10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"P-Petugas Polly! Petugas Marc!" Pemilik Rumah menyambut dengan raut lega sekaligus cemas. "Akhirnya kalian datang juga. Saya sudah menunggu dari tadi."

"Di mana mayatnya?"

"Di sana! Di dalam gudang!"

Membiarkan Polly dan Marc maju duluan, Watson menatap beliau. "Apa anda menyentuh jasad? Bagaimana dengan TKP? Apa anda pernah mengawai TKP?"

"T-tidak! Saya langsung pergi menelepon polisi..." Matanya seketika terbelalak demi melihat penampakan Watson. "Holy Jesus! K-kamu Watson Dan?! Kenapa k-kamu bisa ada di sini?! Apa aku sedang bermimpi?! Watson Dan yang itu berada rumahku! Astaga, saya penggemar berat anda, Nak!"

Sungguh, Watson muak dengan semua ini. Pertama Marc dan Polly, sekarang dia. Apakah orang-orang di Desa Stupido menggemarinya? Wartawan brengsek(2). Setelah kasus ini selesai, dia bersumpah akan menuntut reporter yang terlibat pada kasus Hindegrass. Lihat saja nanti.

We wish you a merry Christmas.
We wish you a merry Christmas.
We wish you a merry Christmas.
And a Happy Death Day!~~

Lantunan lagu itu menyentakkan Watson. Sepertinya pemilik rumah berkata jujur, bahwa dia segera pergi dari TKP tanpa sempat menyentuh apa pun seperti mematikan gramophone yang membuat lagu natal menjadi seram didengar.

Ukh! Sherlock Pemurung itu menutup hidung. Yang lain memegang perut, terbatuk. Sial! Bau menyengat apa ini? Jasad di depan mereka mengeluarkan bau yang sangat menyiksa hidung dan perut.

"Watson! Ini bau formalin yang kuat!"

"Aku tahu," katanya mengenakan masker. "Kalian tidak usah masuk jika tidak—"

Huwek! Huwek!

Terlambat. Dextra dan Jeremy sudah muntah massal, disusul Polly dan Marc. Tidak dengan Aiden dan Hellen yang sepertinya sudah mulai membiasakan diri. Mereka hanya berbinar ngeri serta jijik melihat korban diikat ke pohon natal yang telah dihias sedemikian rupa. Eww!

Kali ini korbannya remaja laki-laki, ya? Baiklah. Watson memakai sarung tangan. "Petugas Polly dan Petugas Marc, tolong hubungi Divisi Kejahatan Khusus, satgas yang bertanggung jawab atas kasus Santa Claus Pembunuh, juga tim BFN. Aiden dan Stern, kalian berdua bantu aku mengidentifikasi. Bari dan Hane, keluar sana. Muntahan kalian merusak TKP."

Dua orang itu malah melongo. Watson sekali lagi menatap mereka. "Kenapa kalian diam saja? Bergerak sekarang juga!"

"B-baik!" jawab mereka gelagapan, keluar bersama Gari yang pucat. "Tuh, kan, Ri! Kamu kemarin tidak bilang Watson Dan juga ikut kemari. Kan kami bisa latihan mental. Huhu, hancur sudah kesan kita."

"Haha... Maaf..." Gari cengengesan.

"Mukamu pucat sekali. Kami pasti takut."

Dan blablabla, obrolan itu tidak terdengar lagi. Mereka bertiga keluar dari TKP tanpa sadar Watson masih memperhatikan.

'Kemarin'? Watson terdiam lama.

"Dan, cepat kemari! Ada sesuatu di sini!"

"Ah, iya." Setelah memastikan mereka semua (termasuk Jeremy dan Dextra) keluar dari TKP, Watson bergegas masuk ke zona crime scene, beralih jongkok.

"Ada yang aneh dengan jasad ini, Dan."

Maksud Aiden adalah, saat dia menyentuh lengan mayat, kulitnya keras seperti batu. Rambutnya membeku. Mana jasad itu mengeluarkan hawa dingin seolah baru diperam di kulkas atau mesin pendingin.

"Stern, bagaimana perkiraanmu?"

"Sepertinya dia baru dipindahkan dari tempat dia dibunuh. Aiden benar. Ada yang salah dengan tubuh cowok ini."

"Bukan itu maksudku." Watson menghela napas. Tentu dia sadar bahwa badan korban sudah sangat tidak elok, kentara dari penampakan luarnya. Detektif Muram itu beranjak bangkit, menatap datar wajah korban. "Anggaplah benar dia baru dikeluarkan dari kotak atau mesin pendingin, namun, apa kalian tak merasa ganjil dengan bau formalin di tubuhnya?"

"Apa yang kamu bicarakan? Mungkinkah?!" Aiden dan Hellen berseru, terkesiap.

"Mungkinkah yang kalian pikirkan itu benar. Dia diawetkan, dibalsam dan dibekukan. Tiga metode sekaligus. Kurasa korban sudah meninggal sangat lama. Melihat kekerasan tubuhnya, kalau aku tak keliru, mungkin sekitar 3 bulan lalu."

-

Dalam hidupnya, bertemu klub detektif Madoka adalah suatu kesialan yang tidak terukur. Untuk kesekian kalinya Angra mengutuk profesinya sebagai seorang polisi. Tak seharusnya polisi membiarkan anak-anak seperti para cecunguk itu bermain di tempat pembunuhan.

"Lihat orang itu," gumam Aiden mendecih. "Dia pasti sedang menggunjing dalam hati. Inspektur Angra tak mau kita saingi."

"Kakak-kakak sekalian sepertinya punya dendam sama polisi itu." Dextra berkata polos, mengonsumsi banyak air putih. Dia dan Jeremy muntahnya lama tadi.

"Panjang ceritanya. Intinya dia itu pelit berbagi dan kasar, sok bijak. Blablabla."

Sementara itu, Watson tak masuk ke TKP. Dia lebih menunggu di luar garis kuning. Daripada misuh-misuh berdebat dengan Angra yang bisa bikin mood jelek, mending dia memikirkan tentang kematian korban.

Nama korban adalah Belorio Belorix, 16 tahun. Sesuai perkiraan, korban merupakan anak yang sudah menghilang beberapa bulan. Karena mengira putra mereka sudah meninggal, orangtua korban menghentikan pencarian dan berusaha mengikhlaskan. Perasaan duka tak berkesudahan telah merenggut nyawa mereka berdua.

"Tidak ada nomor di batang pohon. Motif si santa itu berubah lagi," celetuk Hellen berdiri di sebelahnya. "Itu kan yang buat kamu kepikiran? Kamu yang menemukan secarik kode di batang pohon Kak Rani. Tapi di pohon Rio, kosong. Tiada angka."

"Kamu menebak akurat, Stern."

Jujur saja, ini mulai membuat Watson merasa jengkel. Dia selalu kecolongan sama Santa Maut menyebalkan itu. Musuh berada jauh dari radarnya, seolah, kali ini musuh lah yang membaca pikiran Watson.

Kenapa Watson merasa tak semangat? Pikirannya tidak menetap. Kadang-kadang berhenti di kasus, kadang-kadang berkelana ke hal lain, kadang-kadang diam.

Seperti sekarang misalnya.

Tidak, tidak. Fokuslah! Watson menahan diri agar tidak mendongak. Nguoong~ Suara seram menderum panjang di langit malam nan bersalju. Itu pasti seekor paus yang bisa terbang. Momok besar yang menghantui pikirannya dua bulan ini.

"Kamu kenapa sih, Wat?" Hellen berdecak pelan. Temannya itu kurang responsif.

"Tidak. Bukan apa-apa," elaknya.

Bilangnya begitu. Tapi di mata Hellen, Watson tampak terusik oleh sesuatu. Dibuatnya menatap langit. Tidak ada apa pun di sana. Hanya perasaannya saja kah?

"Ketika kamu buntu, maka ulanglah dari awal." Seseorang berbisik dari belakang.

Deg! Watson refleks menoleh. "A-anda..."

"Petugas Nalan! Sudah lama tak bertemu," sapa Hellen menjabat tangan pria itu. Terakhir mereka berkomunikasi dengannya adalah saat mengurus masalah King. "Apa yang anda lakukan di sini? Jangan-jangan anda juga bagian dari satgas darurat?"

Nalan cengengesan, mengangguk.

Selagi mereka bercakap-cakap, Watson terdiam cukup lama. Hanyut dalam pikiran yang seketika kosong demi mendengar sederet kalimat familiar itu. Dia memperbaiki syalnya supaya singset.

Benar. Daylan ayahnya pernah memberi satu dua nasehat. 'Ketika pikiranmu buntu, mentok tak menemukan jalan, maka yang harus kamu lakukan bukanlah mengeluh melainkan mengulangi dari awal'.

Benar, benar! Ini bukan korban ke-10! Ingat, Rani juga digantung di pohon. Meski Raum mengatakan 'daun garlan yang digunakan berbeda', tetap saja ada ciri khas yang tertinggal yaitu: lagu natal.

Watson mengingat-ingat lagi, sekiranya apa yang ada di labor komputer. Waktu itu kalau tak salah, terdapat tanda setrip di lantai menggunakan darah Rani.

"Itu dia. Tanda di lantai. Inspektur!" Watson bergegas menghampiri Angra yang berbicara dengan dua orang dari Forensik.

Nalan memperhatikan anak itu dari kejauhan, tersenyum penuh arti.

"Apa anda mengenali teman kami?" cetus Hellen memantau tingkah Nalan. "Anda pasti bukanlah pengemar sembarangan."

"Ah, itu... Hehehe." Nalan memegang topi, lagi-lagi tersenyum misterius.

"Mungkin kamu ada benarnya. Anggap saja, dia kenalan dari kenalanku."






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro