19

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hellen tahu akan begini jadinya. Itulah mengapa dia melarang Watson ikut campur. Watson mungkin tidak sadar, di tim itu dia musuh besar bagi para penjahat.

Mereka bertiga sampai di sekolah Ayahnya Hellen, Mistri Senior High School. Karena sekolah itu sudah terbengkalai dan tua, mana mereka datang malam, suasananya menjadi super horor.

"Ayo kita masuk! Watson pasti berada di dalam gedung!" kata Hellen berinisiatif memimpin. Itu sekolah ayahnya, jelas dia tahu seliweran bangunan di hadapan mereka.

"Tu-tunggu, Hellen!" Aiden menggeleng. "Bukankah seharusnya kita telepon polisi? Kita minta bantuan Inspektur Deon."

"Tumben kamu ragu-ragu begitu? Kalau bersangkutan dengan Watson, kamu yang paling cemas. Menerobos tak sabaran." Jeremy mengernyit bingung. Aiden tidak seperti biasa. "Kita harus menyelesaikan kasus Rokko malam ini juga, Aiden."

Aiden tahu itu! Jeremy tidak perlu mengingatkannya. Tetapi entah kenapa, Aiden merasa ini disengaja. Watson ngapain coba di sekolah ayah Hellen. Ada yang aneh.

"Tunggu apa lagi, Den?" Hellen gemas melihat Aiden malah bergeming di tempatnya. "Kita harus cepat menolong Watson. Kamu mau Pangeranmu diapa-apain? Bagaimana kalau pelaku mau mengebirinya?"

Sialan si Hellen, demikian ekspresi Jeremy. Lihatlah, Gadis Penata Rambut itu langsung berdiri tegak, berjalan duluan.

"Kenapa kalian melamun? Ayo masuk!"

Jeremy menceletuk ngeri. "Mengebiri? Lawakan yang lucu, Hellen."

"Kenapa? Kita butuh lelucon garing untuk mencairkan suasana tegang."

Jeremy mencicit. Suasana horor lingkungan Mistri tidak membuatnya merinding lagi dibanding perkataan Hellen.

-

"Ukh ..."

Watson meringis, perlahan beranjak bangun. Tubuhnya serasa remuk luar-dalam. Apes banget dia. Padahal luka pasca ledakan tadi belum sembuh, bertambah lagi luka baru. Begini amat nasib jadi detektif.

Dibuatnya mendongak. Ah, sial. Watson jauh terpuruk ke bawah tanah. Bisa dilihat cuaca yang tadinya sore berganti malam. Tampaknya Watson pingsan cukup lama.

Tetapi tidak apa. Watson tersenyum misterius. Walau dia terluka, rencananya bekerja. Pelaku memakan umpan.

Rencananya simpel. Watson menelepon Tuan Stern, memberitahu dirinya dan Chyntia sudah mengetahui siapa dalang penculikan dan pembunuhan para Romeo. Si pelaku pasti mendengarkannya, lantas dia datang ke Mistri lebih cepat dari Klub Detektif Madoka agar bisa memasang jebakan, lantas memakan umpan Watson dengan membom gedung. Kemudian—

"Hng ..." Terdengar suara lenguhan, memotong deduksi di istana pikiran Watson.

Watson menoleh ke sekitar, tersentak mendapati seluruh tubuh Chyntia tertimpa puing-puing. Yang tampak hanya tangannya nan memakai jam tangan. "Nyonya Stern...!"

Entahlah di mana 'teman-teman' Chyntia. Mereka jatuh berpencar dan kemungkinan yang lain meluncur di tempat berbeda.

Tiga kali mencoba mengangkat bebatuan, hasilnya nihil. Watson mengeluh betapa lemahnya fisiknya. Baru segitu napasnya sudah terengah. Kapasitas paru-paru Watson sangat lah buruk.

"Baiklah, sekali lagi." Watson menarik napas dalam-dalam. Setelah hitungan ketiga, dia pun mengeluarkan segenap tenaga untuk mengangkat runtuhan tembok.

Berhasil! Watson berhasil mengangkatnya! Malahan rasanya tembok itu mendadak ringan—mungkin kasihan pada Watson.

Dia menatap kedua tangannya. "Apa ini? Ternyata aku diam-diam punya kekuatan super."

"Ekhem."

Kali ini terdengar dehaman. Watson menoleh. Rupanya yang membantunya mengangkat tembok itu adalah 'teman-temannya' Chyntia. Mereka mungkin datang setelah mendengar seruan Watson barusan.

Watson membuang muka. Ah sial, malunya.

"Hei, dia tidak bernapas!" kata mereka setelah mencoba memompa dada Cynthia namun beliau tak merespon. Mereka beralih menatap Watson. "Nak! Lakukan sesuatu."

Watson mengangguk. Mereka memberi ruang supaya dia bisa leluasa memeriksa di bagian mana Cynthia terluka.

"Apa ini hipoksia? Tidak, tidak." Watson menggeleng, menyentuh bagian kanan dada dan menekannya kuat, merasakan lewat sentuhan jari, lalu berdiri. Ekspresinya semakin kusut. Bercak darah di keningnya mengering.

"Bagaimana?"

"Aku rasa LV-nya pecah karena hantaman tembok. Ini tamponade jantung. Gumpalan darah tergenang di ventrikel kiri. Kita harus melakukan operasi, mencari bagian yang robek dan menjahitnya. Terlebih aku memerlukan alat EKG (ekokardiografi) untuk memeriksa bagian satunya. Jika kedua ventrikel bocor di luar pengetahuan, Nyonya Cynthia bisa meninggal karena pendarahan internal."

"Kalau begitu cepat operasi dia!"

"Tunggu, apa?" Watson refleks menggeleng. "Tidak, bukan aku. Terlebih tidak ada yang bisa kupakai di sini. Aku butuh pisau bedah, kain kasa, bovie, blunt, tabung drainase, retractor richardson, dan banyak lagi alat lainnya. Apa lagi kita juga butuh tempat steril. Kita tak bisa sembarangan melakukan pembedahan. Nanti Nyonya Cynthia mengalami syok septik. Kita harus membawa beliau ke rumah sakit."

"Apa kamu bisa melakukannya?"

"Yah... Kurasa bisa. Aku sering menonton bedah-bedahan sewaktu kecil."

"Kalau begitu kami akan mencari dan menyediakan apa yang kamu butuhkan, tapi tolong selamatkanlah Nona Cynthia."

Watson meneguk air ludah kasar, gagap menjawab. "B-baiklah, akan kuusahakan."

Waduh, Hellen bakal berhutang banyak nih.

-

"Hellen, sebenarnya kamu tahu, kan?" Jeremy tak tahan lagi untuk tidak buka mulut. Dia sudah mengerti situasi mereka saat ini.

"Apa maksudmu?" sahut Hellen datar.

"Soal Romero Ronald, kamu tahu siapa yang membunuhnya. Tapi kamu menutup mulut. Apa kamu takut kecewa oleh orang yang kamu percaya?"

"Aku tidak mengerti perkataanmu, Jer. Mana aku tahu Om Saul mati karena apa. Kita harus bergegas menemukan Watson." Hellen menjawab lain.

"Ayolah, kita sudah berteman 12 tahun. Aku dan kamu sudah kenal luar-dalam. Kamu pikir aku tidak tahu kamu menyembunyikan sesuatu, huh? Kamu dalam tahap penyangkalan, tidak percaya, menentang semua opini."

"Aku bilang aku tidak paham!"

"Apa yang kamu takutkan?" Jeremy mengatupkan rahang, jenuh menanggapi tingkah Hellen. "Meskipun dia keluarga, jika dia melakukan kejahatan, kamu harus memberi keadilan pada pihak korban. Kalau tidak itu artinya kalian sama saja. Seorang penjahat."

"Kamu tidak mengerti perasaanku, Jer."

"Benar, aku tidak mengerti. Makanya..." Jeremy menoleh, mengerjap bingung. Tidak ada Aiden di belakangnya. "Lho, ke mana Aiden? Tadi perasaan dia mengikuti langkahku."

Baru lah mereka berdua menyadari Aiden sudah tidak ada di mana-mana. Hanya ada mereka berdua sejauh mata memandang.

"Apa dia ketinggalan? Tersesat? Atau jangan-jangan dia disekap! Pelaku sudah menyiapkan perangkap untuk kita!" Jeremy memegang kepala, panik. "Bagaimana ini?! Bagaimana sekarang?! Kita harus apa?!!!"

Hellen mengepalkan tangan. "Tidak ada pilihan. Kita harus tetap maju... Jeremy?"

Seperkian detik, Jeremy sudah lenyap.

Tak dapat dipungkiri bahwa Hellen takut dan cemas. Bahkan tak cukup beberapa detik, Jeremy sudah tidak ada di sampingnya. Apa dia terpeleset? Sialan!

Sayup-sayup terdengar suara speaker melantun di kanopi lorong tua.

"Apa kamu takut kehilangan teman lagi, El? Seperti Rokko dahulu hari? Huhuhu, gadis malang menyedihkan."

Rahang Hellen mengeras. "Lepaskan mereka. Watson, Aiden, dan Jeremy tidak ada hubungannya dengan masalah kita."

"Ehhh, tidak seru dong. Main lepas tanpa permainan. Kamu harus menonton pertunjukan drama yang kusiapkan dulu. Setelahnya baru kita mulai eksekusi!"

Air mata Hellen mengalir. "Kumohon... Hentikan kegilaanmu ini... Tante Zenle..."


Note: Lagi males buat kamus. Maap ye. Kalian cari 'aja sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro