File 1.3.6 - Students Council Member

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Astaga, astaga. Kenapa kamu tidak mengabari kami kalau kamu sudah pulang? Aku kan bisa menjemputmu."

Ini kejutan yang menggembirakan. Hellen diam-diam sudah selesai dengan rehabilitasinya. Karena dia sudah pulang dari rumah sakit, apakah dia akan mulai sekolah besok hari?

Hellen tersenyum. "Namanya juga suprise. Nah, misiku berhasil. Kalian terkejut. Dan, King, cepat tutup mulutmu. Kamu kelamaan melongo nanti lalat masuk terowongan lho."

"Habisnya aku masih tidak percaya! Ini beneran Buk Hellen? No bajakan?! Ya ampun! Selamat datang kembali! Maaf tidak ada parsel atau buah tangan!"

"Bajakan apanya coba. Memangnya Hellen ada dua 'gitu," cibir Aiden. Gadis itu duduk manis menghabisi sup. Kebetulan sekali Hellen memasak. Aiden lapar berat belum makan dari siang.

"Aku kan bergurau doang."

"Kamu pasti lapar, King. Makanlah. Aku membuat banyak. Oh ya, mana Jeremy? Ini makanan kesukaan dia. Hehe, aku tak sabar melihat reaksinya."

Gerakan tangan Aiden menyendok daging terhenti. Mendadak makanan di mulutnya terasa hambar. King yang tadinya asyik memposting apalah itu ke Mougram, menelan ludah gugup, menyimpan ponselnya ke saku celana.

Hellen belum tahu tentang Jeremy.

"Ei, kenapa atmosfernya jadi serius begini. Jeremy membolos?"

Setelah kakinya diinjak Aiden, mengaduh pelan, King menarik napas. "Dengerin dulu, ya. Buk Hellen jangan langsung paranoid atau kabur ke rumah Pak Jer." Ayo, King pasti bisa mengatakannya. Dia ngomong sambil merem. "Sebenarnya Pak Jer menderita PTSD pasca kejadian Snowdown dan sekolah di rumah 3 minggu atau mungkin lama!"

Hening sejenak.

Aiden dan King pikir Hellen akan segera menghampiri orang yang bersangkutan, rupanya tidak. Dia jauh lebih tenang.

"Begitu? Aku sudah menduganya."

"Eh?" Mereka berdua saling tatap. Kok reaksi Hellen di luar prediksi?

Hellen mengelap tangannya yang basah. "Aku merundingkan itu dengan Watson. Kami menyimpulkan ada kemungkinan Jeremy mengalami PTSD. Hanya saja gejala itu tertunda beberapa bulan."

"Apa?! Kamu sering teleponan sama Dan? Kok ke aku tidak?!"

Hellen mengangkat bahu. Mungkin Sherlock Pemurung itu waswas kalau harus menghubungi Aiden.

"Buk Hellen tidak khawatir?"

"Khawatir. Tapi untuk sekarang, lebih baik biarkan Jeremy sendiri. PTSD-nya bisa makin parah jika kita tergesa-gesa menyembuhkannya," kata Hellen lugas.

King manggut-manggut. Dia angkat tangan soal kesehatan mental.

"Ngomong-ngomong di mana dua member baru itu? Aku mau bertemu mereka."

Aiden menunjuk King tanpa ekspresi. Lanjut makan malam. "Dia mengusir salah satu dari mereka tadi siang."

"Apa alasannya?"

King melirik kiri-kanan, berbisik serius. "Aku rasa Gari sedang mempersiapkan sesuatu. Awalnya aku juga curiga dengan Saho, namun entah kenapa aura Gari lebih berbahaya darinya."

"Bisa begitu?"

"Bisa dong. Kan aku Raja."

Dan Hellen pun memparodikan meme seseorang melempar meja dengan King yang jadi korbannya.

"Lupakan. Apa kalian sedang menyelidiki kasus? Pasalnya kalian tidak pulang. Kalau iya, aku mau ikut."

"Boleh dong. Boleh banget. Kalau ada Buk Hellen pasti investigasi lebih seru."

Mulai menceritakan.

"Jadi, bagaimana menurut Buk Hellen? Ada pendapat? Rencana besok kami akan pergi ke rumah ibu korban untuk bertanya lebih lanjut."

"Hmm... Jika dia jago bela diri, mustahil dia membiarkan dirinya diculik tanpa perlawanan. Kalian benar. Seseorang mendekatinya secara alami untuk membunuh kewaspadaannya."

"Kita sudah punya dua petunjuk. Mana tahu pelaku maniak riddle ini meninggalkan beberapa keping puzzle lainnya di tempat berbeda. Kita harus bergegas untuk menyelamatkan Noki."

Brak! Kebiasaan Aiden menepuk alas meja kambuh membuat Hellen dan King saling mengusap dada karena kaget.

"Besok kita akan ke rumah korban dan setelahnya pergi ke taman TKP!"

"Siap, Buk Kepala!"

-

Yang diusir baru lah Gari. Apa kabar dengan Saho? Di mana dia? Jawabannya adalah dia di ruang rapat Dewan Siswa. Seorang murid meminta pertolongan SC (student council). Mau tak mau seluruh anggora SC berkumpul di sana.

"Tidak biasanya Anda mau menerima permintaan dari murid miskin, Ketua. Ada apa gerangan?" [Vincristine Nevazovone. Posisi: Bendahara.]

Apol tersenyum licik. "Karena kata mereka ini akan menarik. Mereka juga membayar banyak. Aku hanya melakukan apa yang biasa kulakukan."

"Ya ampun, Ketua. Lagi-lagi 'mereka'. Entah siapa 'mereka' ini." [Gonadonec Bromnexi. Posisi: Seksi Dokumentasi.]

"Setiap kali kita mengadakan pertemuan, Ketua selalu menyebut Mereka yang Entah Siapa. Sampai sekarang, kita tidak tahu apa mereka itu manusia atau benda atau sesuatu yang lain. Kan jadi penasaran." [Kaolinya Warfarium. Posisi: Ketua Seksi Keamanan.]

"Jangan banyak tanya." [Deanbigatran Gainevere. Posisi: Wakil Dewan Siswa.]

"Kuharap ini takkan lama. Ada permen keluaran terbaru yang ingin kubeli jam sembilan nanti." [Lioranivo Katerninsel. Posisi: Wakil Seksi Keamanan II.]

"Semoga sebentar." [Saho Shepherd. Posisi: Wakil Seksi Keamanan I.]

"Benar juga. Ketua, kudengar ada seseorang yang mengikuti Ketua akhir-akhir ini. Apa kamu baik-baik saja?" [Ranivimab Constatia. Posisi: Ketua Seksi Teknologi Komputer/IT.]

Apol mengelus dagu. "Aku belum tahu soal itu. Seseorang membuntutiku? Terdengar menarik. Terima kasih sudah mengingatkannya, Rani."

"Daripada mengkhawatirkan Ketua, lebih baik khawatirkan divisimu. Aku sudah bilang urus surat pengunduranku! Aku mau fokus belajar." [Capoyelon Apodovel. Posisi: Wakil Seksi IT.]

"...." [Dantorone Doripem. Posisi: Seksi Pembinaan Prestasi Akademik.]

"Ketua, kliennya sudah datang. Apa suruh langsung masuk?" [Sandroana Earmuffa. Posisi: Wakil Auditor.]

"Lebih cepat lebih baik." [Sandotalas De Aleece. Posisi: Auditor.]

"Aku mau pulang..." [Chanlove Thulinipas. Posisi: Wakil Sekretaris.]

"Kuharap permintaannya penting. Aku merelakan hari kencanku." [Rosuvasta Rupinili. Posisi: Sekretaris.]

Apol menepuk-nepuk pelan ujung meja untuk menenangkan seluruh anggotanya. "Oke, oke, tenang semua. Biarkan klien kita masuk. Jangan khawatir. Aku akan membayar kalian seperti biasa."

"Dimengerti~"

Grak! Pintu ruangan terbuka. Saho membulatkan mata, refleks bangkit dari kursinya. Jangan bilang dia kliennya?

Senyuman licik Apol makin terkembang. "Wah, wah, coba lihat ini. Bukankah kamu member baru klub detektif? Ah, bukan. Sudah jadi mantan anggota. Maafkan kelancanganku."

Apa yang dia lakukan di sini? Gari Gariri si gadis penuh rahasia itu! Saho menyembunyikan kepal tangannya ke bawah meja. Mengontrol emosi.

"T-tolong bantu aku menyakini Kak King Krakal bahwa aku tidak punya niatan jahat pada klub detektif!"

Ruangan itu dipenuhi bisik-bisik.

"King Krakal? Itu permintaan yang sulit. Akan susah menyentuh putra kepsek."

"Meski karakteristiknya seperti itu, tetap saja dia anak kepala sekolah. Aku menyerah deh." Sandroana menggeleng.

Apa ini? Mungkinkah King mengusir Gari dari klub? Saho menyeringai. Sepertinya bukan hanya dia yang menangkap keganjilan pada gadis misterius itu.

"Tapi bukankah Pak Chalawan dekat dengan Ketua Apol? King sendiri akrab sama Ketua, kan?"

Apol menopang dagu menggunakan kedua punggung tangan, mimik bingung. "Dikatakan akrab kurang tepat. Secara, aku hanya kebetulan menjalin hubungan dengan Pak Chalawan."

"Bagaimana ceritanya?"

"Usaha yang bagus, Liora. Tapi aku tak bisa mengatakannya~"

"Cih! Padahal sedikit lagi!"

Dean berdeham agar yang lain diam untuk melanjutkan diskusi. "Jadi bagaimana, Ketua? Siapa yang akan kita utus menolong Gari Gariri?"

"Bukankah jawabannya sudah jelas?"

Semua orang menoleh ke Saho. Cowok cantik itu mengatupkan rahang, sudah tahu bahwa dia lah yang akan dipilih.

-

Kediaman Jeremy.

"Nak, waktunya makan malam. Gurumu berkunjung. Apa kamu tidak mau keluar juga hari ini? Ayolah, Sayang."

Tidak ada jawaban. Entah sedang apa Jeremy di dalam kamarnya—mungkin meringkuk di bawah selimut. Jeremy tidak mau melihat siapa-siapa, termasuk Asha. Dia hanya ingin tidur.

"Aku harus bagaimana, Asha? Bukankah PTSD-nya memburuk?"

"Untuk sekarang beri dia Paroxetine dan Prazosin. Kamu bilang dia sering mimpi buruk, kan? Jangan panik, Selise. Jika kamu panik, maka Jeremy tidak bisa sembuh. Teruslah mendukungnya."

"Aku tidak tahu harus bilang apa, Asha. Aku senang kamu bisa membantu Remy. Kamu benar-benar luar biasa. Dengan potensimu, seharusnya kamu bisa mendapat gelar profesor atau ilmuwan."

Asha tertawa renyah.

Lima belas menit kemudian. Setelah bercakap-cakap sebentar dengan Selise dan Goran, Asha izin pamit bilang ada keperluan pribadi.

Di dalam mobil, Asha menatap rumah Jeremy yang kecil ditelan jarak lewat spion tengah, tersenyum kecil.

"Profesor? Ilmuwan? Sayangnya aku sedang membuang gelar itu."

Asha membawa mobilnya ke suatu taman yang minim pencahayaan. Di sana, telah menunggu seseorang. Surai pink-nya tersorot oleh lampu mobil.

"Bagaimana laporanmu hari ini?"

Sosok itu, Saho, menundukkan kepala. "Aku sangat yakin Gari menyembunyikan sesuatu. Apa yang harus kulakukan?" (*)







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro