5. Semua Karakter Telah Terunlocked

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku yang berpikir aku menjadi tokoh utama di cerita SOL ternyata dihantam realita semenjak pesan berdarah itu kutemukan di lokerku. Tadinya kukira itu adalah kejadian paling woah di hidupku, rupanya masih ada yang lain.

Ketika Cielo dan Noura bilang mereka juga mendapatkan surat teror itu, entah kenapa tiba-tiba jantungku diremas dari dalam, diapit oleh dinding tak kasat mata. Aku merasa takut jika masalah ini bukan lah masalah sepele yang bisa diatasi tak cukup beberapa menit.

"Kemarin hidup, hari ini tiada. Apa mungkin yang menulisnya mau bunuh diri? Rempong ah." Noura memikirkan hal sama seperti Serena.

"Jika dia mau bunuh diri, kenapa menulis dan menyebar surat sialan ini coba? Aku yakin dia hanya murid caper," balas Cielo ketus. Emosinya agak berkurang setelah tahu bukan cuma dia yang mendapatkan pesan kematian tersebut.

"Atau mungkin... ini masih awal saja?" kata Aga.

"Jangan mengatakan kalimat yang bisa memicu musibah, Aga." Gracia menegur dengan kalem. "Pokoknya kalian ke kelas saja dulu. Jika Hanya sudah bangun, nanti akan kuberitahu ke dia. Kalian semua tahu kan sifat anak itu. Pemalas."

Cielo masih ingin marah-marah pada si Hanya, tapi Noura menggeleng, menahan lengannya. Meski mereka berteman, mau bagaimanapun Noura itu ketua DKS. Dia tak membenarkan tindakan yang bersifat mengganggu sekolah.

Aku menatap pintu ruang OSIS yang tertutup rapat. Hanya ada di dalamnya, tengah tidur dan bermalas-malasan. Kuharap dia mau membantu teman-temannya yang sedang gundah gulana.

Walaupun dia tukang tidur, otaknya itu sesuatu.

*

"Lilitha, kau dari mana saja sih? Aku mencarimu ke sana-sini. Kau lupa kau model lukisku? Paling tidak kirim aku pesan di WA atau apa kek gitu."

Aku baru saja balik ke kelas dan disuguhkan Serena yang lagi mengomel. Ah, aku ingat. Lusa lalu Serena membutuhkan seseorang untuk menjadi model mahakaryanya untuk lomba dan Abigail mengangkat tangan jadi sukarelawan.

Tapi Serena benar juga sih. Saat bel istirahat pertama berbunyi, Abigail pergi entah ke mana.

"Habis ke rooftop," jawab Abigail.

Huh? Aku dan Aga saling tatap. Buat apa dia ke sana... Tunggu. Bukannya Abigail janjian samaku memeriksa rooftop saat jam istirahat kedua?

"Aduh, kau sebegitu kepikirannya sama surat teror gak jelas itu? Keasliannya diragukan, Lith."

"Meski begitu aku tetap cemas. Bagaimana jika orang itu sungguh akan melompat dari rooftop untuk bunuh diri... Aku hanya memastikannya."

Aku menggeleng, mengirim kode pada Serena. Sudahlah, biarkan saja Abigail itu. Dari dulu dia memang mudah bersimpati. Aku berdeham. "Jadi, apa kau menemukan seseorang yang punya tanda-tanda ingin mengakhiri hidupnya?"

Abigail menggeleng lesu. "Tidak. Mereka asyik menyantap bekal masing-masing. Sepertinya si peneror takkan beraksi di istirahat pertama."

"Kau terlalu gercep, Abigail. Santai saja. Mari kita periksa pukul satu siang nanti. Itu pun jika peneror kurbel itu betulan mau bundir. Kalau tidak ada, berarti kita hanya dipermainkan."

Tap! Aga dan Abigail berhenti mengobrol. Aku dan Serena menoleh serempak. Adalah Sila.

"Kenapa, Chausila?" Wajah Sila memang selalu datar, namun kali ini mimik datar-nya terkesan berbeda. Ada denting keseriusan menggantung di tatapannya. "Apa Hanya akhirnya bangun?"

"Aku pikir Roxanne ada benarnya. Surat teror ini bukan sekadar pesan iseng saja. Karena..." Sila merogoh saku roknya. Kami seketika terbelalak.

"... Aku juga mendapatkan suratnya."

Aku bangkit dari kursi. "Ini, di mana kau--?"

"Kudapatkan di keranjang sepedaku."

*

Ruang OSIS tampak pengap sebab semua tirai tidak terbuka. Gracia menghela napas panjang melihat seorang manusia selonjoran di sofa. "Hanya, mau sampai kau tidur, heh? Sudah cukup berleha-lehanya. Waktunya kau bekerja."

Tidak ada jawaban. Orang itu tidur nyenyak.

"Aku masih sukar percaya kalau dia yang dipilih oleh Kepala Sekolah," celetuk perempuan lain, bersandar ke dinding sambil bersedekap. "Aku pikir Noura lebih cocok dibandingkan Hanya."

"Kau di sini, heh. Ada urusan apa?"

"Yah, aku punya urusan pribadi sama Hanya."
[Mimosa Hoyanal, Ketua Sekbid 10 (Seksi Pembinaan komunikasi dalam bahasa Inggris)]

"Apa keluhanmu sama seperti Dyra?"

"Bukankah kau juga seperti itu?" Mimosa dan Gracia saling melempar tatapan tajam.

"Bisakah kalian diam? Aku mengantuk."

Mereka menoleh ke buntalan selimut yang dari tadi menempel erat dengan permukaan sofa akhirnya bergerak-gerak menunjukkan tanda akan bangun. Surai hitamnya acak-acakan. Belum lagi pakaiannya kusut masai. Menguap.

"Hanya, kita punya masalah yang ribet. Entah siapa pelakunya, seseorang menyebar surat teror bertuliskan 'Kemarin Hidup Hari Ini Tiada'. Alsenon, Dyra, dan Noura sudah jadi korban."

"Hee..." Dia menatap keduanya linglung.

"Dan," Mimosa dan Gracia mengeluarkan kertas berdarah yang mereka simpan di saku. "Kami..."

Dia memotong dengan mengambil kertas yang dipegang Mimosa dan Gracia. Benar. Mereka pun mendapatkan surat teror tersebut.

"Sepertinya mulai sekarang akan ada badai di sekolah, ya?" [Hanya Annavaran, Ketua OSIS.]



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro