35. Kau yang Membunuh Mereka

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sepuluh hari kemudian...

"Eh, hei, kalian udah dengar nggak tentang Minele dan Zidan? Mereka gantung diri usai hukuman pendisiplinan selesai. Aku yakin mereka merasa bersalah atas kematian Noura dan membalasnya dengan nyawa!"

"Kau ini bodoh, ya? Bunuh diri macam apa muka mereka sampai tak dikenali. Aku yakin ada yang membunuh mereka. Seseorang yang tidak menerima kematian Nourasta."

Aku melewati dua orang yang berbincang tentang kabar tewasnya Minele serta Zidan dua hari masa hukuman mereka berakhir. Ujian tengah semester hampir dekat. Aku tidak punya waktu memikirkan hal lain.

Lagi pula aku sudah move on dari Noura dan Auristella. Ayo fokus dengan kehidupan sekolah yang sebenarnya. Lupakan yang lain.

—Itu sih yang kubilang. Tapi teman-temanku tidak sependapat denganku. Masih terlalu cepat untuk menyerah. Bagaimanapun kami harus menangkap Auristella supaya hidup kami benar-benar tenang sepenuhnya.

Supaya tidak ada korban setelah Noura.

Kehidupan tanpa perasaan waspada dikuntit psikopat. Haaah. Aku menginginkan hidup santai seperti itu. Andai aku bisa menukar genre cerita ini jadi SOL. Tapi aku bisa apa?

"Arelin semakin sering absen," lapor Aga.

"Mungkin dia takut bertemu kita karena dia menunjukkan ekornya terang-terangan."

"Sudah kubilang, dia bukan Auris."

Aku menatap Hanya kesal. Kenapa dia keras kepala sih? Bukankah sudah jelas Arelin adalah Auristella merujuk dia menggunakan kekuatan keluarganya melindungi pelaku yang membunuh Noura? Apa tujuannya jika dia bukan orang yang meneror kami?

Abigail bersedekap. "Bilang apa alasanmu bersikeras mengatakan Arelin bukan Auri."

"Satu, tinggi mereka beda. Dua, aku sudah membaca buku absen. Di hari kematian Buk Ardena, Arelin datang ke sekolah sampai jam pelajaran terakhir. Tiga, aku merasa aneh dengan wajahnya terlihat tegang. Kaku."

Aku bersedekap. "Apa maksudmu wajahnya kaku? Kau pernah bertemu dengan Arelin?"

Hanya mengeluarkan ponselnya, memutar sebuah video kemudian mendorong gawai itu ke meja ke arah kami. "Arelin mengikuti klub musik. Susah payah kudapatkan rekaman itu karena PJ klub-nya sangar. Aku sampai minta tolong ke Hoshia demi membujuknya."

Serena menepuk punggung Hanya. "Heh, yang sopan. Kak Hoshia itu kakak kelas."

"Aku sudah terbiasa. Lagian dia gak masalah aku panggil dia informal kok," seringainya.

Tsk! Rasanya ingin menertawakan lengannya yang patah, tapi baiklah, kuurungkan niatku. Lebih baik memeriksa video yang membuat Hanya berpikir Arelin bukanlah Auristella setelah apa yang terjadi terhadap Noura.

Aku, Serena, Aga, Abigail, dan Cielo saling berdekatan menontonnya. Tinggal kami berenam (ditambah Hanya) yang tersisa.

Menurut persepsiku nih, tidak ada yang aneh dari video itu. Klub Musik memainkan lagu Fur Elise dengan khidmat, termasuk Arelin.

Aku bergumam sendiri. Dia... cukup manis untuk seukuran pembunuh berdarah dingin. Apa benar dugaan Hanya, Arelin bukan Auri?

"Jadi? Bagian mana yang kau curigai?"

"Perhatikan wajah Arelin. Ada pergerakan tak wajar di seluruh wajahnya sampai leher. Aku pikir... dia memakai topeng silikon."

"Oi!" Refleks aku menendang lututnya.

Perkataan Hanya sama saja mengatakan Arelin menutup wajah aslinya dan menipu satu sekolah untuk menyusup ke SMA ini.

Kriinggg!!!

Belum sempat kami membahas lebih lanjut, bel masuk berbunyi. Aga segera meluncur ke kelasnya, di sebelah. Kami juga bubar ke bangku masing-masing. Para guru keluar dari kantor, menuju kelas sesuai jadwal.

Guru Matematika masuk ke dalam kelasku. Aku mengernyit melihat beliau kebingungan memeriksa tasnya. Duh, beliau tidak ingat PR yang dikasih minggu lalu, kan? Semoga beliau amnesia mendadak! Lihat, bukan aku sendiri yang mengharapkan tapi sekelas.

"Alsenon, bisa ambilkan buku absen di ruang guru? Seperti saya lupa mengambilnya."

"Siap, Buk!" Aku hormat dengan semangat.

"Saya akan menemaninya, Buk," cetus Cielo. "Saya khawatir dia malah belok ke kantin."

Hilih! Ente pikir aku kayak Hanya?!

*

Kantor guru kosong—jelas lah, semua guru telah menyebar ke seluruh kelas di gedung sekolah. Aku buru-buru mencomot buku absen warna pink di atas meja, tersenyum.

"Sen, kau yang membunuh mereka, 'kan?"

DEG! Aku terdiam mendengar celetukan Cielo plus hawa dingin yang membuat bulu kuduk berdiri, seolah yang sedang berdiri di belakangku adalah kulkas terbuka.

"Apa yang kau bicarakan? Siapa membunuh siapa?" bataku gugup. "K-kau gak seperti biasanya, Dyra. Aku tahu kau tertekan karena Noura, tapi menuduh gini gak baik..."

"Aku tahu perbuatanmu. Aku melihatnya karena kebetulan aku juga ada di sana. Kau membuat mereka seolah-olah gantung diri dengan cermat. Harus kuakui, itu hebat."

Lengang sejenak. Aku tidak lagi menyanggah.

"Aku tidak tahu, Alsenon yang ramah, yang baik hati, punya bakat dalam membunuh. Bagaimana reaksi teman-teman..." Cielo tersenyum miring. "Kalau mereka tahu ya—"

Wush! Tak!

Secepat kilat, sebuah gunting melayang mengiris pipi Cielo kemudian terpancang ke papan di belakang. Tes! Tes! Darah mengalir ke lantai. Tapi jangankan meringis, Cielo bahkan tidak mengernyit kesakitan. Dia justru menyeringai dengan ekspresi puas.

Mataku menggelap.

"Jika kau bicara yang aneh-aneh sekali lagi, berikutnya aku takkan meleset."






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro