File 1.3.4 - Part Full of Suspicion

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Sepertinya anak itu mengenali saya, Nyonya. Reaksinya tidak wajar. Apa perintah Anda? Haruskah saya menyingkirkannya?"

[Mou, kamu ini. Jangan mengatakan sesuatu yang menakutkan dong. Aku tidak mengajarimu jahat lho, apalagi sama anak kecil. Tapi, aku senang kamu bertanya lebih dulu sebelum bertindak. Saho anak pintar.]

Pemilik nama mengusap tengkuk leher, senang dipuji. "I-ini bukan apa-apa dari kehidupan yang Nyonya berikan pada saya."

[Aku ingin kamu mengawasinya saja, jangan melakukan hal-hal mencurigakan. Anak bernama King memang tidak terlalu pintar, namun dia cermat. Jika kamu tidak ingin ketahuan maka hati-hati melangkah. Paling tidak berusahalah sampai adikmu kembali.]

"Dimengerti, Nyonya."

Panggilan ditutup sepihak. Saho menatap CCTV di sudut ruang klub—dia sudah mematikan semua kamera tersembunyi yang ada di sana sebelum menelepon.

"Jadi kamu punya adik?"

Saho menoleh datar. "Apol, huh. Apa yang kamu lakukan di sekolah selarut ini?"

Ketua Dewan Siswa itu tersenyum misterius, matanya terpicing karena sipit. "Ei, jangan menjawabku dengan pertanyaan juga dong. Padahal kamu sendiri di situasi sama."

"Kita punya perjanjian, Apol. Kuharap kamu tidak melewati batasmu."

"Begitupun kamu, Shepherd. Kuharap kamu tidak lupa aku masih seorang Ketua Dewan Siswa. Jabatanku berlaku keras di sekolah."

Saho berdecak. "Baiklah, itu salahku menelepon di ruang klub di tengah malam. Semua orang pasti curiga apa yang sedang kulakukan. Tapi aku punya alasan."

"Coba kutebak, kamu tidak punya tempat aman menghubungi bosmu selain di sini?"

"Izinkan aku menebak juga, apakah Anlow yang memberitahumu?"

Lengang sejenak. Keduanya sama-sama melemparkan pertanyaan sensitif, merubah raut wajah yang anteng menjadi masam. Apol yang terkenal dengan ketenangannya dan Saho yang dijuluki penyabar meski sudah diledek 'perempuan' berkali-kali.

Memutus hening, Saho perlahan melangkah maju ke pintu keluar. "Aku sarankan waspada terhadap Gari. Dia mempersiapkan sesuatu, namun aku tidak tahu apa itu."

"Bukankah kamu yang berbahaya di sini?"

Saho menarik pistol yang dia sembunyikan di jas sekolahnya. Begitu dia berbalik untuk menodong Apol, payung kuning terbentang di hadapannya. Mungkin karena gelap, Saho tidak melihat Apol menenteng payung.

"Kamu pikir itu bisa menangkis peluru?"

"Kenapa tidak? Payung ini penyelamatku sejak dulu. Lagi pula aku tak yakin itu pistol sungguhan. Kamu ahli merakit, bukan?"

Kena deh. Saho mendecih jengkel, kemudian pergi dari ruang klub meninggalkan Apol yang tersenyum penuh kemenangan.

Dua menit setelah kepergian Saho, Apol pun ikut keluar sambil menyandarkan batang payungnya ke bahu, melamun menatap spanduk 'klub detektif' di daun pintu. Mata sipitnya terbuka serius.

"Dia orang kedua yang mengetahuinya..."

Sayangnya Apol tidak menyadari bahwa bukan hanya dia anggota Student Council yang masih berkeliaran di sekolah. Sosok itu sedang bersembunyi di balik dinding, bergegas kabur sebelum Apol melihatnya.

*

"Jadi, bisakah kamu memberitahuku apa yang kamu lihat di TKP?" Aiden bertanya.

"Aku tak yakin bisa membantu banyak. Sebenarnya aku hampir tidak melihat apa pun karena ketakutan. Aku pikir Kak Holmes membesar-besarkannya saja."

Seorang Watson tidak mungkin melakukan tindakan tak perlu. Dia memilah mana yang berguna dan mana yang sampah, begitulah pikir Aiden. Pasti ada sesuatu yang membuat Watson sukarela melindungi anak itu.

"Apakah kamu melihat hal lain di TKP?"

Deg! Tubuh Castol seketika menegang.

Ternyata benar dugaan Aiden. Inilah yang diincar Watson. Sherlock Pemurung itu tahu Castol menemukan sesuatu selain pelaku berada di lingkungan TKP dan berpikir Castol telah diancam agar tutup mulut.

Aiden tersenyum. "Tenanglah, aku tidak memaksamu membicarakannya. Selama di rumah ini, kamu terjamin aman. Orang jahat itu takkan menyakitimu. Hingga kakak Holmes datang, kamu tinggal bersamaku."

"T-tapi, kak Holmes sedang dalam bahaya. Apakah dia bisa datang kemari?"

"Eh, apa yang kamu katakan?"

"Segerombolan pria jahat mengejarnya. Mereka membawa pistol, bom, dan senjata lainnya. Jumlah mereka juga banyak. Bagaimana cara kak Holmes ke sini..."

Jadi ini maksud Watson tidak punya banyak waktu. Kalau tidak salah temannya yang bernama Aleena seorang putri mafia, kan? Dia pasti memiliki banyak musuh di New York dan butuh bantuan Watson.

Aiden tersenyum miris. "Dasar si Dan itu. Sok dingin namun sebenarnya peduli. Tindakannya berbeda dengan sifatnya. Haruskah kupanggil dia Sherlock Tsundere?"

Castol meneleng bingung melihat Aiden bergumam sendiri. "Oh! K-kakak mau ke mana?" tanyanya cepat begitu gadis landak itu bangkit dari kasur.

"Ah, aku akan tidur di kamar kakakku. Aku memiliki kecenderungan tidur sendiri, jadi maaf ya kita tidak bisa seranjang. Jangan khawatir, aku akan menyuruh lima pengawal melindungi kamar ini. Kamu bisa tidur nyenyak. Sampai jumpa besok."

Sesuai perkataannya, Aiden benar-benar memerintahkan lima bodyguard menjaga kamar tersebut. Dua di dalam, tiga di luar. Lalu jika terjadi sesuatu, sepuluh pengawal berpatroli di ruang tamu. Juga di halaman.

Aiden menghempaskan tubuhnya ke kasur, menghela napas panjang. Sudah lama dia tidak tidur di kamar Anlow. Karena pelayan selalu membersihkannya secara rutin, kamar itu tidak terlihat 'ditinggalkan'.

"Dan, apa dia baik-baik saja di sana, ya? Bagaimana dengan Hellen, apa terapinya sudah di penghujung? Aku tidak tahu harus bilang apa soal Jeremy. Dia pasti khawatir."

Aiden menoleh ke kumpulan kardus tersusun rapi di tepi kamar. Itu barang-barang peninggalan Anlow. Mama dan Papanya tidak berniat memindahkan kotak-kotak itu ke gudang. Setidaknya kamar ini tidak kosong.

Kelereng fuchsia miliknya menoleh ke kardus dengan coretan 'journey'. Ah, benar juga. Dulu Anlow suka bepergian ke luar negeri.

"Hobi kakak aneh. Kenapa dia suka banget koleksi benda tak jelas beginian?" Aiden bersungut-sungut memeriksa isi kotak.

"Lho?" Gadis Penata Rambut itu memungut sebuah alorji antik yang mahalnya kelihatan hanya dari modelnya. "Made in New York?"

Aiden membuka penutupnya, menjatuhkan secarik kertas lusuh nan kotor. Tulisannya hampir memudar sebab tersimpan lama, namun bagian atasnya masih bisa dibaca.

Rupanya itu sebuah tiket pesawat.

"Eh, kak Anlow pernah ke New York? Terlebih sepuluh tahun yang lalu?"

*

Rumah sakit Atelier.

"Jangan memaksakan dirimu, Inspektur. Kata dokter, Anda mengalami gegar otak ringan. Anda harus beristirahat lebih. Tidak kusangka Anda jadi begini melawan remaja."

"Kamu dengar penjelasannya. Itu cuman benturan ringan. Aku ingin pulang malam ini juga. Katakan pada dokternya."

"Ya ampun, Inspektur Angra, sifat kepala batumu tidak pernah berubah sejak dulu. Itulah mengapa banyak yang mengatakan Anda mirip dengan Inspektur Deon."

"Huh?" Angra melirik tajam.

"T-tidak. Maaf, lidah saya kepeleset."

Tep! Suara langkah kaki itu menghentikan percakapan mereka berdua. Angra menyeringai. Wah, wah, tidak diduga dia mendapat tamu di jam segini. Sebuah kunjungan tak terprediksikan.

"Kamu bukannya yang dari klub detektif?"

"Pergilah duluan ke mobil. Aku akan segera menyusulmu setelah kami selesai."

"Baik, Inspektur."

Menyisakan mereka di keheningan malam. Ah, sepertinya tidak juga. Masih terdengar aktivitas perawat lalu lalang di lorong yang mendorong troli obat-obatan. Atau kumpulan dokter shift malam yang standby di tempat masing-masing menunggu pasien.

"Ada gerangan apa kamu mendatangiku malam-malam begini, King Krakal?"

King diam saja. Menatapnya datar.

"Tidak mungkin kan kamu terharu padaku karena selamat dari tabrakan truk yang dikemudikan bocah gila. Ayolah, aku tidak melakukannya demi kalian."

"Sebenarnya aku tak ingin ikut campur, bukan, aku tak tertarik sama sekali atas apa yang menimpanya, namun setidaknya aku harus sedikit berapresiasi."

"Dalam rangka?"

"Itu Anda, kan? Rekan Ibu... Maksudku, partner dari wanita yang melahirkanku." King mengeluarkan selembar kertas. "Aku meminta bantuan temanku (maksudnya Dinda) untuk mengulik informasi yang ditutupi oleh kepolisian. Kalian sangat hebat dalam menimbun sesuatu. Aku salut."

Angra berusaha tak terpancing emosi. Mereka di rumah sakit. Angra tidak mau mau membuat keributan di sana.

"Kalian satu tim dalam kasus yang menewaskan wanita itu. Anda pasti tahu suatu rahasia kan, Inspektur Angra?" King mulai membaca kertas di tangannya.

Angra mengepalkan tangan.

"Apa itu Revive Project? Apakah itu berkaitan dengan insiden pelelangan identitas di Snowdown? Sebenarnya, apa yang sedang kalian rencanakan?"

Habis sudah kesabaran Angra. Dia menarik kerah leher King, menatap berang. "Tutup mulutmu dan lupakan semua yang kamu tahu jika kamu masih ingin hidup."

"Kalau aku masih ingin hidup, tak mungkin aku datang kemari cuma-cuma, kan?"

"Anak-anak sepertimu tahu apa bagaimana cara dunia bekerja. Sekolah saja dengan benar sana, Raja Bodoh."

Ekspresi King kosong. "Iya, ya. Aku tampak bodoh dengan semua tindakan gila itu. Tapi ketahuilah, setiap manusia punya topeng."

"Omong kosong apa lagi—"

"Wendy Kamluna. Detektif remaja 16 tahun yang tewas 2 tahun lalu saat menyelidiki sebuah kasus bersama Anda. Aah~, aku rasa aku paham alasan mengapa Inspektur tidak mengerjakan profesi Anda sebagaimana umumnya dan sangat membenci klub detektif Madoka. Apakah karena cewek ini? Anda berharap pada Revive Project yang konyol itu untuk menghidupkannya?"

Angra menggeram. "King...!"

Pemilik nama hanya tersenyum licik. (*)


N. B. Oh tentang hubungan King & Angra mungkin akan lebih dijelaskan di series King. Di sini cuman cuplikannya saja.






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro