13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Penyebab kematian?"

"Diracuni dan ditikam."

Klub Detektif Madoka sampai di TKP. Garis kuning polisi terbentang membatasi warga yang berdesakan geger. Deon meringis melihat Gita meninggal dengan busa di mulut dalam kondisi tegang. Sementara Chaka, sebuah pisau tegak di bagian dadanya. Cara kematian mereka berbeda dari gaya pembunuhan Mupsi.

"Bagaimana, Hellen?" Erika bertanya. Mereka berdua mengecek kematian Gita.

Hellen menggeleng. "Ini Natrium Fluoroacetate. Tubuhnya sudah mendingin. Kurasa dia tewas setengah jam yang lalu."

Gawat. Grim mengepalkan tangan. Saksi Mupsi dibunuh dengan cara umum, tidak ada sendi-sendi boneka puppet. Apa maksud semua ini? Apa Mupsi membaca pergerakan Madoka?

"Inspektur! Kami mendapat rekaman tersangka!" seru petugas polisi menyerahkan tablet besar pada Deon.

Pelakunya adalah dua orang berseragam. Yang satu meminumkan secara paksa sebotol obat pada Gita. Sisanya mencegat Chaka yang berniat menolong Gita, dan menikamnya dengan pisau buah.

"Tunggu dulu," Deon mengernyit. "Bukankah mereka petugas keamanan yang kusuruh menjaga Chaka dan Gita? Kenapa mereka yang...."

"Itu ulah Mupsi, Inspektur," Erika menyela. "Dia menghipnotis dua petugas itu agar membunuh para saksi. Mupsi selangkah di depan kita."

Deon mengusap anak rambut. Beginilah jadinya mengejar musuh nan mampu melakukan hipnotis. Warga yang tak tahu apa-apa menjadi imbasnya.

Aiden menatap Watson yang diam. Cowok itu memukul-mukul kepalanya. "Kenapa diam saja? Bekerjalah, otak! Ada kasus di sini." Aiden rasa Watson sedang tidak bisa berpikir.

Seorang nenek-nenek menerobos. Beliau refleks tergugu demi melihat tubuh Chaka diselimuti kain putih. "Cucuku yang malang... Kenapa ini bisa terjadi padamu..." isaknya menggenggam jemari dingin Chaka.

Petugas kepolisian hanya bisa mendesah pelan. Deon membelakangi kerumunan, menarik napas panjang. Jeremy dan Hellen saling menguatkan satu sama lain.

"Dilihat dari pakaian Chaka, dia kelihatan ingin pergi ke luar. Apakah Nenek tahu Chaka hendak ke mana?" Grim bertanya hati-hati.

"Dia bilang... dia mendapat pesan dari seseorang yang membutuhkan bantuannya... Chaka pergi begitu saja setelah menerima pesan tersebut... Kenapa dia bisa berakhir begini? Bawa kembali cucuku...!"

Aiden menggigit bibir. Dia menghadap ke Watson. "Aku ingin kita menangkap Mupsi secepatnya, Dan!" gerungnya kentara. "Aku ingin melempar orang itu ke penjara."

"Kita tidak bisa menginvestigasi dengan emosi, Aiden. Penyelidikan kita takkan berjalan melainkan buntu. Kita harus positif."

"Tidak bisa! Aku mau menangkapnya!" Watson diam. Aiden mencengkeram kuat ujung bajunya. Apa dia marah sekali?

Watson melirik Grim dan Erika. Setidaknya ada bantuan besar. Dia mengangguk. "Baiklah. Ayo kita mulai diskusi."

*

Papan 'Sedang Proses Investigasi' tergantung di pintu klub detektif. Lampu dimatikan, digantikan oleh layar dan mesin infocus.

"Tidak menghitung Chaka dan Gita, Mupsi memiliki 12 kasus pembunuhan. Seperti yang kita ketahui, korban pertama bernama Meqalle Mamole dan korban kedua Palneon Paltrado. Korban ketiga, Mable Mathipa, mahasiswa perempuan dari Universitas Jeroama. Korban keempat, mahasiswa pria tingkat akhir di universitas yang sama, namanya Page Pishop. Korban kelima, Marie Gardner. Korban keenam, Pol Brewer. Korban ketujuh, perempuan yang masih duduk di bangku sekolah dasar dengan nama Moneza Tari. Korban kedelapan, siswa 15 tahun bernama Pradano Murray. Lalu..."

"Tahan!" Jeremy mengangkat tangan. "Aku yakin bukan hanya aku yang menyadari keganjilan ini. Kenapa korban-korban pilihan Mupsi memiliki inisial sama? Juga, aku tidak yakin apa itu kesengajaan apa tidak, tapi tampaknya Mupsi membunuh dengan cara berselang-seling."

Watson mengelus dagu. Mereka harus menggali lebih dalam motif Mupsi. "Hellen, bisakah kamu carikan latar belakang korban yang disebut Grim?"

Hellen mengangguk, mengetik cepat di layar keyboard. Permintaan pencarian riwayat hidup telah diizinkan.

"Meqalle, anak ketiga dari empat bersaudara. Berikutnya Palneon, dia memiliki dua kakak dan satu adik yang masih balita. Mable, anak sulung dan mempunyai dua adik. Lalu ada Page, mempunyai saudara perempuan dan laki-laki. Selanjutnya—"

"Cukup sampai di sana, Hellen." Watson menyudahi penelusuran. "Aku telah mendapatkan gambarannya. Tidak salah lagi, motif Mupsi adalah membunuh remaja yang memiliki saudara."

Hellen menggaruk tengkuk. "Watson, apa mungkin ini Sindrom Charles Bonnet?"

"Tidak," Erika yang menjawab. "Aku lebih prefer ke Efek Konfabulasi. Mupsi tertarik pada hubungan tali persaudaraan."

"Jangan bilang kamu menduga Mupsi sempat amnesia." Grim menatap Erika malas.

Tetapi Watson punya penilaian tersendiri. Dia menggeleng, membantah dugaan Hellen dan Erika. "Kurasa itu rencana Mupsi membuat kita berpikir bahwa dia pasien sakit jiwa. Jawabannya tidak."

Aiden menopang dagu. "Menurutmu bagaimana?"

"Daripada memikirkan motif, aku terpikirkan perihal identitas korban. Mupsi bahkan sampai membunuh mahasiswa dan anak kecil. Apa kalian tidak merasa aneh? Targetnya berinisial nama M dan P. Ini memperlihatkan kapital dari MuPsi."

Aiden menulis di papan kaca. Meqalle-Palneon. Mable-Page. Marie-Pol. Moneza-Pradano.

"Keanehan bertambah soal selang-seling yang kita singgung tadi. Perempuan dan laki-laki. Korban cewek memiliki huruf inisial M. Begitupun korban laki-laki dengan inisial P. Terus bersilih ganti sampai tiba di Poppy Graziana, Chaka Canderton, dan Gita Tabitha. Mereka punya inisial beda."

Pertanyaannya: Kenapa tiba-tiba Mupsi menukar gaya pembunuhan? Tepat ketika Grim dan Erika kembali?

Hening sejenak.

"Aku pikir Mupsi terburu-buru," simpul Watson mengipasi wajah. Padahal AC sudah menyala tapi ruang klub tetap membuat peluh menetes. Yah, namanya suasana musim panas.

"Dalam rangka?" Grim bertanya.

"Entahlah." Watson memperhatikan tumpukan dokumen. "Kulihat-lihat, kerangka kasus pertama sampai duabelas, siasat Mupsi berjalan amat lancar. Tidak berkendala. Tapi lihatlah sekarang, rencananya rancu dan tidak seserius kasus sebelum-sebelumnya. Aku yakin Mupsi mengejar sesuatu."

"Mungkin..." Semua pasang mata terarah ke Aiden. "Mupsi mendesak kita. Dia mau kita bergerak secepat dirinya."

"Eh?"

"Kasus Mupsi terjeda setelah kakakku meninggal. Namun, lama-kelamaan Mupsi menjadi kasus dingin sebab tidak ada yang mau mengungkap kebenaran. Makanya Mupsi bertindak gegabah seperti yang kamu jelaskan, Dan. Dia tidak bisa menunggu lebih lama. Dia ingin kita mencari tahu siapa dia sebenarnya."

"Tapi kita tak punya tersangka, Aiden. Ini tidak semua yang kamu pikirkan."

"Siapa bilang tidak ada?" Aiden menyeringai. "Aku sudah memberitahu tentang bocah penguntit Kak Anlow. Dia tersangka utama kita saat ini."

Grim manyun. "Kamu punya dendam apa dengan bocah itu sih? Kak Anlow saja tidak terganggu."

"Dia mengganggu kakakku, Grim. Itulah dendamku!" Aiden menjawab sembarangan.

Di saat mereka berlima fokus mengobrol, telinga Watson pengang. Kalimat Aiden menekan tombol di kepalanya. Kasus Mupsi terjeda setelah Anlow tewas. Benar juga! Kenapa Watson tak memikirkannya?

Kasus ini pernah menjadi kasus dingin (kasus tak terselesaikan). Bagaimana jika ada yang memanipulasi data? Watson menggeleng. Itu sangat tidak mungkin.

Ke arah mana alur kasus Mupsi bergerak...

Seekor burung hinggap di jendela. Watson memandang ogah-ogahan unggas tersebut. Ia balik menatap Watson, menelengkan kepala. Lalu mendadak ia mematuk jari Watson.

Watson mengaduh, telunjuknya berdarah. Merasa jengkel, Watson melempar pena ke arah burung itu. Sayangnya ia sigap mengepakkan sayap dan terbang menjauh.

Bola mata Watson tak sengaja menatap simbol Madoka dari kejauhan. Terlihat mengkilap oleh sengatan mentari. Watson tersentak menyadari sesuatu.

Lambang Madoka. Jangan-jangan...?!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro