File 1.1.4 - Actually, It's Not Just Broken

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mjol Annekke sangat senang ketika klub detektif berubah pikiran dan membantunya. Dengan begini kakeknya takkan ribut minta tolong ke tetangga lagi. Sudah banyak keluhan mendatangi Mjol soal masalah loteng rumah kakeknya itu. Mereka minta ampun menanggapi omelan Windoa.

"King, sedang apa kamu?" Aiden bertanya.

"Kita pergi ke sana naik apa?" Secara, klub detektif tidak lagi tiga orang. Mereka butuh kendaraan pribadi. Ide ini sebenarnya sudah muncul jauh-jauh hari, namun terus kelupaan.

Gadis Penata Rambut itu merogoh ponselnya. "Seperti biasa. Kita pergi pakai mobilku." [Aiden Eldwers, putri bungsu dari keluarga terkenal Eldwers Group.]

"Orangtuaku lembur hari ini, jadi Ama yang akan menjemputku. Kita bisa menumpang dengannya." [Jeremy Bari, anak angkat dari keluarga diplomat.]

"Kita nebeng sama Ayahku saja. Dia free sore ini." [King Krakal, putra kepala sekolah Madoka yang merupakan mantan menteri.]

Saho dan Gari gemetaran. Perbedaan hierarki yang sangat jauh. Mereka bertiga berada di kasta tertinggi.

Dengar-dengar, Hellen Stern adalah anak dari pemilik rumah sakit terbesar di Moufrobi. Belum lagi Ibunya punya bisnis sendiri: pemilik restoran termasyhur, serta anggota LFN (lembaga forensik nasional) yang tak bisa diremehkan prestasinya.

Hiy! Sejarah keluarga macam apa ini?!

"Kak Saho, bagaimana dengan Ketua? A-apa yang kamu tahu tentang Kak Watson?"

"Kata Aiden, Tantenya seorang paramedis dan Pamannya adalah CEO hotel khusus para politikus berkumpul. Tapi itu hanya pekerjaan sementara mereka di sini."

"K-kalau Kak Saho sendiri bagaimana?"

"Aku tak sehebat mereka..."

"Hei, kalian berdua!" Saho dan Gari terkesiap mendengar seruan Jeremy. "Kenapa kalian diam saja di sana? Ayo cepat masuk."

"B-baik!" Keduanya menyahut.

Lokasi tujuan tidak jauh, hanya melewati Hutan Mausav. Aiden tersenyum saat mobil yang mereka naiki melewati hutan itu, mengintip lewat jendela. Ingatannya berputar seolah baru terjadi kemarin.

"Apa di sini terjadi sesuatu?" celetuk King menangkap mimik ekspresi Aiden.

"Kasus Tiga Siswi Berkacamata. Di sinilah TKP-nya. Yah, pada akhirnya kami berhasil menolong teman sekelas kami dan terlempar oleh ledakan bom di Stadion Terminus." Jeremy yang menjawab. Selain Aiden, dari tadi cowok itu juga kepikiran.

"Terdengar tidak menyenangkan..."

"Sama sekali tidak!" seloroh Aiden ngegas. "Jeremy terluka parah. Dia dibalut perban selama dua minggu. Cosplay jadi mumi. Badanku patah-patah. Hellen pun sama kritisnya. Apalagi Dan, betisnya terkoyak karena pecahan lampu. Membayangkan itu kembali membuatku merinding."

"Kalau begitu bisa hentikan?! Rasanya aku ingin mengompol mendengar ceritamu!"

"Apa ini?" Aiden tersenyum miring. "Kamu Trypophobia, ya? Hemophobia? Takut darah atau takut segala bentuk luka?"

Ini cewek kenapa suka sekali menggoda? King melempar wajah ke jendela. Tidak menjawab. Dia hanya merasa ngeri.

Sepuluh menit berlalu, mereka sampai di tempat tujuan. Matahari sudah tumbang di ufuk Barat. Mereka terlalu lama berdebat dibanding di perjalanan.

"Aku pulang! Tebak siapa yang datang, Kek. Klub detektif Madoka! Mereka akan mengatasi masalah loteng-loteng Kakek." Mjol berseru semangat memanggil Windoa yang mungkin masih sibuk di dalam rumah.

Satu menit menunggu tuan rumah keluar, akhirnya Windoa mempersilakan mereka masuk. Tetapi Aiden menolak, bilang ingin langsung ke inti maksud dari kedatangan mereka berlima.

"Jadi Anda seorang peternak?"

"Benar, Nak." [Windoa Aodniw, 70 tahun.] "Selama ini aku mengurusi hewan ternakku dengan baik dan telaten. Hingga hal menyebalkan itu datang dan mengganggu pekerjaanku. Tidak hanya sekali, ini mungkin sudah keempat kalinya sesuatu itu membolongi loteng kandang ayam-ayamku."

"Bagaimana mula kejadiannya, Pak?"

"Aku tidak tahu. Waktu itu aku sedang mengaduk bahan makanan, lalu tiba-tiba aku mendengar suara debum keras. Ketika aku memeriksanya, kandang ayamku sudah berlubang. Ikuti aku."

Windoa memimpin jalan menuju kandang yang disebut-sebut sembari menyenteri dengan lampu petromaks. Suara jangkrik menemani dan geraman burung hantu. Suasana yang sedikit horor.

"Itu kandangnya?" Jeremy berkata. "Besar."

"Yeah. Karena ini istal kuda."

Mereka bisa melihatnya. Delapan buah lubang misterius melobongi loteng istal. Ada beberapa tambalan di satu dua atap, namun sisanya berlubang. Mungkin Windoa sudah lelah mematrinya karena tidak ada gunanya. Toh, mau seberusaha apa dia memperbaikinya lotengnya akan kembali rusak.

"Anehnya," Windoa mendobrak pintu kandang. Jangankan bergerak barang, pintu itu bergeming seperti diganjal. "Kalian lihat? Aku tidak bisa membuka istal ini."

King mengkode Saho dan Gari supaya mereka segera mengelilingi kandang. Mereka berdua mengangguk, mulai memeriksa dari sudut kiri-kanan. Kali saja ada akses masuk selain pintu depan.

"Ini istal kuda, namun Bapak tidak membuat jendela." Aiden mulai bertanya-tanya.

"Memang terlihat begitu, namun aku menjadikan bangunan ini sebagai tempat penyimpanan." Windoa menjawab sekenanya. "Karena ukurannya besar dan tinggi, akan menguntungkan kalau aku menyimpan lumbung ternakku di sini."

"Apa setiap kejadian, Bapak tidak ada di sekitar istal?" Giliran Jeremy melontarkan pertanyaan. Sedangkan yang lain asyik memantau lingkungan sampai ke sudut-sudut.

Windoa mengangguk. "Atapku selalu berlubang saat aku menyiapkan sarapan untuk Mjol atau saat sedang memberi makan hewan ternakku."

Aiden dan Jeremy bersitatap. Tidak salah lagi, Windoa diawasi oleh seseorang. Terlalu tidak logis menyebutnya kebetulan.

"Bagaimana?" tanya King.

Gari menggeleng. Napasnya tersengal. "Kandang ini terbuat dari kayu jati, Kak King. Kerapatan masing-masing papan berjarak lima mili. Tidak ada celah sama sekali."

"Bagaimana kalau kita panjat saja istalnya dan melihat isi ruangan lewat bagian yang dilubangi?" usul Saho menunjuk tangga.

King juga berpikir demikian. Tetapi, ada beberapa kemungkinan yang terpikirkan olehnya. Satu, Windoa pasti sudah tahu apa yang tersembunyi di gudang penyimpanannya tanpa harus meminta bantuan mereka. Dua, bagaimana jika atapnya terlalu lapuk hingga Windoa tidak berani memanjat? Tiga, Windoa memanggil klub detektif Madoka karena tidak mau menghancurkan istal itu. Mungkin beliau berpikir mereka bisa mengetahui jawabannya tidak perlu harus melihat ke dalam.

Bahkan Watson sekali pun akan kesusahan.

"Bagaimana sekarang, King?" tanya Aiden. Di antara mereka, jelas King yang bisa menentukan langkah mereka selanjutnya.

"Aku tidak tahu." King tak punya ide. Andai dia sedikit cerdas seperti Watson... Ng? King memicingkan matanya melihat bantalan hitam di bagian yang berlubang. Apaan tuh? King membungkuk mengambil kerikil kecil, lantas melemparnya ke benda tersebut.

Eh? Bergerak? Hanya sebentar dan bantalan itu kembali bergeming. Meninggalkan banyak tanda tanya di kepala King.

*

Esok paginya.

Aiden datang dengan penampilan yang fresh. Rambut pirangnya dikuncir kuda bersamaan dengan poni membuat helai demi helai berjatuhan. Pita merah bergaris-garis putih tampak di kunciran itu. Antingnya juga seiras.

K-kak Aiden cantik sekali! pekik Gari dalam hati. Dia masih tidak menyangka akan melihat primadona Madoka secara langsung. Apakah Gari sedang bermimpi?!

"Sekarang bagaimana, ya? Apa kita harus pergi ke rumah Kakek Windoa sekali lagi?" celetuk Jeremy membuka topik obrolan.

King mengelus dagu. "Sebenarnya, aku rasa itu bukan sekadar rusak."

Aiden dan Jeremy menatapnya.

"Lubang itu tampak mulus tanpa cacat, dapat dipastikan yang menimpanya adalah benda berbentuk bola dengan massa berat sampai menimbulkan suara debum."

Saho berkeringat dingin. "Lalu penyebab pintu istal tidak bisa dibuka. Mungkinkah...?"

King mengangguk. "Benar. Kandang itu mungkin saja sudah penuh oleh sampah-sampah misterius tersebut. Dengan kata lain, ada seseorang di luar sepengetahuan Pak Windoa membuang sampahnya ke istalnya."

"Tapi kenapa?" Gari tidak mengerti.

"Mungkin Buk Aiden punya penilaian?"

"Entahlah, aku hanya punya satu. Kemungkinan pelaku mengincar luas ruangan dari istal Pak Windoa dan terlanjur terbiasa membuang sampahnya ke sana." Aiden menghela napas, meluruskan kaki yang terjuntai sedari tadi.

"Masih ada saja orang yang seperti itu. Kebiasaan buruk." Jeremy mendesah pelan. Dia menatap Saho yang sedang berpikir. "Ada apa, Sa? Wajahmu serius banget."

Saho menggaruk-garuk hidung. "T-tidak. Aku masih merasa ganjil dengan Mjol."

"Kenapa dia?"

"Kalau masalahnya hanya kumpulan loteng yang bolong, kenapa dia harus menangis ketika Aiden mengusirnya? Tidakkah itu sedikit aneh?" Saho teringat insiden kemarin.

Deg! Aiden, King, dan Jeremy terkesiap. Kalau dipikirkan sekali lagi reaksi Mjol memang aneh. Dia tidak perlu sampai menangis sebegitunya cuman karena sebuah atap yang rusak.

"Apa masih ada penyebab lain, ya?"

Aiden mengepalkan tangan. "Kalau sudah begini, apa boleh buat. Kita harus minta pencerahan pada Dan!" Sebenarnya ini hanyalah alasan untuk menghubungi Watson. Biasa lah, Aiden gemar mencuri kesempatan dalam kesempitan.

Secepat ini? King dan Jeremy bersitatap.

"T-tapi, bukankah sebulan terakhir Kak Watson sudah jarang berkomunikasi?"

"Kita harus berani bertaruh. Semoga saja kali ini Dan merespon!" Dengan gugup, Aiden menekan tombol video call memakai kontak klub detektif. Kalau dia pakai nomor pribadi, Watson takkan sudi mengangkat.

Bunyi dering menemani sejenak. Tidak hanya Aiden, yang lain juga menunggu tegang. Sampai tiba-tiba layar ponsel Aiden berubah jadi gambar loading. Sedang memuat.

Diangkat! Watson menerima panggilan!

Akan tetapi, yang muncul bukanlah Watson melainkan sebuah gambar chibi berwajah Watson. Ia berkedip-kedip. Pemuatan selesai.

[Halo, aku adalah AI Watson Dan. Karena dia sangat sibuk, mulai sekarang aku lah yang akan membantu kalian.]

"KYAAA!! IMUT!!!" Teriakan panjang Aiden menusuk gendang telinga member klub detektif Madoka. Dia menggesekkan pipinya secara gemas ke layar hape. Fetisisme.

Ini kejutan di luar dugaan. Ternyata Watson diam-diam membuat sesuatu. []





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro