7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di malam yang sama, Distrik Uinate.

"Misteri sungguh unik. Tak kusangka pelakunya adalah pelayan keluarga yang mengabdi pada mereka selama lima tahun. Benar-benar mencengangkan." [Taran Taman, anggota klub detektif Uinate.]

"Terlebih, motif pembunuhan adalah kecemburuan. Pelayan cemburu dan menggoda kepala rumah. Sang Istri yang tidak terima hendak menyingkirkan pelaku tetapi malah menjadi korban. Cukup menarik." [Valentine Volvo, anggota klub detektif Uinate.]

Taran mengepalkan tangan senang. "Ini kasus tertutup, poinnya besar. Kita harus rajin mengumpulkan poin supaya bisa menyeimbangi klub detektif Madoka."

"Aku tidak tahu poin apa yang kamu maksud, tapi aku suka bertanding. Kita bisa melawan mereka berempat! Iya kan, Candy?"

"I-iya. Aku menikmatinya. " [Celeste Candy, anggota klub detektif Uinate.]

Taran bersiul menggoda. "Kamu jadi sering salah tingkah semenjak bertemu klub detektif Madoka. Kenapa? Hohoho, naksir sama cowok bernama Watson Dan ya?"

Wajah Candy memerah. "Ti-tidak!"

"Mukamu mengatakan sebaliknya." Taran dan Valentine menebalkan wajah. Teman mereka satu itu berubah setelah bertemu rival klub mereka.

Candy mengusap wajah. "Kalian ini, jangan goda aku dong... Ng?" Tak sengaja Candy menoleh ke pantai. Matanya menemukan benda ganjil di lidah ombak. "Eh, lihat, itu apa?"

"Hmm?" Taran ikut memicing. "Apa itu? Seperti koper hitam. Mau lihat tidak? Jangan-jangan ada mayat. Kasus baru!"

Valentine melotot. "Kamu nekrofili?"

Taran balik melotot. "Jangan sembarangan ngomong! Aku masih waras."

"Pokoknya kita periksa!" cetus Candy lebih dulu berlari ke sana.

Mengabaikan waktu yang sudah gelap, mereka bertiga menelusuri pantai. Berjalan sealami mungkin supaya tidak kepergok melakukan hal mencurigakan di pantai pada jam sembilan malam.

"Koper apa ini? Besar! Jangan-jangan isinya harta karun," seru Taran antusias.

Valentine mencekik Taran.

Dari pada kasus yang baru mereka selesaikan, Candy lebih tertarik pada koper tersebut. Dia jongkok, mengetuk-ngetuk permukaan koper. "Kopernya baru setengah basah. Berarti baru beberapa jam lalu terhempas kemari."

Tuk, tuk, tuk! Tiba-tiba saja dari dalam koper, sesuatu berbunyi. Koper tersebut bergerak pelan.

"HIY!" Valentine menjerit. Spontan melompat ke gendongan Taran. "A-apa itu? Ko-kopernya bergerak!"

Kontras dengan Candy yang justru mendekat.

"Hati-hati, Candy!" seru Taran meringis. Tangannya serasa patah tulang demi mengangkat Valentine. "Beratmu berapa sih?!"

"Jangan tanya berat perempuan dong!"

Candy menatap serius. "Mayatnya masih hidup? Tapi tidak ada tanda-tanda obat pengawet. Kurasa bukan—"

"Tolong... Siapa pun... Aku tak bisa bernapas. Tolong keluarkan aku dari sini..."

Candy terkesiap mendengar lirihan itu. Suara ini kan? Mungkinkah?!

Dengan berani tanpa rasa takut, Candy membuka resleting koper. Mereka bertiga refleks melongo. Di dalamnya, terkunci seorang remaja laki-laki berambut hitam. Dia segera menarik oksigen. Astaga, sudah berapa lama dia terkurung di koper itu?

"Kamu kan... Kenapa ada di sini...?"

Lelaki itu menatap mereka bertiga lemah bergantian. "Siapa kalian? Aku di mana?"

Taran tersinggung. "Hei, hei, hei, kita belum lama berpisah. Bukankah sedikit kejam kamu tidak ingat pada kami? Lagian, harusnya kami bertanya! Apa yang kamu lakukan di dalam sana?"

Dia menatap Taran lama. "Apa kamu mengenaliku? Aku siapa?"

Deg! Ketiganya bergeming membeku.

Taran terkekeh kikuk. "Kamu pasti bercanda... Kamu tidak ingat dirimu? Ya ampun, apa yang sebenarnya terjadi." Beralih mengeluarkan ponsel. "Sepertinya aku harus menghubungi Aiden Eldwers..."

"JANGAN!" cegah orang itu menggeleng. "Mupsi bisa membunuh kalian. Jangan menelepon siapa-siapa. Tolong sembunyikan aku."

Ketiganya saling tatap. Mupsi? Apa lagi itu!

Taran memandang lelaki tersebut. Melambai-lambaikan tangan ke mukanya dan menyenter bola matanya. "Tatapannya kosong. Tidak merespon lambaian, juga tak sensitif pencahayaan. Dia terputus dari kesadarannya."

Candy mendekap dada. "Apa maksudnya ini, Taran? Apa kamu tahu sesuatu?"

"Kurasa dia di bawah hipnotis."

*

Hari baru gaya rambut baru. Pedoman hidup seorang Aiden. Dia menguncir tinggi rambutnya jadi dua dan memakai ikat rambut bola bulu putih. Manis seperti biasa.

Aiden membuka pintu klub, tersentak melihat Watson bersandar di tepi meja diskusi. Tangannya memegang lembar dokumen. Membaca dengan mimik andalan serta tatapan teduh.

Aku tidak kuat. Dan terlalu ganteng. Apa-apaan coba posenya itu. Aku bersyukur telah dilahirkan di dunia indah ini. Aiden mengurut dadanya yang berdebar-debar.

Berdeham, Aiden gelagapan menyapa. "Y-yo! Selamat pagi, Dan. Kamu tidak jadi pulang ya semalam. Tak kusangka kamu nekat kembali ke sekolah. Bagaimana kondisimu?"

Belum sempat Watson angkat suara, gadis itu main sentuh keningnya saja, lalu membandingkannya dengan kening sendiri. "Hmm, sudah turun. Tidak sepanas petang kemarin. Yosh! Kamu belum sarapan, kan? Ada gunanya aku bawa bekal."

Watson pasrah. Dia membiarkan Aiden menyediakan perkakas alat makan. Aroma bubur lezat menyita perhatiannya.

"Ayo, ayo! Silakan dimakan! Aku yang buat lho sesuai resep dari Hellen."

Rezeki tidak boleh disia-siakan, begitu prinsip hidup Watson. Dia menutup dokumen bacaan, duduk, segera melahap habis bubur buatan Aiden. Watson berbinar-binar. "Ini enak."

Aiden senyum-senyum. Watson makan seperti anak kecil—syukurlah dia menyukainya.

Hmm? Aiden memperhatikan Watson dari atas sampai pinggang. Eh, sejak kapan tinggi Dan bertambah? Pertumbuhan anak cowok membuatku terkesan.

Aiden membuyar lamunan—nanti merajalela ke mana-mana. "Jadi, apa yang kamu baca, Dan? Kutebak semalaman kamu pasti membaca habis dokumen-dokumen kasus Mupsi yang dibawa Sky dan Rika."

Dia yang bertanya, dia juga yang menjawab. Retorik. Watson meringis.

"Bagaimana, bagaimana?" Aiden mencondongkan badannya. "Kamu dapat sesuatu, kan?? Ayolah Dan! Jangan hening-hening 'gitu mentang-mentang ada mereka berdua. Dan tetap yang paling hebat kok!" Yah, kemarin aku tak tahu diri membandingkan kalian. Maafkan aku, Dan! sambungnya dalam hati, tersenyum kecut.

Baru saja hendak membuka mulut, mengeluarkan analisis, Grim dan Erika bergabung ke ruangan. Wajah Watson datar, namun tak menutupi tanda jengkel hinggap di keningnya. Tidak bisakah dua oknum itu menunggu sebentar di luar?

Erika mengangkat dagu angkuh, menatap Watson anggak. "Aku tahu kamu menginap di klub malam tadi. Kuharap kamu akhirnya spill kemampuan."

Masih pagi sudah nyombong. Watson duduk di kursi, tidak peduli celetukan Erika. Dipikir mereka sedang bermain detektif-detektifan apa.

"Apa yang kamu temukan, Tuan Detektif Pemurung? Aku yakin kamu sudah memiliki hipotesa jitu di kepala. Ayo beritahu kami pendapatmu soal Kasus Mupsi." Erika tersenyum nakal.

Bagaimana cara aku mengatakannya? Kalian memotong begitu aku mau buka mulut. Watson gregetan dalam diam. Tahan, jangan termakan gertakan.

"Huh! Ternyata ketua baru tidak ada apa-apanya dari yang pertama, ya." Erika bersenandung. Sengaja benar memancing kemarahan Watson.

"Erika..." Grim memijat pelipis.

Watson memejamkan mata. Sejak kedatangan dua rekan masa lalu, Watson dibuat tak banyak ikut andil. Entah kenapa Grim mengambil sebagian tugas Watson. Bisa apa lagi Watson?

Di luar dugaan, mereka berdua malah menanti-nantikan analisis Watson, terutama Erika. Dasar munafik! Dia pasti ingin mengukur kehebatan Watson.

Aiden, Grim, dan Erika terdiam demi melihat sorot mata Watson berubah.

Baiklah. Tidak ada lagi diam menyimak. Akan Watson perlihatkan dengan siapa Erika bermain-main. Akan Watson tunjukkan perbedaan level mereka.

Mulut Watson terbuka kecil. "Bercanda deh," gumamnya melempar tatapan ke benda acak. Mana mau dia terlena umpan.

"DASAR PHP! Kukira kamu bakal beraksi!" sembur Aiden dan Erika serempak, mencekik Watson yang tertawa robot.

Grim menatap Watson lamat-lamat. Apa yang sebenarnya dia lakukan? Menahan diri atau menunggu suatu hal?

"Kurasa..."

Aiden dan Erika berhenti ngambek. Grim berhenti berkelana di pikiran, menoleh. Mereka menunggu perkataan Watson.

"Mupsi bisa menghipnotis orang."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro