File 1.2.5 - Why do Suspects Fall So Often?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Chalawan menatap berita terkini di ponsel, terbelalak melihat potret King bersama anggota klub detektif berada di TKP. Salah satu warga atau wartawan pastilah merekam kejadian dan menyebarkannya di internet hingga kepala sekolah Madoka itu tahu di mana King meski tidak diberitahu ke mana oleh guru yang mengatakannya membolos. Dia pasti sedang berdiskusi.

Chalawan tahu persis sifat anak gilanya itu. Dia hanya memikirkan apa saja yang membuatnya senang tak peduli membuat pihak lain kesal dan gemas padanya. King memang sableng, jatuh cinta pada karakter 2D, suka jejepangan garis keras. Tetapi dia tahu batasan.

Contohnya sekarang. King terlena oleh arus kasus Tangan Kiri Buntung yang mereka garap sampai dirinya lupa bahwa dia telah meninggalkan rumah sebulan lalu. Seharusnya dia merasa janggal akan perkataan Chalawan tentang 'tidur bersama' padahal dia sendiri tak pulang-pulang.

Tidak ada yang salah dengan tangan Chalawan. Dia hanya ingin membantu saja. Terus terang, melihat anaknya serius berpartisipasi pada kegiatan klub, Chalawan sangat senang. Setidaknya ada yang dilakukan oleh King selain membuang-buang waktu dengan para pacar kertasnya.

Dan tampaknya bukan hanya Gari yang bersimpati pada Hongfu. King juga termasuk karena dia mantan ketua klub melukis. Dia akan membantu membersihkan nama anak itu supaya tidak ada masalah dalam perlombaannya.

"Siapa kalian?" Jelas ini pertanyaan pertama Marzio. Setelah memastikan bahwa dia kenal, raut wajahnya sedikit berubah menjadi datar. "Kenapa member klub detektif terkenal menemuiku?" Dirinya bukan pengangguran ataupun gelandangan. Jadi, Marzio tahu kabar-kabar terbaru di kota.

"Kami hendak meluruskan kesalahpahaman berat yang menimpa adikmu, Kak Zio. Maukah kakak bekerja sama?"

Jeremy berhitung dalam hati. Semoga saja kakak Hongfu ini mau menerima tawaran. Skenario terburuknya dia tak percaya atau malah melampiaskan kemarahannya pada mereka, bilang tak becus atau semacam itulah.

"Oke." Marzio menjawab tenang membuat Jeremy mengerjap. Disetujui dengan cepat tanpa keraguan. "Meminta tolong pada kalian mungkin ide yang bagus dibanding kumpulan pekerja gaji buta itu," lanjutnya ramah walau tidak tersenyum. Mungkin dia risau pada adiknya.

Kaffeinate. Tempat favorit klub detektif meminta keterangan dari wali tersangka atau korban. Bukan karena apa. Watson menyukai kafe itu. Mereka pun ikut-ikutan.

"Aku yakin kalian sudah mencari tahu tentang Hongfu sebelum menemuiku," simpul Marzio brilian. "Sesuai yang kalian temukan, apa pun itu, kemarin memang adalah hari perlombaan menggambar yang dia ikuti."

"Apa kakak tahu tujuan Hongfu ke pelabuhan?"

"Aku rasa Hongfu ingin menemui gurunya. Seorang guru magang yang mengajarkannya cara melukis dari dasar. Kudengar guru itu pindah ke kawasan Hanar. Adikku mengikuti rute jalan yang telah kusiapkan."

Kelimanya tertegun. "Eh? Rute?"

Marzio mengangguk. Mimiknya masih datar serta intonasi suaranya, namun dapat dipastikan dia khawatir. "Ingatan Hongfu tidak sebaik dulu—kalian pasti tahu adikku mengalami kecelakaan tahun lalu. Sejak saat itu Hongfu suka tersesat. Aku cemas dia tersesat jauh dan tak punya pilihan selain memasangkan maps di ponselnya. Dari GPS milikku, Hongfu melewati rute yang kuberitahu. Jalan Forai-Foraii."

Gari mencatat. Saho meminta Dangil menunjukkan jalan.

"Selang 200 meter dari rumah, Hongfu sempat berhenti selama delapan menit. Aku pikir dia berisitirahat mencari toilet umum." Untuk seukuran kakak dari adik yang tertuduh melakukan tindak kriminal, Marzio amat tenang dan berwibawa.

"Kenapa Kak Zio bisa tahu?" tanya Aiden.

"Adikku tidak bisa mengontrol buang air kecil dan besar. Guru-guru di sekolahnya memaklumi karena Hongfu korban kelinci percobaan dari dokter sialan yang belum pernah melakukan anestesi torakotomi. Kalian pastilah tahu Hongfu jadi begitu karena kesalahan dalam pembiusan."

Orang ini dingin namun sangat peduli pada adiknya!

Dangil memutus suasana canggung. [Aku sudah memeriksanya. Ternyata benar, Hongfu mampir ke toilet umum Centicore. Hanya ada satu CCTV di jalan itu.]

"Aku bertanya-tanya kenapa tidak ada si dominan, ternyata dia berubah jadi kecil?" cetus Marzio menatap AI Watson. "Well, itu tidak penting. Aku tak peduli siapa yang menguak kebenaran. Aku hanya ingin hasil kinerja kalian. Apakah kalian bisa membuktikan adikku tidak bersalah—"

"Kenapa Hongfu suka terjatuh?" sergah King.

"Itu juga salah satu efek samping dari keracunan anestesi. Dokter sialan itu tidak memperhatikan tekanan darah dan asal menyuntikkan etomidate, remifentanil, dan kardiotonik. Adikku sungguh beruntung bertahan hidup dari tiga obat bius yang berbeda." Marzio mengepalkan tangan emosi.

King mematung di tempat. "T-tiga sekaligus? Dasar gila! Apa dokter-dokter itu ingin membunuh pasien?! Pantas saja terjadi komplikasi serius pada Hongfu."

"Eh, itu apaan?" Aiden dan Jeremy menyikut King.

"Kalian tidak tahu? Sama! Aku juga tidak!"

Mereka berdua melepaskan sepatu, ingin menimpuk kepala Raja Abal-abal itu. Dia cengengesan. "Aku bercanda. Etomidate itu biasanya digunakan dalam prosedur pembiusan yang cepat dan singkat. Kalau remifentanil obat anti nyeri guna menghambat aliran sinyal sakit di otak lalu memberi pengaruh pada respons tubuh. Sementara kardiotonik adalah obat yang bekerja pada otot jantung dengan cara meningkatkan daya kontraktil atau menguatkan saraf pusat biar impuls jantung mengencang. Begitulah kira-kira."

Ketiga obat itu berkombinasi dan menghasilkan beberapa efek samping. Kesalahan timing menyuntik, keteledoran dalam memantau tekanan darah, buruk sekali fungsi kedokteran di Moufrobi. Apa mereka tidak berniat menyelamatkan pasien?

"K-Kak King pintar!" Gari berbinar kagum. Mengulum bibir.

"Boleh juga, King. Meski belum sehebat Dan."

Jeremg mendengus. "Kamu apa-apa hanya memikirkan dia. Kenapa tak sekalian anggap kerikil-kerikil itu Watson. Ajak bicara. Tanggung, ajak nikah. Hidup selamanya."

"Kamu ingin aku menikah dengan batu? Kurang ajar!"

Gari tertawa melihat pertengkaran dua kakak kelasnya tanpa sadar Saho meliriknya lamat-lamat. Cowok cantik itu bergumam dalam hati. Entah memikirkan apa.

"Pokoknya sekarang kita harus pergi ke Centicore untuk mencari petunjuk berikutnya. Mana tahu kita mendapat sesuatu di sana," putus King bergegas kembali ke mobil.

"Apa Kak Zio ikut dengan kami?" tanya Aiden sebelum menyusul Si King tukang tancap gas.

"Tidak usah. Aku akan kembali ke kantor polisi menemani adikku. Kuharap kalian bisa mengumpulkan bukti-buktinya."

"Serahkan pada kami!"

Sesampainya di lambung mobil, telepon dari seseorang yang sangat mereka kenal menyambut. Jeremy lah paling semangat mengangkatnya. Mereka lupa sejenak soal Chalawan yang masih jadi sukarelawan.

"HELLEN!" sorak Jeremy senang. Penuh pancaran warna merah muda. "Kenapa meneleponku? Kamu kangen? Maaf deh belum bisa jenguk. Aku di-blacklist. Butuh seminggu lagi aku diperbolehkan ke sana."

[Tidak, Jer. Aku tidak meneleponmu.]

Aiden mengambil alih ponsel karena Jeremy patah hati ditolak. Dia sedang diketawai King. "Ada apa, Hellen?"

[Aku tidak tahu apa yang terjadi di luar sana, tapi ada masalah di sini, Den. Seorang pasien sakit jiwa baru mengakui dirinya bukan pasien yang dimaksud. Dinilai dari gelagatnya aku rasa dia mengatakan yang sejujurnya.]

"Siapa nama pasiennya?"

[Arun Derunadel. Kupikir ada yang salah.]

Layar ponsel King menyala. Lagi-lagi Dangil. [Aku mendapat informasi terbaru dari LFN. Baru saja keluar tiga detik lalu. Tangan kiri buntung yang ditemukan di koper Hongfu selesai diidentifikasi. Itu adalah tangan dari murid bernama Arun Derunadel. Seseorang yang disebut Hellen barusan.]

Deg! Aiden dan Jeremy tercenung.

Chalawan tersenyum miring melihat wajah kaget King. "Sepertinya kamu mendapat kasus rumit, Nak." (*)


















Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro