34. Aku Sudah Lelah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Terlalu banyak saksi mata di TKP, Inspektur. Mereka mempublikasikannya ke internet, lalu tak lama lagi akan viral secara nasional. Anda sekalipun tidak bisa menutup kasus ini. Saya mengajukan penyelidikan resmi, Pak."

Untuk pertama kalinya Sasan menang debat dari atasannya. Beliau mengembuskan napas panjang, memijat pelipis. Lagi pula yang Sasan katakan tidak sepenuhnya salah.

Video seorang murid didorong ke rel kereta tengah booming di sosmed. Warga menuntut supaya pelaku dimasukkan ke lapas anak merujuk pelaku masih di bawah umur.

"Baiklah. Aku mengandalkanmu, Sasan."

Yes! Sasan hormat. "Serahkan pada saya."

Mengemasi dokumen-dokumen penting, selembar pamflet jatuh ke lantai. Sasan pun memungutnya. "Orang hilang? Alpha Astara."

Tentu saja Sasan ingat siapa itu Alpha. Dia menoleh ke Kepala Tim. "Inspektur, apakah pencarian Alpha belum membuahkan hasil?"

"Lupakan anak itu. Dia sudah hilang enam bulan. Orangtuanya sudah menyerah. Aku berencana mengirim seseorang untuk melepaskan lembaran pamfletnya hari ini."

"Apakah ini berkaitan dengan 'pembunuhan' di SMA KRS yang pernah anda singgung?"

"Ya. Teman-teman terdekat Alpha tewas seperti yang terjadi pada anak-anak itu. Aku rasa pelakunya sama. Ini pembunuhan berantai. Karena itu bukan yuridiksi kita, Unit Kejahatan Khusus mengambil alih. Tapi kasus Alpha justru menjadi kasus dingin. Aku rasa mereka tidak niat mencari kebenaran."

"Kalau begitu anak-anak itu juga dalam bahaya, Inspektur! Apakah tidak ada cara untuk mengambil kembali kasusnya?"

Kepala Tim menggeleng. Sorot mata muram. "Komisaris sendiri yang menutup kasusnya."

"Mustahil." Sasan mengepalkan tangan. Seorang anak menghilang dan kemungkinan sudah meninggal, namun Komisaris malah...

"Satu-satunya cara menolong mereka adalah menghukum pelaku yang membunuh teman mereka. Hal itu akan memberi secuil kepuasan di hati mereka yang terluka."

"Baik, Pak. Saya akan memenjarakan Minele dan Zidan atas pembunuhan Noura—"

"Siapa yang akan kalian penjarakan?"

Mereka berdua tersentak, menoleh kaget. Apa yang dilakukan kejaksaan di sana?

+

"HAH?!" Cielo berbinar tak percaya. "Tunggu, mereka berdua tidak jadi dijebloskan ke lapas? K-kenapa? Ada banyak saksi yang melihat perbuatan mereka! Apa alasannya?"

Opsir Sasan datang ke sekolah kami pukul delapan pagi, membawa berita menyakitkan. Padahal aku yakin semua orang di stasiun melihat perbuatan Minele dan Zidan. Kenapa jadi begini? Kenapa mereka tak dihukum?

Beliau menjelaskan seseorang yang punya pengaruh kuat di kejaksaan mendatangi kantor polisi dan meminta atasan Opsir Sasan untuk menutup paksa kasus kematian Nourasta Cheverly, bilang itu kecelakaan tak disengaja. Pihak pelaku akan memberi kompensasi besar pada keluarga korban.

"BAGAIMANA MUNGKIN MEREKA HANYA DIBERI HUKUMAN PENDISIPLINAN DI BALAI KOTA SELAMA SEMINGGU?! Petugas Sasan, mereka melakukan tindak kriminal. Mereka membunuh. Aku tidak bisa menerimanya."

"Maafkan aku, Cielo, aku tak bisa apa-apa." Opsir Sasan menggigit bibir. Jemarinya terkepal. "Kalian tahu politikus Alundra? Dia lah penyokong kejaksaan. Dia yang membela Minele dan Zidan. Membebaskan mereka."

Kami mematung mendengar nama marga itu.

Jadi benar... jadi benar Arelin adalah Auris. Dia sampai bela-belain melindungi rekan yang membantunya menyingkirkan Noura.

"Dyra! Tunggu dulu, Dyra!" Abigail segera mengejar Cielo yang keluar dari ruang kelas.

Aga menatap Hanya yang mendesah pelan, ikut keluar dari kelas tanpa bicara. Pikiran kami berkecamuk. Emosi membuncah.

Kudengar dari forensik, tas gitar yang Noura pertaruhkan dengan nyawanya ternyata hanyalah tas biasa. Tidak ada sidik jari apa pun alias masih baru dibeli. Minele dan Zidan adalah kaki tangan Auri, mana mungkin dia memberikan barang bukti asli ke mereka.

Jadi untuk apa Noura tersenyum cerah mengangkat tas gitar itu? Kematiannya sia-sia karena kami tak mendapat apa pun.

Auri memancing kami semua ke sana supaya kami melihat pertunjukannya dan berhasil.

"Sen..." Aku melewati Serena, mengambil tas.

Otakku lelah. Batinku lelah. Aku sudah lelah. Aku ingin pulang dan mengistirahatkan kepalaku. Langkahku terasa berat, namun aku tetap memaksakan diri untuk berjalan.

Bahkan sesampainya di rumah, aku mengabaikan December yang memanggilku. Aku tidak peduli apa dan siapa pun saat ini.

"Kak, kakak kenapa?" tanya December demi melihatku yang melamun sehabis mandi.

Aku mengusap kepalanya tanpa ekspresi. "Kakak tidur duluan. Habiskan makananmu."

Sakit. Kepalaku sakit. Hatiku sakit.

Ingatan Noura yang tersenyum, Gracia yang suka mendesah pasrah akan kelakuan Hanya tapi sama sekali tak mengeluh, Mimosa yang suka menguntit anak laki-laki tapi paham batasan, Buk Ardena walau guru sementara tetapi baik pada kami, dan Chausila yang pendiam namun dia pendengar yang baik. Semuanya terlintas bagai kaset di kepalaku.

Aku menatap pantulan diriku di cermin.

Jika kau ada uang, kau punya kekuasaan. Hukum pun takkan bisa menyentuhmu. Tak ada yang bisa menyalahkanmu. Dunia seakan berada di genggamanmu. Semua milikmu.

Kalau begitu, bagaimana cara kau membalas perbuatan mereka? Hanya satu jawabannya.

Mataku menggelap.

Aku harus membunuh mereka.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro