25

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Inspektur, kepala anda berdarah. Gih, sana. Mumpung ambulansnya belum pergi."

Ng? Watson berhenti mengobrol dengan paramedis—menjelaskan dia sudah melakukan trakeostomi darurat. Watson tak sadar kepala Angra mengucurkan darah. Pasti terbentur batu karena bergulingan menangkap tubuh Jazarev.

"Hanya luka kecil. Aku tidak punya waktu untuk itu. Bagaimana dengan orang-orang yang di rooftop? Sudah diamankan?"

"Iya... Aku meminjam ruang BK dan menyetrap mereka bertiga di sana."

Watson mengangguk pada paramedis di depannya, menyusul langkah mereka berdua. "Aku ikut dengan kalian. Stern, tetap di sini. Terus perhatikan sekeliling."

Hellen mengacungkan jempol. "Baiklah." Lagian ada banyak petugas polisi di sana. Si pelaku takkan berani menyerangnya.

Baru tiba di lorong, langkah Angra oleng.

"Tuh, kan! Sudah kubilang, obati dulu lukamu. Dasar kepala batu!" sungut Ingil membantu Angra menopang badannya.

"Anu..." Mereka menoleh ke Watson. "Aku membawa perban, kain kasa, betadine, dan disinfektan. Kalau tak keberatan biar aku mengobatimu, Inspektur. Nanti infeksi."

Angra mendengus. "Tidak usah—"

"Tentu saja boleh, Watson!" Kontras dengan jawaban Ingil. Bawahannya itu memaksanya untuk duduk. "Silakan, silakan. Tolong maklumin ya sama ketua tim kami ini. Dia anaknya keras kepala."

Watson mengeluarkan antiseptik cotton bud, mulai membersihkan luka di kening Angra. Sebenarnya dalam hati dia OGAH, namun entah kenapa dia merasa berutang budi pada Angra. Mungkin karena tadi.

Saat Watson sudah putus asa takkan berhasil menyelamatkan Jazarev, Angra muncul begitu saja dan menolongnya.

Merasakan kehati-hatian Watson dalam mengobati dahinya, mengingatkan Angra pada seseorang. Dia memejamkan mata, membiarkan memori lampau tervisualisasi.

Seorang gadis remaja berambut keriting. Sosok yang selalu mendatangi Angra tiap dia pulang ke apartemennya.

"Inspektur! Anda terluka lagi? Duh, dasar anda ini. Bisakah anda lebih hati-hati? Saya khawatir lho pada Inspektur."

"Tugas polisi itu menangkap penjahat. Jadi sudah wajar jika aku sering terluka."

"Ya jangan sampai sesering ini lah!"

Gadis itu cerewet. Suka mengomeli Angra. Bahkan tanpa izin menyelinap masuk hanya demi memasakkan Angra sarapan atau membersihkan flat-nya yang kotor seakan apartemen itu kondominium.

Meski begitu, Angra senang mengenalnya. Di saat dia tinggal sendiri, gadis itu menemani hari-harinya agar tidak bosan. Di saat Angra mengeluh dengan pekerjaan, gadis itu senantiasa menghiburnya.

Hingga ledakan itu merenggut nyawanya.

"Inspektur! Tolong aku...!"

"TIDAK! WENDY!"

Duar! Angra terlambat menolongnya. Api lebih dulu memakan tubuh gadis tersebut. Kalau saja rekan-rekannya tak menahan dirinya... Kalau saja mereka membiarkan Angra masuk ke dalam sana...! Brengsek!

Demikian memori kelam itu berputar di benaknya. Sebagai refleks, Angra menepis tangan Watson. "Ini sudah cukup."

Apa sih? Watson berdecak sebal, mengusap-usap tangannya yang agak sakit ditepis kasar olehnya. "Serahlah."

Angra diam, hanyut dalam pikiran.

-

"Kami bersumpah, kami tak melakukan apa pun pada Zarev sialan itu! Kalian salah paham, Pak Polisi! Si gila itu yang stres—"

Brak! Angra memukul meja, menyentakkan mereka, seketika mingkem. Dia menatap tajam ketiganya. "Anak itu hampir saja tewas, dan kalian malah terlihat tak mau tahu. Apa kalian mau aku melaporkan masalah ini ke orangtua kalian, huh?"

Tiga siswa itu menunduk gemetar.

"Jawab saja pertanyaan kami," kata Watson bersedekap. "Jika kalian mengaku tidak ngapain-ngapain, lantas apa yang kalian lakukan di tempat Zarev jatuh?"

"Huh! Buat apa aku mematuhi orang yang seumur? Tidak, mungkin aku yang lebih tua. Tak usah sombong. Mentang-mentang kamu detektif terkenal, kamu tak punya kuasa apa pun di desa ini, Watson Dan!"

"Siapa bilang?" Sherlock Pemurung itu menyeringai memamerkan tanda pengenal Yolan. Sekali lagi, mereka bertiga meneguk saliva pahit. "Kurasa, kita bisa bicara serius sekarang. Bukan begitu, Inspektur?"

Ingil mengangguk. "Jawablah sejujurnya. Apa yang kalian lakukan di rooftop?"

"Ahhh! Kami sungguh tidak tahu apa-apa! Tadinya kami hanya ingin mengganggu Zarev karena si sialan itu balas dendam pada kami. Dia meretas akun medsos kami dan mengumbar aib kami ke grup sekolah! Tentu saja kami marah. Makanya hari ini kami ingin kasih dia perhitungan, tapi sejak jam istirahat, Zarev tampak teler dan linglung. Lalu saat kami ke rooftop, dia sudah berdiri dengan lampu natal dan melompat jatuh. Kami tidak berbohong!"

Watson perlahan menarik diri, membiarkan Ingil mengambil alih percakapan. Angra melirik gerak-gerik Sherlock Pemurung itu.

Deg, deg, deg.

Abu-abu, hitam, merah, dan biru.

Kacau sudah. Firasat buruk hampir tak salah. Dugaan baru muncul di otaknya, dan sepertinya sudah mengerti pola pelaku. Inikah alasan Dextra menghilang? Kalau begitu, korban terakhirnya?! Sialan!

Sebelum Watson melesat pergi dari BK, Angra mencengkeram lengannya. "Kenapa? Kamu barusan mendapatkan sesuatu kan."

"Kita harus pergi dari sini."

Watson dan Angra berlarian keluar dari bangunan sekolah. Aiden, Hellen, dan Jeremy sudah menunggu di halaman.

"Bagaimana dengan cctv?" tanyanya melangkah cepat menuju mobil.

"Kamu sudah mengecek semua cctv yang terpasang, Dan, tapi nihil. Tampaknya pelaku berhasil menghindari titik buta."

Santa Maut brengsek itu meminumkan narkoba pada Jazarev dalam dosis berlebihan membuat korban berhalusinasi dan melompat dengan keinginan sendiri. Tak ada alasan mereka bertiga berbohong.

"Kita mau ke mana, Watson?" 

"Akademi Gijaumi."

DEG! Marc dan Polly terkesiap, termasuk teman-temannya, bingung. Kok mendadak ke sana?  Bukankah harusnya ke rumah sakit menyusul Jazarev, menunggu dia siuman dan meminta kesaksiannya?

"Kelihatannya itu penting sekali. Kalian pergilah. Aku akan tinggal di sini. Siapa tahu pelakunya masih berkeliaran," kata Polly setengah pucat seperti Marc.

"Tidak, kamu juga ikut, Petugas Polly. Ayo masuk semuanya!" Tangan Watson menempelkan webcam mini yang dia ambil di komputer Dextra tadi, ke spion tengah.

Angra memutar setir dengan cekatan. Mobil patroli pun meluncur ke jalan tol.

-

Tidak ada yang membuka mulut selama perjalanan. Mereka sama-sama bersitegang. Diam beberapa menit sampai Polly tiba-tiba membuka jendela, menjatuhkan sesuatu.

"Eh, apa yang anda buang, Petugas?"

"T-tidak, bukan apa-apa. Jendelanya sedikit terbuka. Udaranya dingin." Dia cengengesan.

Watson hanya diam di bangkunya.

Mereka sampai 20 menit kemudian. Luar biasa Angra bisa mengemudi sekencang itu. Mungkin karena Watson terlihat tegang seolah akan terjadi bencana.

Watson segera mencabut kamera di spion, melompat turun dari mobil, dan bergegas berlari menuju gedung akademi. Aiden, Hellen, dan Jeremy melakukan hal sama.

"Tunggu, Watson! Kalian, hei, tunggu dulu!" Angra tergesa-gesa melepaskan seat belt.

Satpam keluar dari posnya, menghalang langkah Watson dkk. "Eits, eits, mau ke mana hmm? Apa kalian tidak lihat palangnya? Ini sekolah khusus perempuan. Bagi yang bukan anak cewek, dilarang masuk kecuali kalian punya surat izin."

Watson menatap jam tangan. Jemarinya terkepal. "Sudah tak ada waktu. Bari!"

"Ayey, captain!" Paham apa maksudnya, Jeremy langsung menahan penjaga itu. "Kalian pergilah. Biar aku urus dia!"

"Penyusup! Ada penyusup! Kalian tidak boleh masuk!" Jeremy membuang peluit di mulutnya. "Dasar anak nakal! Itu peluit kesukaanku! Lepaskan aku, bocah sialan!"

"Ya, ya, ya. Orangtuaku kaya raya. Aku bisa membelikan bapak seribu peluit."

Sementara itu, Watson menoleh ke Hellen. Dia meminta blueprint Gijaumi. Ternyata labor komputer berada di lantai empat.

"Kita harus cepat!" Watson berseru.

Selang lima menit, akhirnya mereka sampai di labor komputer. Aiden dan Hellen menahan napas demi melihat pohon cemara untuk natal dan kotak perlengkapan ornamen santa di sisinya, tergeletak di lantai. Tepat di depan pintu.

"D-Dan, itu kan..." Aiden menelan ludah.

Watson menggerutu kesal. "Damn! Pintunya terkunci!" Karena panik, dia jadi tak bisa berpikir jernih. Seharusnya dia tidak menyuruh Jeremy tinggal di luar.

"Minggirlah, Dan."

"Hmm?" Watson menurut patuh.

Butuh dua kali tendangan pintu tersebut jebol oleh Aiden. Hanya ada satu murid di dalamnya. Mereka bergegas masuk.

"Bukankah sudah kubilang tinggalkan saja di atas meja? Kenapa kamu kembali... Lho, siapa lagi kalian?" Siswa itu mengernyit.

Hellen tanpa permisi memegang nametag-nya, menoleh ke Watson. "Benar! Dia adalah Bellen Berberi yang kita cari!"

"Apa yang kamu lakukan?! Berani sekali kamu menyentuhku tanpa izin!"

"Apa ada orang yang masuk kemari tadi?"

"Untuk apa aku menjawabmu?"

"INI SANGAT PENTING!" sorak Aiden dan Hellen membuat Bellen tersentak kaget.

"A-ada. Dia meletakkan sesuatu di meja sekitar lima belas menit lalu. Aku seorang peretas yang direkrut kepsek untuk mengatasi keamanan komputer sekolah. Dan orang itu adalah anggota Dewan Siswa yang membawa berkas baru."

Watson menoleh liar ke meja depan, menurunkan ranselnya. "Aiden, Stern, seret Bellen dan sembunyi di lemari!" serunya mengeluarkan katapel yang lumayan besar.

"Baik! Kami mengerti!"

Sherlock Pemurung itu membuka laci meja, melotot. Ada bom yang sedang hitung mundur. Tersisa 8 detik lagi. Oh, tidak...

Watson berlari ke arah jendela.

5 detik sebelum peledakan.

Watson membuka salah satu jendela.

2 detik sebelum peledakan.

Dia meletakkan bom tersebut ke katapel, mulai membidik ke luar. Ini lantai empat. Semoga tidak jadi masalah.

1 detik sebelum peledakan.

Dengan segenap tenaga, Watson menarik katapel itu. Wush! Bom tersebut melenting jauh menembus rinai salju tepat saat timernya berhenti di angka 0 detik.

DUAR! Dentuman keras terjadi di langit-langit halaman akademi Gijaumi. Angra secepat kilat menarik tangan Jeremy dan si satpam (mereka adu mulut) lalu bersembunyi di balik gerbang. Aiden dan Hellen tak sempat menyuruk. Mereka terdorong oleh daya ledakan, berteriak.

Bagaimana dengan Watson yang paling dekat di jendela? Jangan tanya lagi. Tentu saja dia terpelanting dari labor.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro