File 1.7.7 - Sneaking Into The Night Bar

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Aku sudah mengeliminasi beberapa kandidat warga Arohara yang merupakan 'saksi mata'. Totalnya enam orang. Setelah kutelusuri, tersisa satu wanita yang memenuhi kriteria—"

"Tunggu, bagaimana caranya?" sela Jeremy.

Gampang. Hellen tinggal mencari secara manual daftar penduduk Arohara yang rajin keluar-masuk dari desa. Memakan waktu seharian. Gadis itu begadang demi mengumpulkan informasi.

Jeremy berbinar-binar menatap Hellen yang kalem mengeluarkan aura pekerja keras. "Tidak kusangka Hellen kita berjuang sangat gigih!"

"Siapa namanya?" tanya Aiden. Hari ini dia memakai hairstyle yang sama seperti kemarin. Half up half down with low braid dengan pita hijau tak bermotif sebagai pengikatnya, lantas mengenakan bando pearl. Terlihat menyegarkan.

"Lydia Gladiras, 42 tahun. Belum menikah dan bekerja sebagai wanita penghibur di Pub Sarhana. Sepertinya dia sudah cukup lama kerja di sana."

Eh? Watson mengerjap mendengarkan penjelasan Hellen. Jadi teorinya semalam benar? Wah...

"Beres," kata Saho selesai membalut kaki detektif muram itu. Dia tersenyum. "Syukurlah tidak bengkak. Paling nanti siang sudah baikan."

"Terima kasih. Maaf merepotkanmu."

"Tidak, tidak usah sungkan. Aku merasa diriku hanya beban di klub ini, makanya apa pun yang bisa kulakukan, biarkan aku mengerjakannya."

Watson menatap Saho. Duh, dia jadi canggung dan teringat-ingat celetukan cowok cantik itu. Ya, ya, Saho pasti cuman bergurau. Mari kita berpikir positif. Tidak mungkin beautiful boy sepertinya mampu melakukan hal mengerikan.

Sekarang mari fokus pada kasus Qenea.

"Pub Sarhana... Di mana lokasinya?"

"Karena tempat itu tidak ada di google maps, aku mencari cara lain dengan meretas akun pribadi Lydia. Dia pernah tak sengaja memasukkan alamat Pub Sarhana di hastag postingannya. Setelah kuperiksa lebih lanjut, itu 13 kilometer dari sini. Kita bisa sampai dalam 19 menit jika tidak macet mengunakan mobil. Tapi bar ini baru buka pukul delapan malam, Watson."

Jeremy bangkit dari kursi. "Jika pak pemimpin sudah berdiri, itu berarti kita segera tancap gas ke tempat tujuan. Bukan begitu, Watson?"

Sherlock Pemurung itu mengangguk. Yang penting sekarang melihat-lihat dulu. Masuk atau tidaknya ke dalam pub, bisa dipikirkan nanti.

-

Seperti yang diharapkan dari yang namanya 'klub malam', mereka sangat memikirkan posisi yang strategis dan aman dari patroli polisi. Watson dkk nyaris tertipu jika mereka tak hati-hati meniti gang demi gang. Jalan lengang tempat pentolan para preman dan pembegal berada.

Bahkan dari luar gang, aura lorong jalan itu sangat mengintimidasi. Seolah mengatakan tempat ini bukan tempat yang pantas didatangi klub detektif Madoka yang notabenenya remaja. Orang awam akan mengira jalan itu kompleks rumah susun tanpa tahu ada sebuah bar di sana.

Baiklah. Watson perlahan masuk ke dalam gang. Diikuti Aiden, Hellen, Jeremy, dan terakhir Saho. Berjalan tiga menit, mereka pun belok kiri dan berhenti di kantor kecil 'Real Estate'.

"Apa ada yang bisa saya bantu... Oh?" Wanita yang bertugas membenarkan posisi kacamatanya, memperhatikan lekat-lekat tamu tak diundang. "Bagus, lima remaja polos. Dua laki-laki, tiga perempuan. Apa yang kalian lakukan di sini, Nak? Wilayah ini bukan tempat untuk bermain."

Jeremy menahan tawa. Hellen mengulum senyum. Astaga, apa katanya barusan? 'Dua laki-laki'? Jadi, Saho tidak dihitung cowok?

Tapi tidak dengan Watson. Dia sigap dengan wajah datarnya. "Apakah masih ada rumah kosong di rusun ini? Kami berlima sepupu jauh. Menuruti arahan kakek, kami terpaksa harus tinggal bersama mulai sekarang. Kami miskin, tak punya banyak uang. Harapan kami satu-satunya adalah rusun yang anda kelola, Nyonya."

Aiden memutar kepala (putri keluarga terkenal).
Hellen menepuk dahi (putri pemilik rumah sakit).
Jeremy menatap tak percaya (putra angkat dengan kedua orangtua diplomat).

Saho mendesah pelan. Etdah. Hebat betul akting nih makhluk satu. Apa dia sangat berbakat dalam berbohong demi kasus? Lihatlah, dialognya tampak begitu murni dan alami.

"Kamu tak bisa menipuku, Anak Muda. Bahkan bocah kemarin sore pun tahu kalau kalian berasal dari keluarga berada. Kebohonganmu payah."

"Cih, tak berhasil kah." Watson berdecak.

"Apa kamu barusan mendecih padaku?"

"Dengar, Nona Ajun. Kami punya misi penting. Kami butuh kerja sama anda. Beri kami rumah. Atau perlu kutransfer satu miliar dolar?"

"Enyah dari sini, anak-anak nakal."

Mereka berlima pun ditendang keluar dari gang.

Aiden mengelus-elus bokong. "Aduh, kasar sekali satpamnya. Tak bisakah mengusir dengan lembut. Memangnya kita ini apaan, heh!"

Hellen bersedekap. "Kenapa kamu menyerah begitu saja?" Biasanya sherlock pemurung itu akan menambahkan majas hiperbola ke dramanya. Atau dia punya rencana lain?

"Aku terlalu menggampangkan rencanaku. Kurasa menyamar jadi penyewa bukan ide yang bagus. Jika mereka memisahkan ruangannya, maka tidak ada yang bisa didapatkan dari menguping. Belum lagi membicarakan soal keamanan."

"Lalu, apa yang harus kita lakukan?"

"Kita akan masuk ke dalam lewat pintu depan."

"Eh?" Mereka berempat dipenuhi tanda tanya.

"Kita harus menyamar. Maka dari itu kita butuh pakaian yang sesuai. Ayo, kita pergi berbelanja."

-

Malam pun tiba tak terasa.

"Ukh, apa kamu serius, Watson? Entah kenapa aku merasa ini tidak benar. Mamaku bisa mengamuk kalau tahu aku pergi ke kelab. Sampai saat ini, aku cowok suci anti hal mesum ginian!"

"Diamlah sebentar, Bari. Aku tak bisa melukis tatonya kalau tubuhmu bergoyang-goyang." Watson fokus menggambar laba-laba ke lengan Jeremy yang terekspos, sesekali melirik ponsel.

Butuh dua menit untuk menyempurnakan tato pura-pura itu. Apalagi Watson tidak semahir King dalam menggambar. Dia spesialis berpikir.

Ngomong-ngomong tentang King. Kalian pasti bertanya-tanya bagaimana kabarnya. Meskipun menyebalkan, King Krakal adalah salah satu karakter manis yang auranya menonjol. Agaknya ada yang kurang jika kondisi King tidak dijelaskan sehabis insiden yang terjadi di Berlin.

Seperti yang kita ketahui, tubuh King sangat lah lemah untuk saat ini. Karena mentalnya yang down telah menyerang jantung serta saraf otaknya, King pun mengalami koma. Tenang, jangan khawatir. Koma bukan berarti tak bisa bangun lagi. Dia bukannya mati otak atau ada yang salah dengan fungsi organ lain. King hanya butuh istirahat dalam waktu yang cukup lama.

Chalawan pun membawa King ke Australia untuk pengobatan bersama Pasha yang bersikeras. Perjalanan yang bagus untuk mengganti suasana.

"Yosh, selesai. Ternyata susah juga."

"Watson, aku sudah menjejalkan insole ke sepatumu. Tinggimu sekarang 162, kan? Kurasa ini cukup untuk menggenapkannya jadi 165."

"Tahu dari mana?" Watson mengernyit, sibuk memakai sepatu yang disodorkan Saho.

Saho cengengesan. "Tebakan? Aku suka mengukur. Coba kulihat..." Dia menoleh ke Jeremy yang bersungut memakai kalung rantai untuk tambahan aksesoris. "Kamu 168 kan, Jer?"

"Wah, kece! Bagaimana kamu tahu?"

Dalam sekali lihat? Watson sebenarnya juga bisa melakukannya (saat otaknya berkehendak sih) karena itu salah satu kemampuan detektif.

"Kamu sendiri berapa?" tanya Jeremy.

"Terakhir kali naik dua senti... berarti 170."

"Brengsek. Pantas saja kamu tinggi sejengkal dariku. Ukh, aku harus rajin berolahraga nih."

"Kalian sudah siap?" tegur Aiden dan Hellen bergabung dengan mereka bertiga.

Ceritanya mereka berhenti di toilet umum untuk mengganti seragam sekolah Madoka yang dikenakan menjadi pakaian ala-ala pergi ke bar.

Aiden memakai atasan sabrina berwarna biru motif perkakas benda langit, bawahan rok hitam dan boots kulit selutut. Rambutnya dia kuncir, diikat pakai pita abu-abu. Lalu sebagai sentuhan terakhir, dia memakai kalung choker.

Di sisi lain, Hellen mengenakan baju crop top hijau berbunga-bunga nan mengekspos perutnya. Bawahannya berupa celana pendek kemudian memakai jaring kaki lalu ditutup dengan sepatu boots hitam yang memiliki hak. Rambutnya dicatok curly dan menggunakan bando pita putih.

Gadis itu tidak paham fashion, sudah jelas Aiden si ratu dandan yang menghiasinya.

Watson mengembuskan napas berat, tersenyum pasrah pada Jeremy. "Kamu benar, Bari. Ini suatu kesalahan. Aku melihat teman-temanku memakai busana yang terbuka. Ini sungguh tidak benar."






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro