9

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Falak tuh apaan sih?" Aiden bertanya.

Jeremy menggeleng tidak tahu, juga Dextra. Mereka baru mendengar kosakata tersebut. Hellen pun terlihat ragu.

"Nama lainnya falakiah," celetuk Watson. "Sebutan untuk orang-orang yang mendalami ilmu tentang perbintangan. Astrologi, astronomi, konstelasi, dan sebagainya yang berhubungan dengan cakrawala. Perhatikan saja namanya."

Mereka saling tatap bingung.

"Korban ke-8, Puppis Alnilam. Bukan Zeta Puppis melainkan Puppis bagian buritan kapal dari konstelasi Argo Navis sebab rasi ini dipecah menjadi tiga bagian, salah satunya Puppis yang kumaksud. Alnilam sendiri satu dari tiga bintang yang mendiami sabuk Orion, terletak di antara Alnitak dan Mintaka. Bintang Alnilam asterisme paling populer di langit malam."

Hah? Mereka penuh tanda tanya. Anak itu sedang menjelaskan apa? Kemana larinya?

"Dari penjelasanku di atas, dapat disimpulkan korban ke-8 adalah sosok pelajar yang mengkaji ilmu astrologi. Orangtuanya menyukai bintang-bintang hingga memberi nama putri mereka gabungan nama konstelasi. Begitulah."

Ohh. Mereka mengangguk mengerti.

"Tapi, kenapa kamu bisa tahu, Watson?" Ini menarik sekali. Jadi selain menguasai dunia kriminal, Sherlock Pemurung itu juga memahami pelajaran tentang langit.

"Kamu masih bertanya, Jer?" Hellen menghela napas, menatapnya. "Dia kan seorang MC. Apa sih yang tidak dia tahu?"

"Stop doing breaking the 4th wall, Hellen."

"Penyebab kematian?"

"Ah!" Hellen berhenti mengoceh, kembali menatap layar laptop. "Tertulis di sini dia kehabisan napas karena tercekik."

"Jam kematian?" tanya Watson lagi.

"Pukul 16.42 sore. Dia ditemukan meninggal di kamarnya. Sesuai pernyataan saksi alias ibu korban, Alnilam sepertinya dibunuh ketika dia masih belajar. Korban tengah belajar keras untuk persiapan ujian akhir sekolah. Alnilam mengisi jurusan Astrofisika di lembar karir masa kuliah."

"Jika astrofisika, dia ingin jadi astronot?"

"Kemungkinan besar iya."

Ironis sekali. Dia mempunyai cita-cita tinggi dan bersusah payah untuk mengejar impiannya, namun si Santa Maut itu tanpa belas kasihan membunuhnya. Tangan Watson terkepal tanpa dia sadari.

"Jika itu pembunuhan, bagaimana cara pelaku menyusup ke kamar korban?" Semuanya menoleh masam ke Jeremy yang berkedip polos. "Apa? Kenapa kalian melihatku seperti itu? Ada yang salah?"

Watson menghela napas. Meski telah disahkan baru-baru ini, tetap saja Santa Maut mantan kasus dingin. Segala data sudah kelelep. Semoga saja satgas yang dibentuk mampu mendapatkan jawaban.

"Eh, apa ini? Aneh sekali."

"Kenapa?" Aiden mengintip layar.

"Tragedi Alnilam sempat dinyatakan kasus bunuh diri sebelum Inspektur Angra mengatakan bahwa dia dibunuh." Hellen tersenyum miring. Hoo, sepertinya Angra tak sesesat yang mereka kira. Mereka pikir inspektur satu itu tak punya jiwa polisi. Ada sih ada. Cuman mungkin cetek.

"Para penumpang sekalian, apa ada yang kebelet? Kita bisa berhenti di pom bensin."

Aiden bersedekap. "Dih, tidak mau jujur. Katakan saja Pak Dolok yang butuh wc."

-

Setelah dua hari berada di dalam mobil, akhirnya Klub Detektif Madoka tiba di tempat tujuan. Kita takkan membuang waktu membaca narasi tak berguna, maka dari itu kita langsung skip time.

Desa Stupido. Daripada dikatakan 'desa', pemandangan di depan mereka lebih layak disebut pemakaman. Tak ada nuansa hijau sedikit pun. Hanya kegelapan, kemuraman, keputusasaan. Orang-orangan sawah yang rusak dan gagak bertengger di kepalanya. Hujan salju turun dalam tempo lamban.

"A-apa benar ini tempatnya?" Dextra menelan ludah. Ayolah, ini cerita misteri bukan horor. Ada apa dengan settingnya?!

Aiden berdiri di sebelah Watson yang menatap datar permukiman. Dia melepas rambut pirangnya dan mengenakan winter beanie berwarna putih. "Gari mengirim pesan, Dan. Dia sudah menunggu di polda."

Sherlock Pemurung itu menurunkan syal yang menutupi mulutnya. "Baiklah."

Kabar baiknya sinyal di sana tidak terlalu buruk, jadi mereka bisa menggunakan internet lantas melengos pergi ke kantor polisi daerah terdekat. Tak membutuhkan banyak waktu. Cukup 8 menit dan sampai.

Gari berdiri di lobi, melambaikan tangan sembari tersenyum cerah melihat batang hidung klub detektif Madoka. "Di sini! Di sini!" Ada dua orang polisi bersamanya.

"Maaf kami datang telat, Gari. Sudah lama tak berjumpa, Petugas Marc, Petugas Polly. Bagaimana kabar kalian?" Seperti biasa, Aiden mewakili yang lain. Mediator.

"Kami baik, Nak Aiden. Aku turut bersedih atas apa yang menimpa Nak King."

"Tidak apa-apa, Petugas Polly."

Hee. Watson bergumam dalam hati. Jadi mereka berdua polisi yang sempat kerja sama dengan klub detektif? How interest.

Polly menoleh ke Watson yang berdiri di belakang barisan, refleks menutup mulut. "Oh my god... Is that, is that..."

Ah. Watson sudah berlaku tak sopan. Dia membungkuk ramah. "Halo. Saya—"

"WATSON DAN?!" pekik mereka histeris.

Eh, kenapa mereka? Rasa-rasanya Watson tak mengatakan hal sensitif. Tunggu dulu, apa barusan mereka memanggil namanya?

"Apa aku sedang bermimpi, Polly? Jika iya, cepat tampar dan bangunkan aku!"

"Itu harusnya pertanyaanku, Nabendu!"

Ting! Satu kata yang menekan tombol di kepala Watson. Dia menarik badan yang membungkuk. Nabendu, huh? Pantas saja Jeremy terlihat seolah pernah mendengar nama marga tersebut. Marc orangnya.

Reporter gila yang mengumumkan berita tentang korban ke-9 ke publik, Marconasa Nabendu. Mereka berdua jelas bersaudara atau berasal dari keluarga yang sama.

"G-Gari! Kenapa kamu tak bilang Watson Dan akan berkunjung?! Astaga, astaga! D-Dia benar-benar Watson Dan yang asli!"

Klub detektif Madoka bersitatap.

"Petugas Marc dan Petugas Polly sangat menggemari Kak Watson," ucap Gari selagi dua pemilik nama itu bersembunyi di balik punggungnya. "Mereka ngefans pada Kak Watson saat siaran kasus kepsek korupsi."

Oh, maksudnya kasus Hindegrass?

Gari sukarela menunjukkan ponselnya.

[Hemispatial Neglect. Sindrom pengabaian atau kerusakan pada lobus parietal kanan yang menyebabkan penderita kehilangan kemampuan merasakan rangsangan di sisi satunya. Hanya menyadari satu sisi saja.]

"Oalah, pas bagian ini toh." Mulai lagi si jahil Jeremy. Dia menggoda Watson, menyikut lengannya. "Ada fans tuh."

Wartawan brengsek. Watson mengalihkan pandangan, merasa muak dan malu. Dia lupa insiden itu disiarkan secara langsung.

Meski tampak tak memungkinkan, sebenarnya Sherlock Pemurung itu tidak takut dengan kamera. Tapi yang dia takutkan adalah reaksi orang. Contohnya Polly dan Marc. Watson tak butuh pengemar atau fans. Itu merepotkan.

"S-sama kenal, W-Watson Dan! S-saya Polly Kanchana! S-s-senang b-bertemu d-dengan sosok t-terhormat s-sepertimu!"

"N-nama saya Marcoene Nabendu! S-saya sangat m-mengidolakanmu! M-mohon kerjasamanya beberapa hari ini, Watson!"

"Tolong jangan begini. Saya jadi terbebani. Kalian lebih tua dari saya." Duh, Watson sangat tidak enak dengan mereka berdua.

"KAMI JAUH DI BAWAHMU, WATSON DAN! Pengalaman, pengetahuan, insting, semuanya! Kamu di atas rata-rata!"

Fuah, mereka fanatik. Hellen mundur, disusul Aiden dan Dextra. Jeremy pun ikut-ikutan. Tak ada yang mau menolong Watson. Dasar teman-teman laknat.

"PETUGAS! PETUGAS!"

Hore! Rasanya Watson ingin sujud syukur ketika satu penduduk desa datang ke kantor polisi sebelum dia makin gelagapan dengan tingkah Polly dan Marc. Mari kita lihat, siapa malaikat penolong itu.

"Ah, Matheus! Apa yang terjadi? Kenapa kamu lari tergopoh-gopoh begitu?"

"A-ada mayat... Ada mayat, Petugas!"

DEG! Semua orang tertegun.

"Lalu mayat itu diikat ke pohon natal dengan lagu merry christmas yang liriknya diubah jadi kalimat menyeramkan... Huek!" Orang itu tak bisa menahan muntahnya.

Watson mendesah, mendongak ke langit gelap. Korban ke-10 telah jatuh bahkan ketika mereka baru tiba di TKP.







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro