14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Beaufort menatap Watson yang baru saja pulang. Tanpa menghiraukan panggilan tantenya, dia bergegas menuju kamarnya.

Kalau tidak salah pelaku pembunuhan kasus yang sedang mereka tangani lihai dalam menyamar dan menghipnotis. Apa benar yang ini bukan Watson? Pikiran Beaufort semrawut, kedua alisnya bertaut jengkel. Inilah mengapa dia membenci misteri atau profesi detektif.

Beaufort tidak suka berpikir!

"Sepertinya aku harus memastikannya sendiri." Tak ada pilihan lain. Beaufort keluar dari ruangannya, menatap lantai dua.

Pintu kamar Watson tak tertutup. Beaufort dengan mudahnya mengintip apa yang tengah dilakukan cowok itu. Sebuah gambar huruf M besar terpampang di dinding kamar. Terdapat banyak kata-kalimat tumpang tindih.

Kriet! Aduh, sial. Pintunya berdecit.

Watson berhenti menggambar, menoleh. "Paman? Ngapain di situ?"

Beaufort berdeham, masuk ke dalam dengan keren, seolah tidak ada yang terjadi. "Kenapa kamu bekerja keras pada kasus ini?"

"Karena menarik."

Beaufort menaikkan satu alis ke atas.

"Logika, motif, gaya pembunuhan, semuanya disusun sedemikian rupa. Aku menyukai kasus yang berseliwer. Menjadikan boneka wayang sebagai wadah untuk tubuh korban yang dimutilasi, menghipnotis korban agar membunuh diri sendiri, menyamar demi mendapat informasi. Aku suka tipe kasus seperti itu."

"Aku heran, seberapa dalam Ayahmu menyesatkanmu."

"Apa hubungannya..." Watson mendesah.

Dia terlihat normal. Tidak ada keanehan. Apa aku terlalu memikirkan perkataan Inspektur tadi pagi? Tapi ekspresinya tidak bercanda. Beaufort kini menatap tangan Watson. Satu-satunya cara memastikan dia asli atau bukan adalah tanda lahir di lengan.

Watson mengelus dagu. "Ada yang aneh dari simbol Mupsi dan lambang sekolahku Madoka. Bukan mirip, tapi... Bagaimana cara mengatakannya, ya? Dua simbol ini saling kompatibel... Ng?" Watson memergok Beaufort sama sekali tidak mendengar analisisnya, sibuk mencari celah. "Paman masih mencurigaiku, ya?"

"Aku kepikiran peringatan Inspektur. Jadi, bisakah kamu tunjukkan tanda lahirmu?"

Watson menghela napas. "Merepotkan."

"Apa katamu-"

Watson menyingkap lengan bajunya. Ada tanda lahir di bahu kanan. "Puas? Masih mau mencurigaiku? Aku ini asli. Nanti aku mengadu ke Tante lho."

Beaufort mendengus, melangkah pergi. "Apa susahnya memperlihatkan itu."

Klek! Pintu tertutup.

Pandangan Watson kembali ke dinding, ke gambar yang dia lukis. Sorot mata datar. "Terlalu lama. Bahkan sudah kedatangan anggota prior, investigasi tidak berkembang. Ini mulai membosankan." Dia menggaruk lehernya yang gatal karena perban. "Aku harus bertahan."

Di sisi lain, Beaufort mendudukkan bokong ke kursi, mengusap wajah. Apa sih yang dia lakukan sampai mencurigai keponakan sendiri? Ayolah, Beaufort paling benci memikirkan hal rumit.

"Ng?" Beaufort memeriksa notifikasi yang masuk ke ponselnya, terdiam.

Paspor Watson ditemukan di bandara Moufrobi.

*

"Aku sudah memikirkan banyak alternatif, Watson, tapi tidak yang mendekati. Kurasa simbol Madoka tidak berkaitan." Grim menghela napas, menunjukkan buku catatan yang penuh oleh tulisan dokter.

Watson tidak sempat mendengarkan keluhan Grim. Dia juga sibuk hal lain.

"Atau begini kali ya," Aiden mengetuk-ngetuk dagu dengan pena. "Target selanjutnya adalah murid dari Madoka."

"Kalau membicarakan target, bukankan Watson sudah babak belur oleh Mupsi?"

"Secara logis, kurasa tidak." Hellen menggeleng. "Jika benar Watson target Mupsi selanjutnya, dia tak perlu repot-repot menculik Watson. Seharusnya dia langsung membunuh Watson. Kurasa itu sinyal peringatan."

"Jadi maksudmu, Mupsi menggunakan Dan sebagai pengingat pada kita bahwa dia akan memangsa murid dari sekolah ini?"

"Kemungkinannya begitu."

Aiden menoleh ke Watson yang meletakkan pena. "Bagaimana menurutmu, Dan? Kamu menulis apa sih dari tadi, malah asyik sendiri."

Cowok itu menatap Aiden-dia menyulap rambutnya menjadi wavy dan mengenakan ribbons putih-balik menatap bukunya. "Aku mau mengulangi penyelidikan Poppy Graziana."

Mereka berlima saling tatap. "Buat apa?"

"Rasanya ada yang tertinggal oleh kita," Watson memperlihatkan gambarannya. "Perhatikan posisi korban ketika ditemukan oleh mendiang Chaka dan Gita. Tersandar di batu dengan kedua kaki terbuka."

"Apa yang aneh dengan itu?"

Jeremy menyeletuk lain. "Fuah! Gambarmu buruk sekali, Watson. Kayak bocah."

Pletak! Hellen dan Erika menampol kepalanya. "Perhatikan suasana, Jeremy! Jangan bergurau."

"Jadi, apa yang aneh?" Grim bertanya.

"Aku pikir korban didorong hingga sampai di bebatuan pantai. Dari tebing misalnya," sambung Watson mengerutkan kening. "Jika Mupsi menyeret korban, harusnya kedua kaki korban sama sejajar."

Masuk akal. Grim mengangguk. Itu menjelaskan mengapa ada sendi-sendi kayu yang terjejer dibawa ombak.

"Lantas apa hubungannya, Dan?" Aiden gemas.

"Kita harus cari tahu siapa korban berikutnya, Aiden! Dan di mana perkiraan Mupsi meletakkan jasadnya. Coba kalian lihat baik-baik, tiap TKP korban Mupsi selalu berada di daerah perairan atau tempat lembap."

"Tunggu," Grim menatap Watson serius. "Antara Chaka dan Gita, Gita lah pertama yang mengembuskan napas terakhir. Jika menyatukan semua petunjuk yang kita punya, itu berarti Mupsi hendak membunuh murid perempuan di Madoka nan memiliki saudara."

"Tepat sekali, Grim." Empunya nama kikuk diacungkan jempol oleh Watson. "Jangan cemas melihat jumlah murid di Madoka. Kita akan melakukan eliminasi berskala."

"Itu terlalu membuang waktu, Watson." Jeremy menggeleng. Keburu Mupsi beraksi.

"Apa boleh buat? Hanya ini satu-satunya pendekatan yang kita punya. Kecuali jika berpikir dari awal lagi, merajut ulang hipotes demi hipotesa. Itu lebih mubazir waktu."

Mereka juga tidak bisa sembarangan menebak calon korban di ratusan siswa-siswi. Hal itu bisa membuat satu sekolah heboh berkat prahara besar: Mupsi ingin membunuh salah satu dari mereka.

"Kalian, bisakah kalian menyebutkan peristiwa-peristiwa besar di Yunani?"

Jeremy manyun. "Kok jadi bahas Yunani. Watson, kamu mulai melenceng dari topik."

"Mana tahu kita mendapat sesuatu dari penjabaran arti kata Mupsi, Jeremy. Aku tak yakin artinya hanyalah huruf abjad dalam aksara Yunani. Pasti ada petunjuk. Dan yang lebih aneh adalah...." Watson terang-terangan menunjuk ke luar jendela. "Lambang sekolah itu. Ada sesuatu yang menggangguku."

Aiden dan Grim bersitatap.

"Kalau memang Mupsi menargetkan seseorang dari sekolah kita, entah kenapa ada yang kurang di sini. Lambang Madoka tidak hanya menunjukkan target pilihan Mupsi, tapi juga ada maksud lain."

Apa yang kurang? Apa yang luput dari otak Watson? Dia bela-belain memikirkan ulang tentang Poppy Graziana, tetap saja Watson merasa masih ada yang tertinggal.

MuPsi. Mu, huruf ke-12 abjad Yunani. Psi, huruf ke-23. Jika digabungkan menjadi 1223. Apakah ini kode peristiwa, hitungan hari, atau tanggal pada kalender asing?

Eh, tunggu. 1223. Apakah murid dengan nomor loker dengan nomor demikian? Atau seseorang yang memiliki angka keberuntungan 1223? Otak Watson buntu. Tidak ada ide yang masuk.

Grim lamat-lamat melirik Watson yang menarik napas panjang, menikmati terpaan angin musim panas.

Grim penasaran dengan isi kepala Watson. Agaknya dia seolah tahu seluk-beluk yang dipikirkan pelaku. Mengerikan. Sebenarnya sudah berapa lama Watson menyelami dunia misteri?

Aku ingin tahu apa yang dia pikirkan... batin Grim memilih mengobrol dengan Erika.

Meanwhile Watson.

Burung kemarin di mana, ya? Sial! Aku mau balas dendam.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro