File 1.3.5 - Serious Side of King

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Selamat pagi."

Tidak ada yang menjawab sapaan Aiden padahal King dan Gari sudah duduk manis di ruangan itu. Wajah mereka kebingungan seakan yang datang adalah orang lain.

Apa sih? Aiden berkacak pinggang, mengangkat tangan kanan. "Mau kutonjok?" gertaknya datar namun sukses membuat dua sejoli itu bangkit dari kursi.

"Pagi juga, Buk Aiden! Hari ini Buk Kepala terlihat berbeda dari biasanya. Apa ya... Uh, aku tidak tahu!" Kenapa King yang frustasi?

"Kak Aiden mencatok rambut? Wah, kakak jadi sangat cantik. Aku pikir tadi klien."

Seperti yang dilihat King dan Gari, jarang sekali melihat Aiden meluruskan mahkota pirang kesayangannya. Gadis itu menguncir dua rambutnya dan memakai pita cokelat polos nan panjang. Yah, apa pun yang dipakai Aiden pasti terlihat cocok.

"Di mana Saho? Kalian tidak lupa hari ini kita ke sekolah Noki, kan?"

"Kak Saho sepertinya masih di jalan. Mungkin sebentar lagi datang. Kita tunggu saja."

Tatapan King jatuh pada tangan Gari yang terkepal gemetar, kontras dengan senyumannya yang cerah. Apa-apaan.

Serius, apa hanya King satu-satunya yang merasa aneh di sini?

Saho dan Gari yang saling mencurigai satu sama lain. Saho dan Gari yang menyembunyikan rahasia. Saho dan Gari yang tampak menyiapkan sesuatu. Ini klub detektif atau klub perencanaan perang?

Sejak awal King sudah menahannya di hati. Apa karena kegilaannya membuat Saho dan Gari tidak sadar kalau King juga bisa marah? Apa mereka pikir King orang bodoh yang tak peka pada apa pun? Apa karena bawaan King yang tidak mencerminkan 'ketua pengganti' membuat mereka jadi serampangan?

King terlalu berekspektasi pada dua orang itu bisa menangani masalah baru yang klub detektif Madoka hadapi (BE). King terlalu menyepelekan kepergian Watson. Andai Sherlock Pemurung itu ada di sana, maka suasana klub takkan berubah.

Lagian, bagaimana sih cara mereka menyelesaikannya tanpa adanya Watson? Oh ayolah, sebelumnya King juga sudah mengatakan kalau sebuah cerita terasa hambar tidak adanya tokoh utama.

Dan itu sangat kentara. Bukan begitu?

Berharap anggota baru yang bergabung memiliki kesempatan? Tidak! Mereka sama sekali tidak punya! Mereka hanya menjadikan klub detektif sebagai pentas dari skenario masing-masing! Ini sudah cukup. King tidak bisa membiarkannya lagi.

"Kenapa?" Aiden bertanya demi melihat raut wajah King yang sedikit emosional.

"Ketua klub punya otoritas penuh walau cuman pengganti kan, Buk Aiden?"

"Ah, iya." Aiden mengangguk kikuk, tidak bisa menebak arah kalimat King. Untuk apa dia bertanya tentang itu?

King berdiri di depan Gari. Tatapan datar.

"A-ada apa, Kak King?"

"Gari," katanya.

"I-iya, Kak?" Pemilik nama menelan ludah. Mendadak atmosfer terasa berat. Tidak biasanya King serius begitu. 

"Kamu keluar saja dari klub ini."

*****

Evainele. Sekolah dasar bernomor urut 12 di Moufrobi. Memiliki 434 siswa dan 36 guru. Di sinilah Noki menuntut ilmu selama enam tahun ke depan. Dia berada di tahun kelima.

"Woi! Tunggu, King!"

"Kita harus cepat, Buk Aiden. Lima menit lagi belnya akan berbunyi. Kita tak mungkin menunggu sampai jam istirahat, kan?"

"Aku tidak mengerti apa yang kamu pikirkan. Kenapa tiba-tiba mengeluarkan Gari, heh?"

"Apa maksudmu, Buk Aiden?"

"Jangan bertele-tele denganku! Aku tahu kamu paham arti dari pertanyaanku. Gari bahkan belum cukup sebulan di klub."

"Buk Aiden sendiri yang bilang aku punya hak atas member klub. Jika kamu tidak suka perbuatanku, kenapa Buk Aiden memilihku mengisi slot ketua, huh?"

Aiden memijat pelipisnya. Obrolan mereka jadi melenceng. "Aku bukannya tidak suka. Aku hanya menanyakan alasan."

"Mereka orang jahat."

Aiden mengerjap. "Eh?"

"Gari dan Saho. Aku memang tidak sepintar Pak Ketua, namun aku perasa. Aku yakin mereka sedang merencanakan sesuatu yang jahat pada klub detektif. Kalau Pak Ketua di sini, dia pasti berpikir sama denganku."

Sepertinya Aiden pendek akal soal King. Dia tak menyangka Raja Abal-abal yang kerjanya bikin darah tinggi mampu bertindak tegas.

Aiden tersenyum kalem. "Tidak salah Dan tertarik denganmu." Kalimat ini tertuju pada Watson yang memberikan buku catatannya pada King saat pergi ke Seoul.

"Buk Aiden kalau bilang kayak 'gitu kesannya beda lho. Untung aku tak tertarik gadis 3D."

"Violet apa kabar?" Aiden menyeringai.

Bukannya membalas sambil nyolot seperti biasa, King justru mempercepat langkah. Dia tidak mau mengganggu PBM untuk melakukan interogasi. Licias bilang anaknya tidak punya teman, kan? Maka takkan banyak petunjuk yang bisa mereka dapatkan di sekolah.

Malangnya, Dewi Fortuna tidak berpihak pada Aiden dan King. Mereka baru bisa menemukan kelas Noki ketika sepuluh menit bel berdering. Menjadi pusat perhatian murid-murid kelas ketika nekat menerobos.

"Apa yang dilakukan Detektif Madoka di sekolah dasar?" tanya guru yang mengajar, kebingungan melihat wajah mereka berdua yang diyakini lebih bingung darinya.

Aiden menyikut lengan King, namun King melotot, balik menepuk bahu gadis itu. Matanya mengisyaratkan supaya Aiden saja yang berbicara mewakilinya.

"Anu, kami sedang menyelidiki hilangnya Noki. Barangkali kami menemukan petunjuk di sini. Apa Ibu punya barang-barang Noki?"

Suasana di kelas seketika berubah begitu telinga demi pasang telinga mendengar nama Noki disebut. King menggeleng-gelengkan kepala prihatin. Mereka bahkan tak peduli salah satu teman sekelas mereka diculik.

Beliau mengangguk. "Anak-anak, belajar mandiri dulu ya. Ibu akan segera kembali." Syukurlah mau diajak kerja sama.

Skip time.

"Kenapa tidak ada yang tertarik tentang diculiknya Noki? Maksudku, dia juga salah satu anggota kelas. Paling tidak tunjukkan sedikit kekhawatiran. Kejam sejak dini, cih."

"Maklumin mereka, ya. Semua anak-anak di kelasku tidak menyukai Noki. Saya pikir kalian sudah mengetahui hal itu."

Tentu King dan Aiden sudah tahu, toh diberitahu langsung oleh induk semangnya. Tapi apa guru-guru tidak bertindak soal ini? Mereka tidak cemas muridnya menghilang?

"Kenapa anak-anak itu membenci Noki?"

Beliau mengembuskan napas. "Awalnya tidak begitu. Di tahun kedua, Noki dekat dengan teman-temannya. Mereka bermain dan bercengkerama bersama sebagaimana anak kecil kebanyakan. Tapi semua itu berubah semenjak Noki memutuskan memperdalam hobinya yaitu menguasai ilmu martial arts. Sejak saat itulah Noki jadi terasingkan. Teman-temannya menyangka Noki bergaul dengan orang yang salah (pelatih dan senior di sasana latihan Noki)."

"Aku tidak mengerti pola pikir anak-anak..."

Setibanya di tempat loker sekolah, guru itu langsung undur diri setelah urusannya dengan Aiden dan King selesai. Katanya tidak baik meninggalkan kelas lama-lama.

"Nomor 27, Buk Aiden."

King membacakan nomor absen dan Aiden yang membuka loker Noki. Slip! Secarik kertas jatuh saat pintu kecilnya ditarik oleh Aiden. Refleks memungutnya, King beringsut ke sebelah gadis itu.

Mereka berdua saling tatap.

"Sebuah tanda '@'? Kenapa bisa ada di sini?"

*****

Aiden dan King kembali ke Madoka pukul tujuh malam sembari menimang-nimang segala kemungkinan. Sesuai prediksi, mereka tak menemukan banyak benda di loker Noki.

"Bagaimana sekarang? Kita tidak punya petunjuk sama sekali. Apakah besok kita harus ke taman lokasi Noki diculik?"

"Siapa bilang?" King menyengir. "Justru saat ini kita sudah punya dua petunjuk."

"Ng? Apa maksudmu?"

King mengeluarkan kertas memo mini yang dia pungut di kamar Noki kemarin. "Lihat ini, Buk Aiden. Perhatikan motif, ukuran, dan gaya tulisannya. Sama persis."

Gadis Penata Rambut itu terbelalak sambil terus memelototi dua memo tersebut. "Kamu benar, Raja! Ini mirip! Mungkinkah..."

King tersenyum santai. "Mungkinkah yang kamu pikirkan itu benar, Buk Aiden. Kertas-kertas itu ditinggalkan oleh pelaku. Singkatnya dia menantang kita."

"Tapi... kenapa?"

King mengangkat bahu, menyeringai. "Mana kutahu. Yang jelas, orang ini sangat berbeda dengan CL. Dia menikmati aksinya, sementara CL menyukai korbannya. Menurut kamus dari Pak Ketua, tipe musuh begini adalah lawan yang susah karena bisa jadi dia bermain-main dengan kita serta korbannya."

"Kalau begitu Noki dalam bahaya."

"Yeah, aku tahu. Oleh karena itu besok kita ke rumah Noki sekali lagi. Kita mesti tanya tempat-tempat kesukaan Noki."

Aiden mengangguk serius.

Mereka berdua berhenti melangkah sebab indra penciuman masing-masing menghirup aroma harum. Bau masakan rumah. Eh, hei, ada yang menginap di sekolah? Tapi tidak ada tenda sejauh mata memandang.

Mengikuti arah bau, mereka berdiri kayak patung di depan klub detektif yang sudah diberi tanda 'sedang bepergian'. Dari sanalah sumber dari aroma lezat itu.

"Buk Aiden, tadi sebelum kita pergi, kamu sudah mengunci ruang klub, 'kan?"

"Iya. Aku juga sudah mengeceknya dua kali. Lagian hanya aku yang megang kunci."

Mereka menelan ludah. Klek! Membuka pintu.

Satu sosok tampak habis memasak. Dia melepaskan celemeknya, menoleh ke Aiden dan King seolah sudah menunggu dari tadi.

"Akhirnya kalian datang juga."

Keduanya tersenyum lebar. "HELLEN!" (*)












Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro