11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rencana; bisa yok AC prioritaskan
Ide & Niat; RANDOM BULLSHIT GO!!!

***Happy Reading***

Watson sudah keliling empat kali, namun tak ada gambar atau tanda apa pun di lantai. Apa yang terjadi? Tidak mungkin pelaku lupa melukisnya. Jangan-jangan motif membunuhnya tidaklah sama.

Tidak, sudah jelas sama dan berhubungan. Sherlock Pemurung itu harus periksa lebih teliti lagi. Musuh mereka kuat kali ini.

"Waktumu habis," potong Angra menyeret cowok itu keluar dari zona TKP. "Kamu berjanji hanya tiga menit dan aku sudah bermurah hati menambah tujuh menit. Puas, kan? Sekarang enyah dari sini."

"Aku belum menemukan tandanya."

"Tanda? Haa... Cerita apa lagi yang hendak kamu karang?" Angra mendengus.

Watson menepis tangan Angra, menatap masam. "Aku tahu anda seorang brengsek. Tapi meski begitu, anda tetaplah seorang polisi. Apa anda tak memiliki simpati pada mayat ini? Dia sudah mati lampau lalu, diawetkan, dan digantung ke pohon natal. Anda tahu persis apa maksudku kecuali otak anda benar-benar tidak ada isinya."

"Aku. Tidak. Peduli. Sama. Sekali."

Watson mendesis kesal. "Inspektur...!"

Plak! Sebuah dokumen menampar kepala Angra membuatnya terdorong ke depan. Wanita paruh baya berseragam polisi itu menyengir pada Watson sambil merangkul bahu Angra seakan teman dekat.

"Ayolah, Angra. Jangan terlalu kasar dengan anak-anak. Aku tak mengajarimu seperti itu lho. Bicaralah dengan baik."

Apa yang dia lakukan?! Klub detektif Madoka tersyok-syok. W-wanita itu baru saja memukul kepala Angra? Ketua divisi unit kejahatan khusus yang dingin? Apa dia cari mati?! Itu kan si Angra Emo!

Tidak, tunggu. Watson memicing melihat lencana di lengan seragam wanita itu, melotot. Astaga! Dia bukan polisi biasa!

"JENDERAL NOSAROC! Buat barisan—"

"Tidak, tidak perlu. Kita tidak sedang di acara resmi melainkan di TKP. Sudah seharusnya aku terjun ke lapangan."

Tunggu sebentar. Watson manyun. Aiden dan Hellen saling tatap hina. Barusan, para petugas memanggilnya 'Nosaroc'? Itu kan nama marga Angra. Jangan bilang...

Sherlock Pemurung itu berkacak pinggang, menatap Angra malas. "Oh, jalur orang dalam toh rupanya. Pantas saja, ckckck."

Pemilik nama mencengkeram leher Ingil, melotot marah. "Apa yang Penyihir Tua itu lakukan di sini, hah?! Kenapa dia bisa—"

Plak! Beliau kembali melampang kepala Angra menggunakan benda sama. "Begitu caramu memanggil ibumu?" Wanita itu bersedekap santai. Nada ramahnya tidak hilang, juga tidak marah. Seakan terbiasa.

"Berhenti memukuliku, Penyihir Tua Sialan!"

Klub detektif Madoka memandangi Angra dengan tatapan prihatin. Image pria itu seketika jatuh di hadapan ibunya. Mau sedingin dan sekasar apa, dia tetap tak berdaya di depan makhluk berstatus ibu.

"Mulutmu itu lain kali kusambet. Yah, aku juga tidak tertarik padamu." Beliau melewati Angra, berdiri di depan Watson dan sedikit membungkuk untuk menyejajarkan tinggi. "Ini kali pertama kita bertemu bukan, Detektif Imut?"

Watson menelan ludah. "H-halo..."

"Jenderal!" Raum menerobos kerumunan, cengengesan sembari menggeser Watson, menggosok-gosok tangan. "A-apa yang anda lakukan di sini? Anda tidak memberi pemberitahuan akan terjun ke TKP."

"Raum... Kamu bukan superintenden lagi. Apa kamu pikir kamu masih berkuasa?"

"T-tidak. Bukan begitu—"

"Sepertinya didemosi belum cukup menyadarkan tabiatmu yang masa bodoh itu, ya." Beliau terkekeh, mengusap papan nama di seragam Raum. "Jika kamu ingin posisimu pulih, berhentilah menutup kasus dan mulailah bekerja sungguh-sungguh. Jangan selalu menjadi budak. Ini bukan peringatan tapi perintah. Camkan itu."

Raum mengepalkan tangan.

"Kembali ke topik." Wanita itu mengabaikan Raum yang menggerutu jengkel—pasti dia sedang sumpah serapah dalam hati. "Kita masih belum berkenalan secara resmi, Watson Dan. Namaku Yolanda Dresura Nosaroc. Bisa dibilang saat ini aku menjabat sebagai wakil kepala kepolisian Moufrobi. Aku sendiri yang akan memimpin satgas pemburuan Santa Maut."

"W-wakil kepala?!" seru Jeremy ciut.

"Tapi kenapa?" Aneh. Kan masih banyak polisi bawahan. Kenapa Yolan memutuskan ikut secara langsung ke lapangan? Biasanya para petinggi kepolisian hanya duduk mengarahkan di markas mereka.

Yolan tertawa renyah, menepuk-nepuk kepala Watson. "Karena kasus ini menarik perhatianku. Pergilah. Kamu ingin mencari sesuatu di pohon itu, kan? Aku memberi izin penuh untuk klub detektif Madoka."

"Ibu—maksudku, Bu Jenderal..." Angra gelagapan sendiri meralat kalimatnya, mengacak-acak jengkel anak rambut. Frustasi dan marah bercampur. "Anda tak bisa memutuskan sepihak begitu saja."

"Apa ini?" Yolan bersedekap. "Kamu ingin menentang titah Ibu? Kamu siapa?"

"Wanita sialan ini...!" Teramat jengkel.

Baiklah. Biarkan ibu-beranak itu saling adu mulut. Aiden dan Hellen mengendap melewati garis kuning, menelusuri TKP selagi Watson malah sibuk memperhatikan debat Yolan dan Angra yang tampak seru.

"Mereka mirip ya," komentar Jeremy menyodorkan pop corn pada Watson.

"Hmm. Mirip." Watson menerima pop corn tersebut. Kacamata 3D menempel di wajahnya. Sangat menikmati perdebatan.

"Dan! Apa ini tanda yang kamu cari?"

Watson beranjak bangun, bersitatap dengan Jeremy, melepaskan kacamata kocak itu lantas masuk ke TKP. Pantas saja Watson tidak menemukan simbolnya. Tanda tersebut terukir di kaki pohon.

"Apa ini? Itu terlihat seperti simbol ceklis dengan garis yang lebih panjang."

"Tidak! Kamu salah, Jeremy. Ini tuh seperti tanda kurung. Cuman garis atasnya kepanjangan." Hellen menggeleng.

"Menurutku ini seperti atap," kata Dextra.

Watson menatap mereka bertiga dengan air muka tak memungkinkan.

"Kalian ini katarak, ya?"

Ah, Aiden! Watson menunggu antusias.

"Jelas-jelas ini tuh huruf L terbalik yang garisnya sedikit lebih miring," jawabnya percaya diri. Hidung kembang tujuh senti.

Sudahlah. Watson mendesah pelan. Setiap orang punya batasan tertentu. "Kalian salah. Ini adalah simbol akar kuadrat."

"Akar kuadrat?!" seru mereka kaget.

Tanda setrip di lantai labor bukanlah sekadar garis lurus biasa. Pelaku memakai trik simbol matematika sederhana. Yang ada di TKP Rani adalah tanda kurang.

"A-ada apa, Dan?" Aiden dan yang lain bingung merasakan aura Watson berubah.

Yolan tersenyum miring, memperhatikan.

"Aku menemukannya," katanya pendek.

"Apa?" Mereka berempat menatap intens.

Kalau benar ini permainan KABATAKU simpel, jawabannya akan ketemu setelah mereka menjabarkan tiap teka-teki pada aksi pembunuhan berantai si Santa Maut.

Sepandai-pandai tupai melompat, ia akan jatuh juga, heh? Watson menyeringai. Tidak salah lagi, motif pelaku adalah dendam pribadi. Orang-orang yang dia bunuh selama ini akan merujuk pada sosok yang menjadi lampias utama dendamnya.

Sekarang tugas klub detektif Madoka adalah mengartikan tiap pembunuhan Santa Maut yang terjadi di Desa Stupido.

"Jenderal Yolan, apakah tenda darurat NFS sudah didirikan? Jika sudah, di mana itu? Saya ingin mengkonfirmasi kematian Belorio. Apakah anda mengizinkan?"

"Ya, tentu saja." Yolan membungkuk memberikan kartu pengenalnya. "Gunakan ini untuk mendapatkan aset, Detektif."

D-dia dekat. Watson menerimanya gugup. "T-terima kasih kerja samanya—ah!"

Yolan menarik pelan lengan cowok itu, berbisik ke telinganya. "Kamu mungkin merasa dongkol dengan putraku, namun kuharap kamu bersikap maklum pada Angra. Dulunya dia polisi yang baik dan berdedikasi pada pekerjaan. Dia berubah seperti itu semenjak ayahnya menghilang."

"A-ayah Inspektur Angra menghilang?" Manik mata Watson terarah ke pemilik nama yang marah-marah sama Ingil.

Yolan tersenyum sekali lagi, menepuk kepala Watson. "Yang akur ya kalian. Aku akan memantau dan memberi dukungan dari belakang. Tangkap santa sialan itu."

"I-iya... Saya akan berusaha keras."

Wanita itu pun berjalan menjauh dari TKP hendak kembali ke posnya. Meninggalkan Watson yang punya belasan tanda tanya di dalam otaknya sembari melirik Angra sesekali. Dia mencium aroma tak enak.

"Dan, beliau bilang apa tadi sampai kamu mematung begitu?" Aiden bertanya.

"Tidak. Aku kelelahan. Kita cari penginapan. Kita harus menyusun rencana untuk besok sekalian menunggu autopsi."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro