File 1.7.13 - There is Corpse in Your Room!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Usir dia! Usir wanita penjahat itu!"

"Jangan biarkan psikopat sepertinya tinggal di desa kita! Selamatkan Arohara dari pembunuh!"

Ketua Lurah menatap dua petugas yang kelimpungan oleh seruan-seruan warga desa. "Mau sampai kapan kami harus menunggu, Pak? Ini sudah mau dua jam lho. Kami juga harus bekerja."

"Meminta surat penangkapan untuk sipil kalangan rendah tidak semudah itu, Nyonya. Tolong tunggulah sebentar lagi. Bos kami akan datang."

Jillian menatap cemas Qenea yang menggigiti kuku jari, gundah gulana. Bagaimana ini? Di mana klub detektif Madoka? Kenapa mereka tidak ada di sini?

"Kakak, Mama akan ditangkap. Kita harus apa?"

"Mana kutahu," jawab kakaknya tak peduli.

"Apa?" Jillian yang terlanjur mendengarnya, berkacak pinggang di depan si anak pertama, melotot jengkel. "Kamu ini, ibumu sedang dalam kondisi sulit. Bisa-bisanya kamu tak mau tahu."

"Apa itu salahku? Itu salahnya berkeliaran di malam hari menyeret karung-karung aneh yang berdarah. Pantas saja para warga mencurigainya."

"Kamu...!" Jillian batal marah sebab Qenea menyentuh lengannya. "Kamu harus menegur anakmu yang kurang ajar ini, Nea. Mulutnya itu."

"Bukan masalah, Jillian. Tidak apa-apa."

“Kamu selalu saja mementingkan putra-putramu yang kurang taburan akhlak. Kamu harus keras sesekali, Nea. Jangan mau didominasi oleh anak. Kalau tidak, mereka takkan bisa diatur." Terpaksa Jillian meredam amarahnya agar suasana tidak geger. Sekeliling mereka sudah terasa hambar karena tatapan kebencian para penduduk desa.

Ngiung! Ngiung! Ngiung!

Suara sirene polisi mengejutkan Jillian dan Qenea, seketika pucat. Lain latar di sudut pandang warga desa Arohara serta Ketua Lurah. Mereka sontak bersorak senang karena akhirnya Qenea bisa pergi dari sana. Tiada solidaritas sama sekali.

Sepertinya tidak ada pilihan lain. Qenea beranjak membungkuk, memegang tangan kedua putranya. "Untuk sekarang, kalian tinggal bersama Bibi Jillian, ya? Mama tidak bisa menjumpai kalian dalam waktu yang lumayan lama. Jangan nakal, jangan pulang larut. Patuh sama bibi. Kalian paham?"

"Iya, Ma." Si Adik mengangguk. Si Kakak awalnya mendengus pelan, tapi kemudian mengangguk. Qenea tersenyum, mengusap kepala mereka.

Angra turun dari mobil sembari membawa selembar kertas. "Nyonya Qenea Mashoano," ucapnya datar menghampiri pemilik nama seraya mengeluarkan borgol. "Anda ditangkap karena tuduhan telah melakukan pembunuhan, melanggar UU nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan lingkungan hidup dengan memeram sampah, penyerangan remaja di bawah umur, dan kekerasan terhadap anak. Anda berhak untuk diam, berhak menyewa pengacara, dan berhak membela diri. Mari ikut saya dengan damai.”

Kenapa tuntutannya jadi banyak begitu?

Jillian menoleh, mendesis kesal demi mendengar cekikikan puas Ketua Lurah serta warga sekampung. Dasar muka dua! Munafik! Sejak awal si Buk Lurah itu menginginkan Qenea pergi! Dia hanya pencitraan di depan detektif Madoka.

Sekali lagi Qenea menoleh ke anak-anaknya yang kini memandang khawatir, tersenyum pahit. "Jaga adikmu. Jangan sampai sakit. Selalu dengarkan perkataan Bibi Jillian. Sampai jumpa entah kapan."

"Mama..." Si Adik menoleh panik. "Kakak, Mama mau pergi. Kantor polisi itu tempat penjahat dikurung, kan? Mau sebejat apa Mama, dia tetap Mama kita, Kak. Kita harus bantu Mama. Kakak!"

"Diamlah! Aku... juga tak tahu harus bagaimana."

Jillian menatap sedih temannya yang diborgol. Tapi, Qenea tersenyum padanya. "Titip anakku."

Dan sebelum Qenea diangkut ke mobil patroli, seseorang menginterupsi kegiatan Angra dan memotong ketawa-ketiwi warga desa Arohara.

"Masih terlalu dini, Inspektur Angra."

Angra menoleh. Dahinya terlipat. "Watson Dan..."

Klub detektif Madoka bergabung ke TKP!

"Mereka bukannya dari klub detektif terkenal itu? Apa yang mereka lakukan di sini? Ada kasus?"

Sial, betapa capeknya mereka pindah taksi, pindah bus, dan berlari ke kawasan Arohara. Karena tak ada waktu, Aiden tak sempat menelepon Dolok. Jadilah mereka memanfaatkan transportasi umum.

"Jika kamu mau beromong kosong, maka lakukan nanti-nanti atau besok-besok. Jangan sekarang. Anak kecil seperti kalian hanya mengganggu tugas polisi. Pergi," usir Angra dingin, mengibas tangan.

Kaki Jeremy mendarat ke badan mobil Angra yang memaksa hendak membawa Qenea, menyeringai puas. Jeremy dendam pada polisi satu itu atas kelakuannya terakhir kali: membuatnya pingsan karena tembakan prank. Waktunya balas dendam.

"Pindahkan kakimu sebelum aku patahkan."

"Hohoho." Jeremy terkikik geli. "Anda mau melanggar UU perlindungan anak?" katanya sangat teramat senang demi melihat raut wajah Angra. Cowok ini 17 tahun, sisa setahun lagi baru dia legal.

"Lepaskan borgol anda, Inspektur."

"Sayang sekali, aku membawa surat perintah resmi. Aku tak bisa menuruti permintaanmu."

Dulu yang bikin Watson pusing adalah Deon, sekarang Angra yang kepalanya lebih keras dan batu daripada Deon. Dasar polisi menyebalkan.

"Kalau begitu tangkap mereka juga." Sherlock Pemurung itu menunjuk semua warga desa, pun Ketua Lurah yang syok. "Mereka melanggar KUHP pasal 310 tentang pencemaran nama baik. Menyebar luaskan rumor jelek demi menyudutkan Qenea. Menjatuhkan reputasi orang lain."

"Heh! Apa maksudmu, Anak Muda?!" Ketua Lurah menarik tangan Watson, menatap berang. "Kenapa pula aku harus ditangkap? Qenea itu seorang pembunuh! Bukankah sudah seharusnya diusir?!"

"Ketua Lurah benar! Apa kalian sedang cari muka untuk menaikkan nama kelompok kalian, hah?!"

Watson diam, melirik pergelangan tangannya yang dicengkeram Ketua Lurah, mendesah. "Biar kuingatkan padamu. Badanku hanya tulang. Jika kamu menggenggam tanganku sekuat itu, aku bisa melaporkanmu atas tindak kekerasan. Mau?"

Terintimidasi, Ketua Lurah segera melepaskan cengkeramannya sembari mendecih geram.

“Kekuatan suara,” sambung Watson bersedekap, “apa kamu berniat menekan kami dengan cara konsensus? Orang-orang ini jelas di pihakmu.”

Beliau melotot. “Apa yang kamu bicarakan?!”

“Aku membicarakan kemunafikanmu. Kamu ingin warga desa memilihmu kembali saat musyawarah pemilihan Ketua Lurah berikutnya, maka dari itu kamu membuat kesan yang kuat. Aku tidak mengerti apa arti jabatan bagimu. Hanya demi gelar ‘Ketua Lurah’, kamu menjadikan Qenea sebagai batu lompatan. Kamu terlalu hiperbola. Apa kamu pikir kamu seorang calon presiden?”

“LELUCON MACAM APA ITU?! QENEA SEORANG PEMBUNUH! SUDAH SEPANTASNYA DIA ANGKAT KAKI! AKU HANYA MELAKUKAN KEWAJIBANKU DEMI MENJAGA KEDAMAIAN DESA!”

Caps-nya aktif, ya. Jeremy geleng-geleng kepala.

“Memangnya kamu punya bukti Qenea telah membunuh seseorang?” Saho terlihat jengkel.

“Bukti? Huh! Pada akhirnya kalian hanya anak-anak yang tidak mengerti apa pun. Semua warga di desa ini sudah tahu Qenea membawa karung berdarah hampir setiap malam. Dia menyembunyikan jasad seseorang yang dia bunuh di dalam benda itu. Bukti nyatanya ada pada darah di sekujur karung.”

“Kamu salah paham,” kata Hellen mengambil spotlight, “darah itu sebenarnya milik Qenea.”

Hah?! Mereka bersitatap bingung.

Aiden ‘mengambil’ dan mengangkat kedua tangan Qenea yang infeksi. “Kalian lihat ini? Darah di karung adalah darah dari jari-jari Qenea yang terluka. Isi karung itu bukanlah bangkai manusia melainkan tumpukan kaleng, ratusan jumlahnya.”

“Beraninya kalian membual di depan polisi—“

Baiklah. Watson mengeluarkan poster promo yang dia temukan di kamar Qenea, memamerkan kertas itu ke hadapan Ketua Lurah dan warga desa.

"Qenea berniat membelikan putra-putranya sebuah ponsel. Akan tetapi, meski sudah melakukan kodian, total harga sampah plastik masih lah sedikit pendapatannya. Oleh karena itu, Qenea mulai bekerja ganda. Dia tak lagi hanya mengumpulkan botol plastik, namun juga mencari kaleng bekas dengan gigih sampai jari-jarinya terluka. Itu menjelaskan mengapa darah di karung hanya ada di bibir pembukanya saja. Darah di jari Qenea tertinggal kala dia mengikat karung."

Si Sulung terdiam mendengar hal itu, menoleh pada Qenea lamat-lamat.  Tangan ibunya terluka hanya karena membelikan mereka ponsel? Dan dia tidak tahu-menahu soal itu? Jadi selama ini...

“Qenea hanya ingin membahagiakan putra-putranya, namun kalian malah memfitnah dia yang tidak-tidak. Dasar para kumpulan brengsek.”

Saho menyentuh bahu Watson, menggeleng kalem. Keep you language, itu maksudnya.

“Lantas bagaimana dengan remaja yang dia serang, heh?! Anak itu sampai dirawat di rumah sakit!”

“Ah, soal itu...” Watson menoleh datar.

Hellen memutar video yang ada di flashdisk pemberian Davin, memperlihatkannya ke Ketua Lurah dan warga desa. Malam itu sebenarnya Davin meninggalkan sapunya di bak sampah. Qenea berniat mengembalikan sapu tersebut, namun tiba-tiba Davin berteriak dan pingsan.

Kernyitan jengkel di kening Ketua Lurah. “Apa... Apa maksudnya itu? Qenea tak melakukan apa pun...? Tapi kenapa anak itu pingsan, hah?!”

“Menurut riwayat kesehatan, dia mengidap Pneumothorax yang sudah berkembang menjadi Tension Pneumothorax dimana fungsi jantung menurun. Orang-orang yang mempunyai masalah pada jantung sangat pantang dikagetkan. Qenea sama sekali tidak menyentuhnya. Dia pingsan karena terkejut. Qenea tidak mengetahuinya. Bukankah karena itu dia pindah ke Arohara? Dia membutuhkan lingkungan dan udara yang bersih.”

Sosok Lydia menyibak kerumunan, mendumal marah. “Lalu bagaimana dengan rekaman dalam ponselku yang kalian rebut?! Di sana Qenea memukuli anak-anaknya! Terlebih, berani sekali kalian datang ke sini setelah mencuri barangku?!”

“Benar! Meski dia lolos dari tuduhan pembunuhan, dia telah melakukan kekerasan pada anak!”

Jeremy berkacak pinggang. Daripada membela, mereka ini berbakat sekali dalam menyudutkan. Diliriknya Hellen yang berkeringat. Apakah dia tidak tahu jawabannya? Bagaimana dengan Watson—

“Hipersensitivitas.”

[Note: Reaksi Hipersensitivitas adalah reaksi berlebihan yang tidak diinginkan karena terlalu sensitifnya respon imun (merusak, menghasilkan ketidaknyamanan, dan terkadang berakibat fatal) yang dihasilkan oleh sistem imun.]

Mereka semua menoleh syok kepada Watson. Yok, waktunya spotlight menyorot tokoh utama kita.

“Qenea menderita Fear of Abandonment setelah ditinggal pergi oleh Theo, mantan suaminya. Dia merasa tertekan sehingga tanpa bisa dikontrol, Qenea mulai bersikap kasar pada kedua putranya agar mereka tidak mengkhianatinya atau pergi meninggalkannya seperti halnya Theo. Hubungan itu takkan bertahan jika tak ada pemikat. Makanya Qenea bekerja keras demi membelikan ponsel.”

Inti masalah kasus ini sangat sederhana. Semuanya hanya salah paham yang berkelanjutan. Psikologi yang problematis, anak-anak yang tidak mau mengerti kondisi ibunya, masyarakat setempat justru menuding. Hanya Jillian yang bertahan.

“Mama, maafkan aku... Selama ini aku...” Si Sulung berkaca-kaca. Hidungnya kedat. “Aku minta maaf.”

“Mama, kami takkan meninggalkan Mama!”

Di sisi lain, kedua putra Qenea tidak sepenuhnya bersalah. Hmm, Aiden dan yang lainnya mengerti. Wajar sikap mereka seperti itu jika mendapatkan kekerasan terus-menerus. Ini hanya perihal waktu untuk mengobati luka di hati Qenea dikecewakan.

“Mama juga minta maaf... Mama sayang kalian.”

Jillian tersenyum memandangi mereka bertiga, menoleh ke Watson dan rekan-rekannya. “Terima kasih bantuan kalian, Klub Detektif Madoka. Saya sangat berterima kasih dan terbantu. Tidak salah saya mendatangi Madoka. Terima kasih.”

“Tidak masalah. Sudah jadi pekerjaan kami.”

“Cih!” Ketua Lurah mendengus masam, pergi dari TKP dengan hentakan kaki jengkel. Kalah sudah.

Jeremy dan Saho menatap kerumunan yang mulai bubar karena Qenea tidak jadi diusir. Dia terbukti bukan penjahat yang akan merugikan desa.

“Sepertinya dia kecewa?” gumam Saho.

“Sangat kentara.” Jeremy mengusap hidung.

“Kalian benar-benar mengacau,” gerundel Angra mengacak-acak rambut, terpaksa merobek surat penangkapan di tangannya. “Kali ini aku masih bersabar. Berikutnya jangan harap aku akan diam saja kalian merusak kasusku, anak-anak sombong.”

“Beliau itu kenapa sih?” kata Hellen menatap tak mengerti Angra yang pergi dengan menggerutu.

“Yah, yang terpenting case closed! Ayo kita selfie dulu. Sudah lama kita tidak berfoto.”

“Ide bagus.” Jeremy mengangguk. Tidak ada salahnya membuat kenangan. Entah kapan mereka mampir ke sana lagi atau takkan pernah memiliki waktu pergi ke Arohara. Panorama di sana cukup cantik, tidak mencerminkan penghuninya.

Drrt! Ponsel Watson berdering. Ah, dari Beaufrot. Dia beranjak mundur. “Kalian duluan saja.”

Angra belum pergi dari TKP, dia menoleh ke Watson yang menyendiri. Kenapa bocah sial itu?

“Ada apa, Paman?” tanya Watson.

[Cepat pulang ke rumah sekarang juga!]

“Tenanglah, Paman. Aku jauh dari Moufrobi. Apa yang terjadi?” Firasat Watson tiba-tiba jelek.

[Ada mayat di dalam kamarmu!]

DEG! Tubuh Watson seketika menegang.

























Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro