File 1.4.3 - Invitation to Private Island

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bandara Uranyon, Moufrobi.

Bruk! Seseorang pingsan di jejalanan bandara, menyita perhatian staff, turis yang baru sampai, para sopir taksi nan tersentak, serta-merta orang-orang yang hendak check-in tiket. Mereka menghampiri wanita malang itu menuruti insting kemanusiaan masing-masing dan membuat kerumunan.

"Bu, apa kamu bisa mendengarku? Seseorang, tolong panggil ambulans! Hubungi 112 cepat!"

"Astaga, apa yang terjadi dengannya?"

"Pak, dia tidak bernapas!"

"Minggirlah! Aku akan melakukan CPR!"

Di antara kerumunan yang panik, menyelip seorang remaja yang terbawa arus keramaian. Dia terdorong ke depan, menatap bingung apa yang sedang terjadi. Ada wanita pingsan?

"Apa yang dia lakukan? Itu bukan Heartstroke. CPR takkan membantu."

[Note. Heartstroke, kondisi yang disebabkan karena tubuh terlalu panas.]

Mendengar celetukan tersebut, Pria CPR menghentikan tangannya memompa dada si wanita, menoleh ke huru-hara. "Siapa yang barusan berbicara?"

Adalah remaja itu. Dia berdiri dengan wajah murung, menatap datar.

"Apa yang kamu katakan, Nak?"

"Menyingkirlah," katanya pendek, beralih memeriksa denyut nadi dan bagian leher wanita tersebut. "Dia tak bernapas."

"Apa kamu tahu sesuatu? Tolong selamatkan dia!"

Remaja itu menoleh ke sekeliling. Ini bandara. Tidak ada alkohol yang bisa dijadikan disinfektan darurat.

"Saya butuh gunting, selang, air minum, botol, korek api, dan benda tajam seperti bolpoin, pisau, atau jarum. Apa ada yang punya?"

"Ah, saya punya."

"Aku akan mencarikannya!"

Tiga menit kemudian, alat-alat yang dia minta terkumpul. Remaja itu memposisikan tubuh si wanita ke arahnya, yaitu samping. Dia menyingkap baju beliau lalu menekan-nekan area pinggang, bergumam, "Berapa lama lagi ambulans datang?"

"Entahlah, kami takkan yakin."

Dia mengangguk, menyiram bolpoin dengan air putih kemudian membakar ujungnya menggunakan geretan. Tanpa basa-basi dia membuat sayatan sepanjang lima senti dan menggunakan gunting sebagai penahan luka yang terbuka. Remaja itu memasukkan selang ke dalam luka. Darah mengalir lantas dia tampung menggunakan botol. Ajaib, wanita tersebut bernapas.

"Astaga! Wanita itu kembali bernapas!"

"Anak itu menyelamatkannya!"

"Siapa kamu sebenarnya, Nak? Apa kamu mahasiswa kedokteran?"

Dia diam sejenak sebelum menjawab dengan gelengan. "Saya hanya siswa yang menyukai Holmes."

Ambulans yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Dua paramedis bergegas turun sambil mendorong stretcher, memindahkan tubuh wanita itu ke atas tandu dengan hati-hati.

"Ada yang tahu apa yang terjadi pada nyonya ini? Apa keluhannya?"

Si remaja mengangkat tangan. "Saya rasa dia mengalami Hemothorax, jadi saya menggunakan selang untuk mengurangi tekanan paru-paru. Arterinya kemungkinan berdarah, jangan lupa obati itu. Kalau begitu permisi."

[Note: Hemothorax, kondisi ketika ada akumulasi atau penumpukan darah di bagian lubang pleura.]

"Tunggu sebentar, Nak!"

"Ada apa lagi? Saya terburu-buru."

"Kamu ikut dengan kami untuk menjelaskan kronologinya pada dokter yang bersangkutan!"

"Tunggu, apa? Saya bukan walinya--"

Terlambat. Paramedis itu cekatan menariknya ke dalam mobil. Ambulans berangkat menuju rumah sakit.

-

"APA?! Kami diundang ke pulau pribadi Pak Lunduls?! Sungguh?! Serius?! Demi apa?!" King tidak percaya. Baru kemarin pertemuan klub detektif Madoka dengan calon gubernur kandidat paling menjanjikan, hari ini mereka diajak ke pulau pribadi beliau. TKP laut berdarah.

"Bukankah itu berlebihan? Kami bukan siapa-siapa sampai diundang ke sana, bahkan kami baru memulai investigasi." Aiden merasa tidak enak atas imbauan Lunduls.

"Tidak masalah. Ini permintaan resmi Pak Lunduls. Kalian butuh datang ke TKP untuk menyelidikinya dari dekat. Saya bertugas mengantar dan memandu kalian. Beliau sudah berangkat tadi malam. Tak sopan membuat calon gubernur menunggu."

Aiden memijat kepala. Undangan ini berunsur tiba-tiba. "Saya ingin mendiskusikannya dengan rekan tim saya lebih dulu. Ada teman saya yang belum datang," ucapnya tak ada pilihan.

Mereka masuk ke ruang klub. Kaki tangan Lunduls yang rupanya bernama Jareth itu menunggu di luar. Tentu saja dia tak bisa mendengar percakapan mereka karena klub detektif mempunyai busa kedap suara.

"Terima saja, Buk Aiden! Sekalian liburan gratis. Toh, kita tak membayar sama sekali." King menyeringai.

"Pantai..." Mata Kapela berbinar-binar. "Kita harus pergi."

"Bukan kita, tapi kami. Beliau hanya mengundang member originial. Bajakan sepertimu tinggal di rumah."

"JANGAN 'GITU DONG, KAK KING! AKU MAU IKUT!"

"Diamlah kalian berdua." Yang satu sableng, satu lagi dicurigai mengidap Cyclothymic Disorder. Mereka berdua kombinasi yang bagus. "Kita harus menunggu Hellen..."

[Note. Penyakit bipolar paling ringan.]

Panjang umur. Hellen masuk dengan wajah bingung demi melihat kehadiran Jareth, menutup pintu--agar dia tak mendengar obrolan. "Apa yang terjadi? Bukankah pria itu pengawal Pak Lunduls? Kenapa dia ada di sini?"

Aiden menjelaskan singkat.

"Oh, ya? Kalau begitu kita terima saja! Bukankah itu bagus dan untung buat kita? Beliau memberi kita liburan gratis. Masa kamu mau menyia-nyiakan tiket liburan yang menggiurkan."

Bahkan Hellen pun tertarik pada proposal itu. Mereka hanya mengincar liburan. Yah, Aiden sendiri pun sebenarnya juga menyetujui. Tapi entah kenapa dia merasa ada yang aneh.

"Baiklah. Kita akan pergi."

"ASYIK! LIBURAN GRATIS, HORE!"

"Tapi sebelum itu," Aiden menatap Hellen. "Bagaimana? Kamu sudah menyelesaikan apa yang kuminta kemarin?"

"Ah, benar." Hellen duduk di kursi, beralih mengeluarkan laptopnya. King dan Kapela buru-buru mengikuti. "Aku kesusahan mencari memoar Pak Lunduls dan begadang. Kurasa beliau bersih. Aku tak menemukan apa-apa."

"Tidak ada politikus yang bersih deh, Kak Hellen. Mungkin ada satu dua orang. Tapi selebihnya bermuka koruptor."

"Mulutmu boleh juga. Bintang 3." King mengacungkan jempol.

"Pak Chalawan dulu dijebak seseorang, kan? Beliau dituduh penggelapan dana hingga dilengserkan dari kedudukan menteri sebelum jadi kepala sekolah."

King berdecak kagum. "Wow! Bagaimana kamu tahu?" Fyi, rumah Chalawan yang di ada Berlin itu adalah hasil uang tabungannya sendiri.

"Kuberitahu kalau Kak King mengajakku ke pulau itu!" Kapela terkekeh licik. Tampang bisnis.

"Curang ya Anda."

Aiden menepuk tangan. "Fokuslah sedikit! Kita punya masalah di sini. Bagaimana mungkin seseorang yang sebelumnya bukan siapa-siapa, namun sudah memiliki kekayaan besar? Pasti ada yang Pak Lunduls sembunyikan. Kalian ingin pergi, kan? Maka dari itu kita harus kumpulkan informasi karena di sana kemungkinan besar kita akan diawasi seperti sekarang."

Mereka berempat menoleh ke pintu. Walau terhalang dinding, sosok Jareth masih berdiri di luar sana.

"Aha! Aku punya ide!" Kapela berseru. "Mungkin saja rahasia Pak Lunduls tidak ada di sosial medianya melainkan di tempat lain. Sesuatu seperti situs rahasia. Oh! Dark Web!"

"Benar juga. Kudengar Dark Web bisa menghasilkan uang dengan perdagangan ilegal." King mengangguk-angguk. Persentase Lunduls terlibat dalam situs terlarang itu tinggi.

Hellen menghela napas panjang. "Maaf, kemampuanku ada batasnya. Mencari informasi umum sangatlah mudah, tapi meretas yang begituan bukan kepandaianku."

"Aku kenal seseorang yang jago."

"Oh, si adik kelas pemalu itu." King tersenyum tertarik.

"Sepertinya aku tahu siapa yang kalian maksud. Dia lumayan terkenal di angkatan kelas satu."

Dextra Chouhane. Si Ahli IT. (*)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro