20. Korban Ketiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di UKS, setelah aku dan Hanya siuman, teman-teman sudah menunggu di sana.

"Apa kau baik-baik saja, Han?"

"Sepertinya masih karena kepalaku ada," jawab Hanya dengan ekspresi serius.

Bonk! Benjolan mencuat dari kepala Hanya.

"Jadi Hanya dibuat tertidur oleh Auris dengan mengubah bahan dupa. Kira-kira apa tujuan Auris melakukan hal gabut itu?" Abigail bertanya, tidak peduli Hanya yang merengek kesakitan habis dijitak.

Wah! Sepertinya Abigail berguru pada Noura atau Cielo untuk menistakan ketos!

"Entahlah." Aku menggeleng. Aku juga tidak tahu apa tujuan Auris. Kenapa dia mengincar Hanya yang notabenenya tidak dia kasih surat? Teka-teki apa lagi ini.

Hmm? Aku menoleh ke Mimosa yang keluar dari UKS sambil mengelus dagu. Apa dia juga tengah memikirkan riddle Auris?

"Yah, yang terpenting kalian baik-baik saja sekarang. Untung aku patroli ke OSIS dan melihat kalian pingsan," ucap Noura.

"Tapi kau sedikit telat, Noura. Auris lebih dulu melarikan diri." Hanya mendengus.

"Tunggu, dari mana kau tahu ada Auris?"

"Aku mendengarnya sayup-sayup, obrolan kalian." Hanya menatapku tajam. "Salah satunya kata 'aku janji'. Kau paham, kan? Peringkatmu teratas di listnya Auris."

"Woi! Jangan menakutiku, Ketos Beban!" Tanganku menyambar kasar tas sekolah yang dibawakan Serena. "Sudahlah, aku mau pulang dulu. Tubuhku capek. Bye!"

"Kok dia ngamuk sih?" Hanya menggaruk kepala bingung. "Aku mengingatkannya supaya dia berhati-hati ke depannya."

*

Sialan. Gara-gara perkataan Hanya yang terngiang-ngiang di otakku, aku tidak bisa tidur semalam. Melotot terjaga sembari keliling rumah, menenteng raket listrik.

Aku takut Auris betulan nekat datang ke rumah dan membunuhku. Harusnya aku tak sembarang memprovokasi. Aku lupa gadis itu psikopat yang tak ragu menyingkirkan orang-orang yang mengganggu kerjaannya.

Benar juga. Kenapa Auris marah, ya? Aku mengganggunya? Dalam rangka apa? Aku kan cuma membangunkan Hanya... Apa jangan-jangan saat itu dia mau membunuh Hanya? Korban ketiga adalah Hanya?!

Kalau begitu yang dalam bahaya sekarang adalah Hanya! Bukan aku! Sial, aku teledor!

Aku buru-buru menghubungi Hanya lewat telepon rumah. Diangkat beberapa detik kemudian. "Hanya?! Apa kau tidak apa—"

[Tadi Mimosa, kini Alsenon. Ada apa?]

Justru suara bariton nan menyapaku. Aku menelan ludah. Ini pasti abangnya Hanya. Aduh! Parahnya aku. Bisa-bisanya aku lupa Hanya tinggal dengan saudara laki-lakinya.

Tunggu. Mimosa juga menelepon Hanya?

"A-anu, Kak, apa Hanya ada? Dia baik-baik saja, kan?" Aku bertanya hati-hati.

Namanya Ingin Annavaran. Umur 23 tahun. Karena orangtua Hanya sama sepertiku, sibuk di luar negeri, mereka meminta Kak Ingin untuk menjaga Sang adik. Kebalikan denganku, yang harus merawat adik.

[Ada, anaknya masih molor. Kenapa kau menelepon sepagi ini, Sen? Apa ada yang terjadi di sekolah? Akhir-akhir ini Hanya terlihat tertekan. Semua baik-baik saja?]

"Tidak ada apa-apa kok, Kak. Aku  cuma khawatir sedikit sama dia. Kemarin kan ada kebakaran di sekolah," ucapku bohong.

Mendengar Kak Ingin yang tidak tahu apa-apa, tampaknya Hanya tak cerita apa pun soal Auristella. Si gadis psikopat itu.

Panggilan diakhiri secara sepihak karena Kak Ingin hendak melanjutkan skripsinya.

Aku menghela napas lega. Untunglah Hanya tidak apa-apa. Auristella takkan berani menyerang Hanya karena ada Kak Ingin.

*

"Bang, aku mau cerita."

Aku menoleh letoy ke adikku. Jam sudah berputar ke angka 7 pagi. Aku harus siap-siap ke sekolah dan mengantar dia ke TK Seshat. "Kenapa?" sahutku malas.

"Ada penguntit bodoh di TK-ku, Bang."
[December Felixo Farrand, 6 tahun.]

"Dari mana kau belajar kata-kata itu, De?" Aku heran kenapa Mama memberinya nama bulan. Apa karena aku dan dia lahir di bulan sama? Mama kurang kreatif deh.

"Betulan lho, Bang. Penguntit itu selalu datang saat mau pergi ke sekolahnya. Melihat seragamnya sama kayak Abang, sepertinya dia murid di SMA-mu, Bang."

Aku berhenti mengunyah roti, menatap December intens. Satu nama menyelusup masuk ke benakku. "Apa yang dia lakukan?"

"Dia memandangiku dan anak laki-laki lain sambil ngumpet di balik kotak pos tegak. Dia pikir kotak surat dengan tiang nan kecil mampu menyembunyikan tubuhnya?"

Mimosa!!!! Jadi kau menargetkan adikku?!

Tidak boleh jadi nih. Aku harus kasih perhitungan sama Mimosa. Aku tahu dia shotacon, namun kalau targetnya adikku, lain cerita. Bisa mati aku dibunuh  Mama.

Maka dari itu, sebelum ke sekolah, aku mampir ke rumah Mimosa. Anak itu pasti sengaja terlambat memuaskan nafsu shotacon-nya dulu: melihat anak laki-laki.

"Jemput temannya ya, Nak?"

Aku menatap bapak-bapak pengantar koran pagi, tersenyum ramah. "Iya, Pak."

"Hohoho. Semangat sekolahnya, Nak."

"Bapak sendiri juga, yang semangat ya kirim korannya." Aku melambaikan tangan, masuk ke perkarangan rumah Mimosa, melewati kotak pos di depan pintu pagar.

Tok, tok, tok!

Aku mengetuk pintu rumah tak sabaran. Hmm, pelajaran apa yang harus kukasih ke Si Shotacon Mimosa? Jitak kepalanya? Jangan deh. Dia itu kan perempuan. Atau bakar semua koleksi figure shota-nya?

Kriet! Gedebuk!

"Hmm?" Aku menoleh ke bapak-bapak pengantar koran barusan. Beliau terduduk ke trotoar, koran-korannya berjatuhan. Beliau mencicit memandangi kotak pos yang dia buka—aku memicing, melihat air berwarna merah mengalir ke tanah.

Mengikuti kata hati, aku menghampiri beliau. "Ada apa, Pak? Anda tak apa-apa?" Kali saja beliau mengalami rematik.

"K-kepala... Ada kepala manusia di sana..."

Huh? Aku menatap kolong kotak pos, seketika membulatkan mata sempurna. Kudukku merinding. Tanganku gemetaran.

Di dalam kotak pos tersebut, terselip kepala Mimosa yang bersimbah darah. Entahlah di mana anggota tubuhnya.

Tak kuasa menahan syok, aku pun pingsan.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro