File 1.7.12 - He Didn't Like That Boy

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Sial, tidak ada benda menarik di sini. Sudah dua kali lho. Tak ada satu pun yang kulewatkan."

"Jangan menyerah, Bari. Periksa juga kamar anak-anaknya Qenea. Kali saja ada di sana. Aiden, segera pindah ke dapur jika sudah selesai." Watson sendiri juga sibuk dengan bagiannya—kamar Qenea. Dia asyik mengobrak-abrik lemari.

Perabotan rumah tangga di rumah itu sangat minim, bahkan tidak ada furnitur yang berarti. Ini menunjukkan kehidupan Qenea jauh dari golongan 'berada'. Berhasil menyekolahkan kedua putranya sudah menjadi prestasi membanggakan.

Selembar pamflet jatuh ketika Watson mengusai rak laci. Sherlock Pemurung itu memungutnya, menaikkan satu alis ke atas. Satu eksemplar brosur penjualan ponsel yang lagi promo. Kenapa ini ada di sini? Terbawa oleh Qenea kah?

"Watson, kemari! Aku menemukan sesuatu!"

Tanpa pikir panjang Watson memurukkan poster tersebut ke saku celana, buru-buru datang ke lokasi Hellen alias gudang. Mata Aiden dan Jeremy membeliak melihat sembilan karung goni berbaris rapi di sana. Tidak salah lagi! Ini adalah tempat Qenea menyembunyikan karungnya.

"Di sana masih ada." Hellen menunjuk. Sepertinya Qenea memisahkan karung goni dan karung plastik untuk alasan tertentu. Sembilan goni dan tiga karung plastik. Apakah penyebabnya...

Pada bagian bibir karung-karung goni, terdapat bercak darah yang sudah mengering. Mereka berempat saling tatap, mengangguk. Saatnya membuktikan apakah Qenea betulan seorang psikopat atau hanya wanita aneh mood swing.

"Stern, kamu punya sarung tangan?"

"Hanya bawa satu." Hellen tak memperhitungkan akan menyentuh barang TKP, apalagi banyak.

"Berikan padaku. Kalian melihat saja dari belakang. Kita tidak tahu apa isi karung-karung ini. Jika benar isinya jasad manusia, aku yakin kalian belum terbiasa dengan tulang-tulang. Aku tak ingin ada yang muntah merusak TKP. Lebih-lebih pingsan. Biar aku yang mengurus ini."

Baiklah. Mereka bertiga beranjak mundur ke dekat pintu selagi Watson memasang sarung tangan lateks. Sherlock Pemurung itu pasti sudah berteman dengan tulang manusia makanya tidak ada ngeri-ngerinya tuh anak satu. Agak lain.

Watson berdiri, tanpa basa-basi membuka pengikat di atas karung. Puluhan kaleng tumpah ruah begitu dia menyingsingkannya. Tidak ada tulang atau organ manusia di dalam sana.

Apa-apaan? Mereka bersitatap bingung. Watson mengedikkan bahu, lanjut ke karung satunya. Mungkin saja karung itu hanya pengecoh.

Tapi, sama seperti karung sebelumnya, isinya hanyalah kaleng bekas yang telah digepengkan. Puluhan jumlahnya, bikin densitas karung sesak. Lanjut ke karung sebelah, isinya juga sama. Sebelahnya lagi, pun sama. Begitu seterusnya.

"Apa maksudnya ini? Tidak ada bangkai manusia atau semacam yang menjelaskan rumor."

"Bukankah jawabannya sudah jelas?" Watson kembali berdiri, melepaskan sarung tangan. "Rumor itu hanya sekadar kabar burung belaka. Tidak ada satu pun kebenaran terkandung di dalam isinya. Qenea itu normal. Bukan psiko."

"Lantas kenapa dia menyerang remaja bernama Davin itu? Kenapa dia memukuli anak-anaknya?"

Watson tidak segera menjawabnya. Dia mengeluarkan ponsel, berdecak pelan melihat batang sinyal cuman satu. Jaringan di sini payah.

"Kalau begini ceritanya, kita tak bisa memecah belahkan kelompok. Aiden, cepat tarik mundur Saho. Kita selesai di sini untuk sekarang."

"Eh? Bukankah waktu kita mepet? Mau ke mana? Polisi sudah mau menangkap Qenea, kan?"

"Sepertinya mereka sedang menunggu sosok yang jabatannya lebih tinggi. Mungkin sosok itu sedang dalam perjalanan membawa surat perintah penangkapan dari atasan. Semiskin apa pun seseorang, dia tetap memiliki hak asasi manusia. Kita butuh bukti yang kuat. Dan aku tahu di mana kita bisa mendapatkannya."

"Di mana?" Hellen dan Jeremy bersitatap.

Watson tersenyum miring. "Rumah sakit."

-

"Kamu yakin alamatnya di sini kan, Stern? Aku sudah berlagak keren dengan senyum smirk di paragraf atas. Aku bisa malu jika ada galat."

"Iya, Watson, iya. Aku sudah mengeceknya berkali-kali. Remaja bernama Davin itu dirawat di Manohar Hospital. Makanya, mentang-mentang kamu tokoh utama, tidak usah sok keren."

"Kalian ini bicara apa sih..." Jeremy tidak paham.

"Mungkin sesuatu seperti breaking the 4th wall." Aiden sukarela menjawab kebingungannya.

"Ya apaan itu artinya?" Jeremy gregetan.

Jadi rencana Watson adalah menemui Davin dan meminta keterangannya secara langsung. Semoga saja kondisi Davin sudah baikan untuk dihujani pertanyaan—oke, ini seketika berlebihan. Watson hanya punya tiga pertanyaan saat ini.

Satu, apa benar Qenea menyerangnya. Dua, kenapa walinya tak menuntut. Tiga, kenapa mereka menarik diri dari Arohara mendadak.

Watson mendorong Aiden untuk berbicara dengan perawat di meja administrasi. Gadis itu melotot, tapi baiklah, dia mengalah. "Permisi, suster... Saya hendak berkunjung ke ruang inap pasien bernama Davin. Dia ada di kamar berapa, ya?"

"Maaf sebelumnya..." Beliau merapikan posisi kacamata, menatap tajam. "Kalian siapanya pasien? Wali pasien sangatlah selektif. Saya tak bisa membiarkan orang lain berkunjung tanpa tahu identitas dan hubungan kalian. Terlebih... rasanya saya familiar dengan wajah kalian."

Apakah walinya seprotektif itu? Bisa celaka jika perawat ini mencari tahu lebih detail.

"Kami teman sekelasnya," jawab Aiden pede.

"Benarkah? Dari yang kudengar dari walinya, pasien merupakan siswa homeschooling. Apalagi, seragam itu... Bukannya seragam Madoka?"

Mati kutu! Aduh, ada apa dengan perawat ini?! Loyal banget. Watson mengepalkan tangan. Mereka tak bisa tertahan mentok di sini.

"Baiklah, kalian diizinkan menjenguk. Nak Davin di kamar VIP 004." Perawat itu berkata singkat.

Eh? Secepat itu beliau berubah pikiran? Tapi baguslah! Watson dan yang lain cepat-cepat menuju lift, tak sabaran mencet tombol. Mereka sedang berlomba dengan waktu. Tak boleh telat.

"Itu dia kamarnya. Ayo bergegas!"

Baru saja Watson menggeser pintu ruangan, sebuah flashdisk terambung ke hadapannya. Itu akan mengenai wajah Watson jika dia tak cekatan menangkap benda tersebut. Dia menatap ke depan. Tampak Davin bersedekap.

"Aku tidak punya banyak energi untuk bicara panjang. Semua pertanyaan kalian akan terjawab di dalam flashdisk itu," katanya sangat datar.

Apa-apaan suasana ini? Aiden, Hellen, Jeremy ganti-gantian melirik Watson dan Davin. Raut datar dan tatapan dingin! Mereka mirip banget!

"Tahu dari mana kamu kami akan datang?" tuding Watson menyelidik curiga. Si Davin ini aneh.

"Aku buruk dalam mengingat wajah, tapi aku tahu kalian dari klub detektif Madoka. Apalagi tujuan kalian datang ke rumah sakit ini jika bukan bertemu denganku?" balasnya sekenanya.

"Bisa jadi kan kami memiliki klien lain."

"Kalau begitu kalian seharusnya ke kamar klien itu, bukan ke ruanganku. Apa aku salah?"

Apa-apaan dia? Watson mengernyit tak suka. "Ngomong-ngomong, apa kamu sendiri? Di mana walimu? Kami hendak bertanya juga padanya."

"Ekspresimu bertentangan dengan pertanyaanmu. Bagaimana, ya? Beliau bukan orang nganggur. Dilihat dari napas yang terengah-engah, kalian sedang terburu-buru, kan? Takutnya kalian akan terlambat jika harus menunggu pamanku."

Perasaan tak mau kalah macam apa ini? Watson menggerutu dalam hati. Semua yang diucapkan Davin ada benarnya. Tapi, ukh, dia kesal!

"Apa kamu menjamin flashdisk ini bisa membantu penyelidikan kami?" Saho membantu Watson yang terlihat panas (dalam artian jengkel).

"Kalau kurang..." Davin melempar sebuah dokumen, melipat tangan ke dada. "Itu kronologi rekam medisku. Aku yakin ketua kalian yang genius itu paham tulisan-tulisan di dalamnya."

"Terima kasih kerja samanya," tutup Watson dengan setengah hati. Dia kesal tanpa sebab.

Klek! Pintu kamar kembali tertutup.

"Kamu kenapa sih, Dan? Kayak cacing kepanasan begitu. Harusnya kamu senang dong kita dapat petunjuk, bukan malah memberengut tak jelas."

Watson hanya mendengus masam.






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro