6. Kau Berutang Roti Padaku

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kriinggg!!!

Finally, jam pulang berbunyi. Aku buru-buru mengemas semua buku pelajaran dan perkakas tulis ke dalam tas--tanganku ditarik Abigail.

"Tunggu, Lith! Kotak pensilku masih di sana!"

"Nggak ada waktu, Sen! Itu bisa diambil nanti. Kita harus cepat ke rooftop atau kita keduluan. Si Penulis surat pasti sudah menuju ke sana."

"Entah kenapa ini membuatku gugup," bisik Aga terlihat menikmati. "Dari tadi aku nggak bisa konsen sama materi. Pikiranku melayang bagaimana jika betulan ada yang mau bundir."

"Tunggu, Lilitha." Serena menahan langkah Abigail--karena dia berdiri di depan pintu.

"Minggir, Oviya. Aku sudah memberitahumu di grup whatsapp, kan? Kita harus mencegah Si Penulis Surat itu membuang nyawanya sia-sia."

Aku menolehkan kepala ke Abigail dan Aga. Kenapa mereka jadi berambisi begitu? Lagi pula keaslian surat itu masih diragukan. Kami hanya akan mendapatkan kekecewaan kalau begitu percaya Si Teror Kurbel sungguh mau bundir.

Dari awal aku sudah merasakan kejanggalan. Kalau mau bunuh diri, ya lakukan saja. Mengapa dia pakai tulis surat berbau riddle segala? Kecuali kalau isinya wasiat atau pesan untuk orangtuanya. Lalu yang terpenting, darah apa dan siapa yang dia gunakan. Aku penasaran.

"Aku punya ide bagus," kata Serena. "Kita tidak boleh hanya fokus pada satu tempat saja. Bisa jadi dia melakukannya di lokasi lain. Ditambah kita tidak tahu cara dia melakukan bunuh diri. Melompat dari atap kah? Atau gantung diri?"

Abigail diam. Benar juga. Itu tak terpikirkan.

"Jadi, lebih baik kita bagi tim. Aku dan Senin... maksudku Senon--maaf Sen, keyboard otomatis barusan--ke rooftop. Abigail dan Aga ke ruang penyimpanan alat peraga olahraga. Gimana?"

Aku mengangguk-angguk. Iyain aja biar fast.

"Eh, Dyra sama Noura nggak diajak? Secara, mereka kan juga nemuin surat itu," ucap Aga. Seperkian detik kemudian, dia menggeleng. "Tidak, lupakan saja." Mengajak Dyra bukan pertanda baik. Cewek itu bisa mengomel-omel dan memarahi mengapa diri menerima surat. Lalu 'subjek' pun makin anjlok mentalnya dan memilih bunuh diri sembunyi-sembunyi. Hayoi.

Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Aga. Tapi kurasa aku paham maksud ekspresi wajahnya.

*

"Kita di-prank. Aku yakin kita sedang diisengin."

Sebal? Jelas. Aku dan Serena menunggu serta keliling memonitor area rooftop selama dua jam. Tidak ada hal spesial terjadi. Hanya ada kami berdua di sana. Tidak ada pihak ketiga.

Dua jam lho anjir. Aku yang seharusnya sudah berada di rumah harus tertahan menanggapi kejahilan seseorang. Ini. Sangat. Menyebalkan.

"Sudahlah. Aku mau pulang."

"Eh? Sebentar, Senon--" Serena merogoh saku, mengeluarkan handphonenya. "Teman-teman mengirim pesan." Dia menekan balon obrolan grup 'Kita Rehat Sejenak', mendesah kecewa.

Aku menatapnya. Kenapa wajahnya lesu gitu?

"Kau benar, Sen. Kita pulang saja. Yang lain... juga tidak menemukan apa pun. Kita di-prank."

*

Gawat, gawat. Sekolah sudah sepi. Aku lupa mengambil kotak pensilku--takkan kubiarkan benda itu menginap di sekolah. Soalnya banyak perampok pena di kelasku. Aku menyuruh Serena pulang duluan karena merasa segan.

Bukannya aku takut karena lorong kelas yang lengang, hanya ada aku seorang, tapi ini cerita Thriller bukan Horror. Alih-alih disapa hantu, aku lebih takut dibuntuti stalker atau psikopat.

"Fyuh! Untunglah tidak hilang." Aku menghela napas lega karena kotak pensilku masih ada.

Tanpa babibu, aku memasukkannya ke tas dan bersiap-siap pulang betulan kali ini. Aku sudah membuang-buang waktu. Tidak seharusnya aku serius terhadap surat berdarah sialan itu.

Tap! Tap! Tap!

Aku berhenti melangkah. Suasana ini... suasana yang lumrah di dunia perhantuan. Aku menelan ludah. M-masa sih? Author tak menambahkan genre horor ke dalam kisahku, kan? Plis jangan. Aku sudah amat kesulitan memainkan peranku.

Tidak. Takut apa kau, Sen? Kau ini anak jantan. Hantu itu bakal ganggu kalau kita ganggu dia duluan. Lagian, woi, hantu mana ada suara langkah kaki! Aku menoleh tajam ke belakang.

Aku harus memastikannya. Aku merasa dejavu.

Jadilah aku menunda sebentar rencanaku untuk pulang ke rumah, mengikuti sumber suara barusan. Tidak perlu takut, diriku. Aku hanya perlu melayangkan tinju kalau aku terancam.

Drap! Drap! Drap!

Dia lari? Mau tak mau aku ikut mempercepat langkah. Jangan-jangan dia pelaku dari surat teror. Kalau begitu aku tak punya alasan untuk membiarkannya lolos. Paling tidak kupukul atau kujitak kepalanya, memberinya pelajaran.

Langkahku berhenti di ruangan klub penelitian sains yang sudah tak terpakai karena kurangnya anggaran--membernya mubazir uang. Mereka membeli properti tak berguna. Palsu pula. Pintu ruangan itu sedikit ternganga. Dia di dalam!

Aku berniat ingin langsung menerobos masuk untuk memergoki si pelaku, namun pintunya terhalang sesuatu. Apa ini. Aku mengintip lewat celah. Ruangan tersebut gelap banget.

Kulirik kiri-kanan. Yosh, tidak ada satpam.

Dengan segenap tenaga, aku pun mendorong pintu. Aku tidak peduli pada benda apa yang menghambat pintu. Yang ada di kepalaku saat ini adalah menangkap basah si pelaku surat!

Begitu pintunya terbuka olehku... satu kotak meluncur jatuh hendak menimpaku. Celaka--

Seseorang meregang lenganku.

Braakkk!!! Kotak itu menghantam lantai kosong.

Aku mengerjap, berkeringat. "H-Hanya?!"

Dia masih di sekolah rupanya. Eh, tidak! Bukan itu sekarang. Aku menatap isi kotak yang berderai, melotot. "Diisi batu?" Pantasan berat.

"Kotak ini jatuh lurus ke kepalamu. Merujuk posisimu yang tidak berubah serta menilai bobot muatan kotak, itu bisa melukai lobus parietal (otak bagian atas) hingga ada potensi merusak kemampuan motorikmu..." kata Hanya.

"Hah?" Aku kebingungan. Dia menjelaskan apa?

"Intinya, aku sudah menyelamatkan kepalamu. Tentu saja itu tidak gratis. Roti croissant rasa bluberi tiga buah. Harus kau berikan besok." Hanya melambaikan tangan, menguap malas.

Apa? Perhitungan sekali si tukang tidur ini! Aku segera menyusul langkahnya. "Tiga roti? Sialan, kau mau memalakku? Kau kira harganya--"

"KYAAAAA!!!!! Apa-apaan ini?!!"

Aku dan Hanya berhenti melangkah, menoleh.





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro