21. Tertangkap: Hanya Tersangkanya?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Atmosfer di Rumah Duka sangat hening. Aku dan teman-temanku melayani para pelayat dengan ekspresi kosong, terutama Cielo.

Terus terang, mentalku masih terguncang. Dokter menyuruhku untuk mengikuti kursus terapi psikis, namun aku menolaknya. Aku masih sehat dan aman. Waktu itu aku pingsan karena syok serta mengalami panic attack.

"Kau sebelumnya tidak pernah lihat mayat secara langsung, kan? Gracia dilihat Serena, Sila aku yang melihatnya, Buk Ardena dilihat Mimo. Wajar kau ambruk sebab ini pengalaman pertamamu." Demikian penjelasan Hanya.

"Aku tidak mengerti lagi... Tujuan Auristella melakukan tindakan kejam ini pada kita..." lirih Aga, mengepalkan tangan. "Apa salah kita?"

"Entahlah, Ga." Noura menggelengkan kepala.

"Kata polisi anggota tubuh Mimo yang hilang masih dicari, ya? Kira-kira di mana Aurisinting menguburnya? Aku tak bisa membiarkan Mimo mati seperti ini, tanpa tubuh yang lengkap."

"Polisi dalam tahap penggalian informasi."

Aku tidak bisa terus diam berpangku tangan begini. Teman-temanku menjadi bulan-bulanan Auristella yang motifnya masih tidak jelas.

"Serena." Aku harus melakukan sesuatu.

"Kenapa?" Serena menatapku.

"Bisakah kau mencari biodata seseorang? Kalau tak salah... namanya Alpha Astara."

Grep! Hanya entah kerasukan apa, Tiba-tiba mencengkeram bahuku. "Kenapa kau bisa tahu nama itu?! Apa Mimo memberitahumu??"

"Kenapa sih? Kau kenal dia? Lepas nggak."

Yang lain saling tatap kebingungan.

"Alpha itu Mantan Ketua Osis tahun kemarin. Itulah yang aku bicarakan sama Mimosa—"

"Hanya Annavaran?" celetuk seseorang berseragam detektif dan memakai kalung identitas polisi di leher, bergabung dengan kami. Dia menatap Hanya datar, beralih mengeluarkan borgol, memborgol Hanya.

"Kau diduga tersangka pembunuhan Mimosa Hoyanal. Mohon kerja samanya dan ikut saya sukarela tanpa perlawanan karena saya benci memukuli remaja. Mengerti, kan?"

"APA?!" seru kami spontan, tidak percaya. "T-tunggu sebentar, Pak! Ini pasti sebuah kesalahpahaman! Bagaimana mungkin Hanya membunuh temannya sendiri? Dia dijebak!"

Detektif itu menoleh, menatap kami dingin. DEG! Seketika tubuh kami mematung. Aku menelan ludah. Apa-apaan aura polisi ini?

"Jangan menghalangi tugas pegawai sipil. Aku tidak mau berdebat dengan anak-anak."

"Jangan khawatir. Aku akan bebas secepat mungkin karena aku tidak bersalah," ucap Hanya tersenyum miring, balik menatap dingin detektif galak itu. Anak itu nyalinya besar!

"T-tunggu..." Percuma. Hanya sudah masuk ke mobil patroli. Abigail menggigit bibir. "Kenapa bisa Hanya yang jadi tersangkanya? Yang membunuh Mimosa sudah pasti Auristella! Kenapa Hanya yang di kambinghitamkan?!"

"Sepertinya ini rencana Auris," kata Noura, mendesis. "Dia ingin menyingkirkan Hanya."

Apa benar begitu? Bagiku, entah kenapa Auristella terlihat ingin menjauhkan Hanya.

Apa pun itu, aku harus menelepon Kak Ingin.

*

"Jadi kau tidak mau membuka mulut?"

Hanya mengedikkan bahu. "Apa aku tidak boleh memakai Hak Miranda? Lagi pula aku jelaskan pun, anda akan menyanggahnya."

[Note. Hak Miranda, hak untuk tak menjawab pertanyaan atau memberi pernyataan apa pun tanpa didampingi wali atau pengacara.]

"Hoo, kau tahu banyak soal hukum."

"Tidak juga. Aku cuman kebetulan tahu—"

Brak! Detektif Dingin itu menggebrak meja membuat Hanya sedikit terlonjak. "Apa kau sekarang menganggap remeh diriku, Nak? Kau pikir aku akan menahan diri dengan remaja?"

Bukannya terprovokasi atau takut, Hanya justru menyeringai. "Melihat gelagat anda, tampaknya anda di Divisi Kejahatan Remaja." Dia berbeda dari Opsir Sasan, sambungnya dalam hati, mengobservasi lawan bicara.

"Kau yang membunuh Mimosa, kan?"

"Sudah kubilang bukan aku. Jangan buang waktu anda, Inspektur. Pelakunya orang lain."

"Aku menemukan alat kontrasepsi dan kondom di tasmu. Kalian telah melakukan hal tidak senonoh, kan?" Detektif itu terus mendesak.

DEG! Apa katanya? Hanya tidak lagi bersikap santai. "Kondom? Gila, ya. Apa anda sekarang sedang memfitnah saya? Walau tampang dan sifat saya sableng, saya ini anak baik-baik. Saya tak pernah membawa barang-barang seperti itu ke sekolah apalagi saya ketos."

"Akui saja." Detektif itu mengambil tas Hanya, membongkar isi dalamnya. Hanya terbelalak melihat dua benda laknat yang dia sebutkan, tergeletak di meja. "Masih mau mengelak, heh? Kami sudah membawa benda yang sama di tas Mimosa ke Departemen Forensik dan ditemukan sidik jarimu. Lalu, wah, kebetulan kau juga membawa barang-barang ini ya. Tebakanku benar. Ini anak yang baik-baik?"

"Kenapa... ada itu di ranselku?" Auristella sialan! Sejauh mana kau mau menjebakku? Dalam hati, Hanya tengah berperang batin.

"Sekarang katakan padaku, kenapa kau bertemu dengan Mimosa di malam sebelum dia meninggal? Keluarga Mimosa menolak autopsi karena tidak ada lagi yang tersisa dari Mimo. Jangan-jangan kau menghamilinya dan kau enggan tanggung jawab lantas membunuh..."

Tes! Tes! Tes!

Polisi tak berhati itu berhenti mencerocos demi melihat Hanya berderai air mata. Dia menghela napas jengkel, beranjak bangun, hendak keluar dari ruang investigasi tanpa tahu Hanya diam-diam menyeringai puas.

Orang dewasa itu murahan, ya? batin Hanya. Pura-pura menangis, langsung pergi. Ckckck. Mudah sekali ditipu dengan akting natural.

Masalahnya adalah, sebelum detektif itu meraih gerendel, pintu lebih dulu terbuka. Adalah Ingin yang datang menemui Hanya.

"Saya walinya Hanya. Saya datang untuk..." Ingin menatap adiknya yang terbengong dengan air mata yang masih mengalir di pipi.

Bugh! Detektif itu tersungkur kena bogeman Ingin yang tiba-tiba penuh keamarahan.

"Tidakkah anda terlalu keras pada anak kecil?" [Perkenalan ulang! Ingin Annavaran. Jutek dan dingin, tapi protektif ke adik!]

Kenapa kakak ada di sini?! Alsenon kampret! Sudah kubilang jangan lakukan apa pun!



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro