknya jika saja Pollux menghilang dengan Eu bersamanya, Castor tidak akan sekesal dan secemas ini.

Castor melempar pandangannya sekali lagi kearah lapangan. Matanya langsung menangkap sosok Lynceus yang tengah menari dengan lincah dengan ditemani seorang gadis.

Detik itu pula Castor kembali berdecak sebal. Tangannya terangkat, mengacak kasar rambut emas bergelombang itu kala ia ingat dengan kemungkinan terakhir yang paling besar―dan paling buruk untuknya.

Pemuda itu buru-buru pergi dari tempatnya berdiri tanpa sedikitpun menoleh kebelakang lagi, ia berlari menjauhi pesta dan mendekati kegelapan. Entah kemana kaki akan membawanya, yang jelas Castor sudah tahu siapa yang patut disalahkan nantinya.

"Idas!"

***

"Pangeran Lynceus? Ada apa?"

Gerakan lincah Lynceus yang tiba-tiba berhenti membuat si gadis yang menjadi pasangannya itu terheran. Pemuda itu kini bergeming, matanya menatap lurus kearah pinggir lapangan yang kosong dengan tatapan yang tidak dapat dijelaskan oleh kata-kata.

"Pangeran Lynceus?" dirasa panggilannya tidak digubris oleh sang pangeran Messenia, gadis itu kembali memanggil namanya, untung saja kali ini si pemuda tersadar.

"Ah, maafkan aku. Sampai dimana kita tadi?"

Ia bertanya dengan senyum manis menghias wajahnya. Akan tetapi hal itu tidak dapat menyangkal rasa khawatir bercampur penasaran dari si gadis biasa. Alih-alih menjawab, si gadis justru menggeleng kemudian balik melontarkan pertanyaan.

"Kelihatannya ada sesuatu yang mengganggu pikiran anda. Lebih baik anda istirahat," ia berucap sopan.

Lynceus berkedip beberapa kali. Tangannya terangkat menyentuh wajah. Apa terlihat sejelas itu? Biasanya orang-orang tidak dapat dengan mudah membaca mimik wajah dirinya dan sang kakak. Antara memang hari ini ia sedikit terang-terangan atau karena faktor insting dari orang-orang Sparta yang kuat, dirinya juga tidak tahu.

Si pemuda tersenyum canggung dengan tangan menggaruk belakang kepalanya yang sama sekali tidak gatal.

"Sepertinya kau ada benarnya. Maafkan aku ya, padahal aku sudah diberi kesempatan untuk menari dengan gadis secantik dirimu," rangkaian kata-kata manis itu keluar dari mulutnya dengan teramat lancar.

Si gadis tersenyum sedikit tersipu lalu menganggukkan kepalanya. "Terimakasih atas pujian anda, pangeran. Kalau begitu, hamba izin undur diri," ucapnya sopan sebelum ia membalikan badan dan berjalan menjauh.

Lynceus kemudian melakukan hal yang sama. Pemuda itu berbalik badan dan melangkah pergi menjauhi hiruk pikuk orang-orang yang tengah asyik menari hingga lupa akan sekitarnya. Buktinya tiada satupun dari mereka yang sadar akan menghilangnya Idas beserta si kembar pangeran dan putri Sparta―begitu pula dengan dirinya yang makin menjauh dari ingar bingar pesta.

"Sepertinya si pangeran jauh lebih waspada dari apa yang kita bayangkan..." Lynceus mendongakkan kepala, menatap langit lalu terkekeh tiba-tiba.

"...semoga beruntung dan lakukanlah dengan cepat ya, kak."

***

Pollux menepis tangan Idas dengan cepat―hampir dapat disebut spontan. Ia mengambil langkah mundur, menciptakan jarak yang cukup jauh lalu dengan segera memasang kuda-kuda yang diajarkan oleh Castor padanya. Hal itu sukses membuat Idas bersiul, entah karena kagum atau hanya berniat mengolok-olok.

Meskipun begitu, Pollux bergeming. Sorot matanya penuh siaga yang berbanding terbalik dengan sorot mata polos dan lembut beberapa saat lalu itu memperhatikan sosok Idas dihadapannya dengan seksama, tanpa menunjukkan sedikitpun tanda untuk kembali merubah posisinya.

"Apa maksud perkataanmu dan apa maumu?"

Bukannya menjawab, Idas justru mendengus entah karena geli atau meremehkan. Ia mengangkat kedua bahu santai lalu berkata, "Apa maksudmu? Aku hanya memujimu, apa itu salah?"

Alih-alih membuat santai, perkataan Idas justru membuat dua kepalan tangan Pollux semakin erat. Insting si gadis berteriak bahwa ada yang tidak beres dari perilaku ataupun maksud dari perkataan Idas.

Maksudnya siapa pula yang akan menyebut calon istrinya sebagai persembahan?

Selain itu hawa disekitarnya pun sedikit berbeda dari biasanya. Pollux merasa ada beberapa―puluhan bahkan―pasang mata yang mengawasinya dari balik pepohonan dan kegelapan malam. 

"Aku tidak mau melawanmu," ucap Pollux meski si gadis masih memasang kuda-kuda dan mengacungkan tinjunya. Bukan, Pollux bukan takut kalah. Faktanya ia dapat dengan mudah melumpuhkan Idas jika dirinya berkehendak, tapi ada satu faktor yang membuat Pollux tidak mengambil langkah itu.

―Xenia.

Aturan keramahtamahan tuan rumah kepada tamu-tamunya.

Xenia sudah diajarkan kepada setiap orang sejak belia, di sana tertulis bahwa tuan rumah tidak boleh mencelakai tamunya, mereka harus melayani tamu dengan sepenuh hati, memberikan mereka hadiah, dan sebagainya karena konon tamu tersebut bisa jadi adalah dewa yang sedang menyamar.

Akan tetapi Pollux ingat betul bahwa xenia juga berlaku pada si tamu. Aneh rasanya jika Idas―yang merupakan salah satu orang terpandang―tidak mengingat bahkan tidak hapal isi dari peraturan tersebut.

Pada akhirnya Pollux menghirup napas dalam, berusaha menepis segala hal yang tengah mengganggu pikiran dengan tatapan yang masih setia terkunci pada si pangeran Messenia.

"Tenang saja, aku tidak akan menyerangmu. Sebagai pewaris takhta aku tahu tata krama."

"Benarkah itu?"

Idas mengangguk. "Aku bersumpah demi Zeus."

Menghela napas, Pollux kemudian berdiri tegap lalu merapikan pakaiannya, memutuskan untuk mempercayai perkataan Idas. Meskipun begitu, netra amethyst si gadis tak henti menatap Idas dengan penuh selidik, masih ada sedikit rasa curiga didalam hatinya namun ia takut semua hal tadi hanyalah prasangka buruknya saja yang timbul karena rasa gugup.

Pollux buru-buru menggelengkan kepala, menepis segala pikiran aneh yang muncul di benaknya. Pollux tidak boleh dan tidak mau memikirkan hal itu lagi. Jika terus seperti itu, sama saja ia telah melanggar xenia.

Baru saja satu langkah ia ambil untuk mendekati Idas, si pangeran tiba-tiba mengoreksi perkataanya beberapa saat yang lalu. Dan kata-kata itu sukses membuat kedua mata Pollux melebar dan tubuhnya mendadak kaku.

"Aku tidak akan menyerangmu. Atau mungkin bisa kukatakan―

bukan aku..."

Setelah itu semuanya terasa terjadi dengan sangat lambat. Meski ia yakin bahwa dirinya berlari, Pollux tidak bisa menghentikan tangan Idas terangkat mendekati bibir, memasukan jari jempol dan telunjuk layaknya seorang pengelana yang hendak memanggil tunggangan.

Entah apa itu tapi Pollux tahu bahwa Idas akan memanggil sesuatu. Dan sesuatu yang dimaksud itu bukanlah sebuah pertanda baik.

Akan tetapi tubuh Pollux dibuat kembali mematung kala suara cukup keras serta erangan kesakitan Idas terdengar.

Si pangeran Messenia jatuh berlutut sembari memegang bagian belakang kepalanya, menggagalkan usahanya untuk bersiul memanggil kawannya.

Perhatian Pollux beralih dari Idas pada sosok pelaku yang membuat Idas sampai seperti ini. Matanya melebar kala ia melihatnya―melihat sosok seorang gadis yang tengah berdiri di belakang Idas, dengan sebuah batang kayu digenggamnya dengan erat.

***

"Eu!"

Euthalia―si pelaku yang memukul kepala Idas dengan batang kayu―buru-buru berjalan kehadapan Pollux. Ia merentangkan tangan, seolah membuat perisai bagi Pollux yang notabene-nya lebih tinggi dari dirinya itu.

"Menjauh dari tuan putri!" ucapnya dengan suara meninggi. Setelah mengatakan hal itu, Eu lekas menolehkan kepala kearah Pollux. "Anda baik-baik saja tuan putri?"

"A-ah, ya. Aku baik-baik saja," Pollux menjawab sedikit terbata-bata, masih sedikit kaget karena sepak terjang Eu yang tiba-tiba dan juga tidak ada takut-takutnya itu.

Dilain pihak, melalui ekor mata, Eu melihat pohon yang berada sekitar lima meter diseberang danau dan juga merupakan tempat ia semula bersembunyi serta menyaksikan kejadian yang cukup mengerikan itu dengan mata kepalanya sendiri. Pandangannya beralih, kali ini menatap titik yang berada tak jauh di samping pohon itu. Warna hitam kemerahan itu nampaknya tidak terlalu terlihat dari tanah datar, didukung dengan pencahayaan minim, pantas saja Pollux tidak menyadari hal itu.

Erangan kesakitan berganti dengan kekehan geli nan menyeramkan, membuat keduanya kembali siaga. Idas perlahan bangkit dari posisi berlutut, tangan kanannya masih setia mengelus belakang kepala, sebelah alisnya terangkat dan bibirnya membentuk sebuah seringai penuh sindiran.

"Astaga, aku kira siapa, ternyata gadis ceroboh yang kutemui tadi sore. Selamat malam, kau tidak tersesat 'kan?" tanyanya dengan nada ramah yang dibuat-buat.

"Apa yang kau rencanakan?"

Layaknya memegang sebuah pedang, Eu mengarahkan batang kayu itu kearah depan―menunjuk tepat ke arah Idas. Yang bersangkutan justru mengangkat bahu seperti tak punya dosa apapun.

"Ya ampun, ternyata selain ceroboh, nona muda ini tidak sopan juga. Apa kau tidak takut dihukum karena sudah melanggar xenia?"

"Jangan jadikan xenia sebagai tamengmu! Aku lebih memilih dikutuk daripada melihat temanku dalam bahaya dan tidak melakukan apa-apa." dengan suara sedikit naik, dahi Eu berkerut dan tangannya semakin erat menggenggam batang kayu sebagai upaya meredam emosinya. "Lalu bukankah kau juga harus berkaca?" sambung Eu.

Bukannya menjawab, Idas malah mengerjap singkat kemudian tertawa.

"Lalu? Apa yang akan kau lakukan kepadaku selanjutnya? Hm?" tanyanya sedikit menantang.

―"Sial..."

Eu terperanjat hingga umpatan yang ada dibenaknya tanpa sengaja meluncur keluar dari mulutnya dengan lancar tanpa ia sadari. Pada dasarnya Eu mengambil langkah ini murni karena insting, hingga jujur saja ia belum memikirkan tindakan apa lagi yang akan ia lakukan setelah memunculkan batang hidungnya dihadapan Idas dan Pollux.

Idas kembali membuka mulutnya, "Kenapa? Jangan bilang kau tidak tau apa yang akan kau lakukan selanjutnya? Pfft―!"

Dahi Eu berkerut. Sejak awal ia sudah menduga ada yang tidak beres dengan pangeran yang satu ini. Gelagatnya, mimiknya, suaranya, semuanya terasa begitu aneh hingga membuat instingnya selalu membunyikan tanda bahaya. Belum lagi beberapa saat yang lalu Eu melihat kejadian luar biasa itu, membuat kecurigaannya pada Idas semakin kuat. Sebenarnya bisa saja ia mengatakan dugaannya pada Idas yang sejak tadi ada dibenaknya, dugaan bahwa Idas mempunyai sangkut paut dengan para wanita itu. Kalimat-kalimat itu memintanya untuk dibebaskan dari belenggu dan keluar lewat mulut dengan suara lantang. Namun sayang, ada satu hal tidak dapat ia definisikan yang membuat suaranya tercekat di tenggorokannya.

Menyadari keadaan Eu, terbesit inisiatif untuk kembali maju dalam benak Pollux. Gadis itu sudah hapal betul bahwa Eu adalah tipe orang yang bertindak terlebih dulu dan berpikir belakangan.

Namun sesaat sebelum ia bertindak, Pollux melihat sekelebat bayangan bergerak dengan cepat―amat cepat malah―menuju kearah mereka dari belakang punggung Idas. Ametisnya menangkap kilatan cahaya samar dari besi yang merefleksikan cahaya temaram bulan diantara pepohonan yang menyembunyikan sosoknya. Meski begitu, Pollux dapat langsung tahu apa dan siapa sosok itu sebenarnya.

"!"

Semua terasa terjadi dengan sangat cepat. Saking cepatnya, kepala Eu dan Idas belum sempat memproses kejadian dengan benar.

Tadi Pollux tanpa berbicara lagi menarik lengan Euthalia, mendekatkannya seraya dirinya menjatuhkan tubuh ke tanah. Tindakan itu sukses membuat batang kayu di tangan Eu terlempar entah kemana.

Sepersekian detik kemudian, suara desingan pedang yang diayunkan memecah keheningan malam, membelah udara, serta menyayat wajah Idas. Menciptakan luka sayat memanjang dari atas mata kanan hingga ke pipinya.

"Kau pikir apa yang kau lakukan?!"

Suara berat yang penuh amarah dan menguarkan aura gelap yang ketara. Tanpa melihat sosoknya saja baik Eu dan Pollux tahu siapa gerangan si pemilik suara ini.

Perlahan keduanya menolehkan kepala. Kedua pasang mata itu melihat sosok Castor yang membawa sebilah pedang ditangan kanan dengan Idas yang jatuh terduduk dengan kepala tertunduk.

Eu dapat merasakan genggaman Pollux pada tangannya semakin kuat kala si gadis pirang itu menatap wajah si kakak kembar. Eu dapat memakluminya, karena pada dasarnya ia juga merasa sedikit merinding ketika melihat sorot mata penuh benci dan raut wajah yang amat gelap itu.

"Angkat wajahmu dan tatap aku." ujung pedang runcing itu diacungkannya tepat didepan wajah Idas.

Dengan sisi kanan wajah tertutup tangan, Idas mengangkat kepalanya perlahan. Cairan kental berwarna merah mengalir dari pipi menuju ke leher hingga menodai pakaiannya.

"Ah, itu cukup menyakitkan," katanya enteng. Ia menjauhkan tangan yang menutupi sisi kanan wajahnya itu lalu kemudian menatapnya sebentar, memperhatikan noda merah disana sebelum ia kibas-kibaskan seolah hal itu bukanlah sebuah masalah besar.

"Wah, wah. Selamat malam pangeran Castor. Bagaima―"

Belum sempat Idas menyelesaikan kalimatnya dan juga lukanya pulih, sebuah tinju mentah kembali ia dapatkan dari Castor hingga tubuhnya tumbang dan terbaring diatas tanah seraya si pemuda pirang itu melempar pedangnya. Tidak sekali atau dua kali. Castor meninjunya berkali-kali, hampir tanpa sedikitpun jeda, melampiaskan amarahnya hingga Idas tak dapat sedikitpun memberi perlawanan.

"Eu!"

Dirasa Castor sudah kelewatan, Eu mendorong tubuh Pollux pelan, membebaskan dirinya sendiri lalu berlari sambil tersandung-sandung kearah si pangeran Sparta. Ia harus menghentikan Castor secepatnya, instingnya berkata jika tidak segera dihentikan, hal buruk akan menghampiri si pemuda.

"Pangeran! Cukup!"

"Diam!"

Eu menahan tangan Castor yang hendak kembali mendaratkan tinju kepada Idas. Namun alih-alih mendengarkan perkataan Eu dan berhenti, Eu malah dihadiahi bentakan. Castor menepis tangan Eu dengan kasar bahkan lebih mirip seperti melayangkan tinjunya ke sembarang arah sampai tanpa sengaja ia mengenai wajah si gadis, sukses membuatnya terdorong kebelakang.

"Ini urusanku dengannya! Jangan ikut cam―"

"Kakak!"

Genggaman tangan serta suara Pollux yang memanggilnya sukses membuat Castor yang tengah gelap mata itu perlahan kembali mengumpulkan akal sehatnya yang beberapa saat yang lalu berhamburan.

"Pollux..."

Ia melirik kearah kanannya dengan kaku, dilihatnya kepala bersurai emas itu bergetar pelan. Tangannya menggenggam―memeluk lengannya semakin erat, meminta si pemuda agar tidak melanjutkan apapun yang ia lakukan saat ini.

"Cukup, kumohon jangan teruskan lagi," pinta Pollux dengan suara bergetar.

Castor mengalihkan pandangan pada Idas. Seketika tatapannya yang semula penuh rasa benci itu tergantikan dengan tatapan penuh kengerian yang begitu jelas tergambar.

"Apa kau sudah selesai mengamuk? Pangeran?"

Kepalan tangannya perlahan melemas kala Idas menanyakan hal itu dengan entengnya. Mengabaikan wajahnya yang penuh luka lebam dan juga berdarah-darah. Ia tersenyum, lalu tangannya bergerak mencengkeram pergelangan Castor yang lain.

"Seperti yang diharapkan dari si pangeran Sparta dan juga salah satu Dioscuri, kekuatanmu mengerikan."

Sambil berucap seperti itu, terdengar suara bergemuruh dari langit. Castor, Pollux, dan Euthalia yang baru saja berhasil bangkit langsung mendongakkan kepala sambil menutup hidungnya yang mengeluarkan darah. Matanya melebar, langit berhias bulan dan ribuan bintang itu sekarang tertutup oleh awan-awan hitam seolah badai akan datang saat itu juga.

"Aku sarankan lain kali jangan terlalu tunjukkan kelemahanmu secara terang-terangan," Idas berucap. Pandangannya tertuju pada Pollux. Menyadari hal itu, Castor kembali mencengkeram pakaian Idas.

"Bajinga―"

"Tapi kali ini aku berterimakasih, karena hal itu malam ini aku berhasil menjebak sepasang bintang." Idas memotong perkataan Castor. Seringai jahat muncul diwajahnya seraya pupil matanya mengecil.

"Jayalah dewa kami―"

Kilatan dan suara sambaran petir muncul bersamaan, menyamarkan kata terakhir yang diucapkan oleh Idas. Belum sempat apa-apa lagi, seseorang tiba-tiba menarik Idas, memaksanya berdiri lalu segera berlari pergi meninggalkan ketiga orang Sparta itu.

"Sampai jumpa lagi wahai Dioscuri! Mari kembali bertemu lain waktu!" teriaknya sebelum menghilang dibalik kegelapan malam.

Malam itu, ingar-bingar musik iringan pesta terhenti, tergantikan oleh petir yang terus menyambar dan menyamarkan teriakan penuh amarah seorang pemuda.

***

C h a p t e r  5
―Let The Stars Fall Down...―

***

Di hari lahir mereka semuanya berawal. Kehidupan mereka yang penuh kebahagiaan, kesedihan, dan juga petualangan yang diberkati oleb para dewa. Mereka pikir semuanya akan berjalan seperti itu saja, monoton tanpa sedikitpun tantangan yang berarti. Namun, di ulang tahun mereka yang keempat belas tahun, titik awal yang sebenarnya menampakkan diri.

Menampakkan diri sesaat setelah sepasang bintang kembar itu diusir dari langit.


(Tbc)

Halo~
Akhirnya PTS ku beres gaiss :"))) merdeka sekali rasanya. Tapi entah bakal ada remed atau ga nya, sudahlah.

BTW, chapter ini tu chap terakhir dari arc pertama. Jadi mulai chap depan udah masuk arc kedua~
Tadinya aku bakal tembusin sampe 3k kata tapi ternyata ga bisa whaks.

Yeay~
Doakan kedepannya ga terlalu OOC, typo, dan sebangsanya yak :")

Sama buat para pembaca yang iseng nyari nama tokoh selain Main Trio + Adele dan Makalios, congratulations! Kalian telah men-spoiler diri kalian sendiri 😂😂

Tapi aku ga larang kok, bagi yang penasaran silahkan search aja lumayan kan sekalian baca mitologi wwww

お楽しみに――

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro