File 1.3.7 - The Third Sign

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Tapi polisi betulan tidak merespon pengajuan Ibu Noki sama sekali? Ini sudah mau lima hari lho."

"Entahlah, Len. Kepolisian Moufrobi menganggap sepele kejadian hilang seperti ini hanya karena CL sudah tertangkap. Mereka pikir mereka bisa bersantai selamanya. Apalagi saat ini masa-masa promosi."

"Bagaimana dengan dua polisi baru yang kamu katakan waktu itu, Aiden? Kita bisa minta tolong pada mereka."

"Jabatan mereka tidak terlalu tinggi."

Deon apa kabar di Kanada, ya? Apa kondisi istrinya ada kemajuan? Bagaimana dengan Mook? Aiden ingin sekali menghubungi, namun dia takut mengganggu mantan polisi pemarah itu.

Puh! King mendengus jengkel. Mau seteliti apa dia memeriksa tanah atau semak-semak, tidak ada benda menarik berupa petunjuk penculikan Noki. Apa 'tanda ketiga' bukan di sini, ya?

"Bagaimana? Ketemu?"

King menggeleng dengan desahan. "Tidak ada di mana-mana. Ibu Noki yakin di sini TKP-nya? Taman ini terlihat bersih."

"Mungkin pelaku menyembunyikannya di sebuah kotak? Atau jangan-jangan sudah ada yang mengambilnya." Masuk akal karena itu taman. Banyak warga berlalu lalang menikmati pagi di sana.

Kebuntuan mendatangi mereka. Padahal tadinya King yakin sekali 'tanda ketiga' berada di taman. Apa pelaku berubah pikiran dan mencari tempat lain?

"Ugh." King mengesot di rerumputan. "Aku mau nonton anime... Ng?"

Tak jauh di depan sana, tampak tiga sosok sedang menghajar seseorang. Menyipitkan mata, King ber-oh tertarik. Itu si adik kelas jago IT alias Dextra. Ternyata dia korban buli, heh.

Aiden menghela napas panjang. "Ya sudahlah. Kalau tidak ada di sini, kita cari di tempat lain saja."

"Sebentar, Buk Aiden. Aku menemukan tontonan seru. Lihat deh."

Aiden dan Hellen ikut memperhatikan, terbelalak. Gadis Penata Rambut itu refleks menjitak kepala King. "Anak orang lagi digebuki kamu bilang seru?!"

"Tunggu, Ibu-ibu sekalian! Kalian mau ke mana? Aduh, kepalaku sakit."

Mau tak mau King segera menyusul Aiden dan Hellen yang tancap gas menghampiri kerumunan tersebut. Harusnya King pura-pura tak lihat tadi.

"YAK!" Suara Aiden melengking.

"Astaga naga! Kaget aku!" Malah King yang terkejut, bukan mereka. Hellen menyikut pinggangnya, suruh serius sedikit. Masalahnya tuh anak bisa serius cuman sekali seabad doang.

Oh, hampir lupa mengatakannya. Rambut Aiden masih tercatok. Mahkota kebanggaannya itu jatuh ke punggung. Bandana kuning dengan mainan dua kelopak bunga cornus. Tampak cantik.

Kembali ke topik. Mereka menghentikan aktivitasnya demi teriakan galak Aiden. Mungkin karena mereka murid baru, belum banyak yang tahu tentang Aiden.

"Kenapa kalian membulinya, huh? Kurang kerjaan?" Aiden melipat tangan ke dada.

"Ya ampun, ya ampun. Bukankah ini kakak kelas terkenal dari klub detektif itu, ya? Apa yang kakak lakukan di pagi minggu cerah, hmm? Menangkap penjahat? Hahaha!" ledek mereka garing.

"Mau taruhan berapa? Aku pasang 3 dolar untuk pingsan sekali pukul," bisik Hellen menggibah.

"Aku beri 5 dolar! Mereka bakal kabur setelah tahu rumor Buk Aiden!" balas King mengeluarkan dompetnya.

Mereka berdua kombinasi yang aneh.

"Enyahlah. Kami tidak mau main tangan dengan cewek. Bocah ini tidak punya santun pada temannya, makanya kami kasih sedikit nasihat. Cuman itu."

Aiden memutar mata malas. "Palingan kalian memerasnya atau memaksanya meretas privasi orang lain."

"Terus apa? Mau apa, huh?"

"Aish!" Kesal akan tatapan meremehkan, Aiden pun memukul pipi cowok yang berdiri di depannya dengan pandangan menantang. Bunyi slap! terdengar keras menghentikan tawa rekan-rekannya.

Hellen dan King mengepal tangan semangat, menyoraki Aiden. Atau bisa disebut mengompori?

"BRENGSEK! Apa maumu, gadis sialan?! Kamu mau mati?!"

Antek-anteknya segera menarik ketuanya mundur, menggeleng-gelengkan kepala sembari melihat hape. Waduh, sepertinya mereka sudah tahu.

"Apa sih?" Dia kesal diganggu.

"Dia itu Kak Aiden, dasar idiot! Juara taekwondo wanita! Jangan cari masalah dengannya! Kita kabur saja!"

Matanya membeliak. "Serius?!"

Baru lah nyali mereka ciut, memakai alasan klise untuk melarikan diri seperti: ah, aku baru ingat ada bimbel. Atau yang lain: aku ingat disuruh Mama. Payah benar mengarang dalih.

Dextra hendak berdiri, namun uluran tangan Aiden merebut atensinya. Dia sejenak terdiam melihat sosok Aiden.

"Kamu baik-baik saja? Apa perlu ke rumah sakit?" tanya Aiden datar.

"A-aku tidak apa-apa." Dextra membalasnya dengan malu dan melewati Aiden dkk begitu saja. Pergi menjauh.

"Hah! What the..." Aiden menghentakkan kaki sebal. Sudah dibantu namun dikacangin? Dasar adik kelas belagu! Pantas saja dia dirisak kalau modelan karakternya kayak begitu!

King dan Hellen menggibah.

"Apa kamu memikirkan hal yang sama denganku, Buk Hellen?"

"Sepertinya iya."

"Dilihat dari reaksi dan raut wajahnya, mungkinkah anak itu mengalami jatuh cinta pandangan pertama? Aigoo." King menggelengkan kepala kasihan.

"Lho?" Hellen tidak menjawab. Maniknya mendapati secarik kertas di tempat Dextra jatuh. "Apa ini yang kalian cari? Pola pada memonya mirip."

"Ternyata di situ toh! Mungkin Dextra tak sengaja menghimpitnya."

Mereka bertiga merapat satu sama lain. Tulisan di memo kecil itu sukses menciptakan kernyitan di wajah.

"Sekarang ada angka 7?"

-

Ruang klub detektif sepi siang itu. Penghuninya memelototi kertas mini di atas meja diskusi dengan pikiran yang melalang buana. Mereka tidak ada ide memecahkan sandi-sandi yang ditinggalkan oleh pelaku.

Ini sebuah Riddle (teka-teki) bukan lagi sekadar anagram semata. Tampaknya si pelaku penculikan menikmati wajah frustasi detektif yang dia kelabui.

"Aku menyerah. Aku tidak mengerti."

Aiden mendelik. "Oi, kenapa cepat sekali menyerahnya?" Hari ini rambutnya jenis side braid dan memakai jepitan bunga melati yang melekat di setiap kepang.

"Habisnya aku tak paham! Apa makna dari simbol dan angka ini? Buk Aiden mengerti? Hanya Pak Ketua yang andal mecahin kode kayak 'gini."

"Apa kita coba minta tolong ke Dangil?"

Hellen mengangkat tangan. "Aku lupa memberitahu kalian ini, namun Watson menitipkan pesan dia akan mematikan Kecerdasan Buatan itu setelah aku sembuh dan bersekolah lagi."

"Kok begitu?! Kenapa?!"

Hellen mengangkat bahu, terkekeh santai. Mungkin bagi Watson, si Dangil hanyalah pengganti Hellen.

"Lalu sekarang apa? Kita ngapain? Apa kita diam saja membiarkan Noki dalam bahaya? Kita harus bertindak!"

Tok! Tok! Tok! Pintu diketuk memutus obrolan mereka bertiga, sontak menoleh ke sumber suara. Siapa sih yang berani mengganggu konsentrasi King?!

"Awas saja kalau tidak penting!"

Membuka pintu, rupanya Gari yang menelan ludah gugup. Dia tak menyangka King yang membukakan pintu.

"Mau apa lagi? Aku sudah mengusirmu. Kamu bukan anggota member lagi." King berkata ketus.

Gari cekatan menahan lengan King yang ingin menutup pintu. "D-dengarkan aku sekali ini saja, Kak King... Aku tidak datang sebagai member... Aku datang sebagai seorang klien."

"Apa maksudmu?"

"Ada alasan mengapa aku bersikeras ingin bergabung ke klub ini."

Kebetulan ada sosok Saho di ujung koridor hendak menuju klub. Langkahnya terhenti demi melihat pemandangan menarik di depan ruang klub.

"Oh, ya? Alasan untuk menyiapkan panggung siasat jahatmu?"

"Sebenarnya aku ingin minta tolong."

Aiden dan Hellen menyimak serius. King menunggu lanjutannya.

"Ini tentang misteri di desaku." (*)









Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro