25

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Mereka banyak sekali." Watson mendengus masam menyaksikan halaman sekolah banjir oleh reporter. Berdesakan hendak meliput berita. "Pak Dolok, silakan memutari sekolah. Kami akan lewat taman belakang saja. Di sini densitasnya mencapai maksimum."

"Dimengerti." Dolok mengangguk. Memutar laju kendaraan ke arah yang diminta oleh Watson.

Sedari tiba di Madoka, Watson sudah tak sabar ingin ke klub. Dia harus melihat rekamannya untuk mencari tahu, apakah Erika itu adalah si Penguntit Monokrom atau bukan.

Ketika mobil sudah berhenti, Watson bergegas membuka pintu mobil, menoleh pada tiga temannya yang masih nyenyak tidur—dia sendiri yang terjaga selain pak Dolok, karena semalaman begadang membaca novel. "Pak Dolok, jangan lupa bangunkan mereka," ucapnya sebelum keluar dari badan mobil.

Gemerisik pohon marple yang ditiup angin sepoi-sepoi menghujani Watson seolah hendak mengatakan, 'Selamat datang kembali'.

Watson terus berjalan gontai menyusuri lorong. Tidak ada yang memperhatikan karena masih jam pelajaran. Begitu sampai di kelokan menuju ruang klub, langkah Watson terhenti saat netranya menangkap seorang remaja lelaki berjalan mondar-mandir di depan pintu sembari membawa lembar print putih, mengoceh sendiri seperti tengah menghafal sesuatu.

"Siapa dia?" Watson belum pernah melihat laki-laki itu—mungkin kakak kelas. Perlahan Watson mendekatinya. "Anu, mencari siapa?"

"ASTAGA!" Dia terpekik kaget. Dan saat menyadari kalau yang berdiri di depannya hanyalah manusia biasa, lelaki itu mulai menghitung sembari mengurut dada, menetralkan degup dan laju napas yang tadinya di luar kata biasa. "1, 2, 3, 4 ...."

"Maaf mengejutkanmu." Watson memungut kertas putih yang dia jatuhkan, tak sengaja membaca isinya. Dahinya terlipat. Itu sebuah formulir pendaftaran.

"Tidak apa, bukan masalah. Aku lah yang pengejut," katanya, lalu cengengesan.

"Kamu ingin join klub detektif?" terka Watson, akurat. Seseorang yang memegang formulir registrasi ekstrakurikuler, apalagi kalau bukan punya minat untuk gabung.

"Iya!" jawabnya lantang, lalu menjabat tangan Watson, tersenyum. "Namaku King Krakal. Aku yakin kamu pasti pernah mendengarnya."

"Tidak. Aku tidak pernah dengar."

"Kalau begitu, lihatlah ini!" King menunjukkan album sekolah yang membuat Watson cegukan seketika, dan itu membuatnya lagi-lagi tersenyum. "Apa kamu tahu sekarang?"

"Kamu putra kepala sekolah ...." Sialan, Watson sudah bersikap kasar. Semoga saja dia bukan tipe pendendam.

"Begitulah." King menyembunyikan album tersebut. Senyumannya masih terpatri di wajah.

"Apa maumu?" Kali ini Watson berkata dengan hati-hati. Ayolah, dia tengah berurusan sama anak kepsek, lho. Bisa bahaya barang satu kata keluar tanpa mengecap lebih dulu.

King mengangkat bahu. "Ayahku terpukau pada kegiatan dan popularitas klub kalian, lalu menyuruhku untuk bergabung ke dalamnya. Katanya, beliau ingin aku menambah wawasanku karena aku ini bodoh." Bisa-bisanya dia mengucapkan kata bodoh dengan senyuman manis.

"Tidak bisa!" Orang lain yang menjawab. Mereka berdua sontak menoleh. Itu Aiden, yang tahu-tahu datang berjalan mendekat. "Klub detektif belum membuka pendaftaran. Sekarang saja kami disibukkan dengan kasus, otomatis tidak punya waktu untuk menerima anggota baru."

"Aiden, jangan ...." Watson menggeleng, meringis pelan melihat aura penolakan mentah dari Aiden. Sayangnya, gadis itu tidak menangkap sinyal yang Watson beri.

King memasukkan dua tangannya ke saku, lengkungan di bibir itu kembali terbentuk pada wajahnya. "Sebenarnya aku tidak tertarik dengan permainan yang kalian lakukan. Mendengarnya saja sudah terdengar merepotkan. Tetapi, aku harus bagaimana? Ayahku yang menyuruhku."

"Apa hubungannya ayahmu dengan klub detektif Madoka, heh?" Aiden bersedekap.

Hellen akhirnya tiba, buru-buru menyikut pinggang Aiden. "Apa yang kau lakukan?" bisiknya gemas. "Dia itu anak kepsek!"

"APA?!" Nyali Aiden ciut seketika. "Ke-kenapa anak Pak Kepsek ada di sini...?"

King tersenyum lebar, menepuk tangan untuk kembali mengambil atensi mereka. "Malangnya kita sama-sama tidak di dalam posisi memilih. Kalau aku tidak bergabung, Ayahku akan mencoret namaku dari kartu keluarga. Kalau kalian tidak mengizinkanku bergabung, kegiatan klub akan diberhentikan."

"Tunggu, tunggu! Ini terlalu mendadak—"

"Aku tahu permintaanku mendadak dan tidak sopan," celetuk seseorang dengan suara berat. Panjang umur! Itu Kepala Sekolah! Mereka semua mingkem, kecuali King yang langsung bersedekap sambil cemberut. "Daripada putraku bermalas-malasan dan jadi tidak berguna, lebih baik dia membantu pekerjaan kalian."

D-dia menyebut anaknya sendiri "tak berguna"?! Aiden, Hellen, dan Jeremy membatin. Watson mengusap wajah. Dia menyesal karena tadi tergesa-gesa ke klub.

"Ayah, harus berapa kali kubilang? Aku tidak cocok bekerja keras. Aku hanya terlahir untuk bermain game." King menggerutu.

Rasa sebal anaknya itu didengar bagai angin lalu. Beliau malah menghiraukan keluhannya, menyuruh King membungkuk pada mereka berempat. "Kalau begitu, tolong ajari dia baik-baik. Buat dia berguna di masa depan."

Lantas beliau pun berlalu, melenggang pergi meninggalkan 5 remaja di sana yang kemudian saling berpandangan satu sama lain.

King merapikan rambutnya yang awut-awutan, kembali menampilkan senyum pada mereka di hadapan. "Begitulah situasinya."

-

"Sekarang bagaimana? Penguntit Monokrom saja belum selesai, kini muncul masalah baru. Apa yang harus kita lakukan, Dan?"

Watson menatap King yang memainkan ponselnya di luar ruang klub, lalu mendesah kecil. "Tidak ada pilihan. Kita tidak bisa menolak permintaan langsung Kepala Sekolah, yang ada kita kena damprat. Aku tidak mau membuat Paman repot mencarikan sekolah baru. Biayanya besar."

"Ini tiba-tiba sekali. Bagaimana cara dia menyeimbangi penyelidikan? Dia bahkan tidak tahu apa-apa kita sedang menginvestigasi apa."

"Kamu mengatakan apa tiga kali, Aiden." Watson menatap Jeremy. "Bari, itu tugasmu." Dia melempar tanggung jawab semudah melempar kacang polong.

"Tunggu, apa? Tugasku? Hei! Hei! Kenapa melimpahkan tugas sulit kepadaku, sih. Sana, suruh Hellen saja. Dia 'kan senggang."

"Enak mulutmu ngomong. Sebentar lagi Watson akan menyuruhku mengecek rekaman-rekaman cctv, dan itu tugasku." Hellen melotot. Tak mau kalah.

"Tapi ya, kenapa Kepala Sekolah memutuskan memasukkan anaknya ke klub detektif? Dan kenapa harus sekarang? Kenapa tidak besok-besok saja? Cih, menyebalkan!" sungut Aiden.

Watson memutar bola mata. "Ya sudah. Kalau kalian tidak mau, biar aku saja."

"Tunggu, Dan!" Percuma, Watson sudah keluar dari klub. "Tuh, 'kan. Dan jadi ngambek." Aiden menatap Hellen dan Jeremy yang sama-sama memalingkan muka, pura-pura bersiul.

King berhenti memainkan game saat melihat Watson. Wajah ramah tamah itu bagai di lem lekat dengan senyuman saat berhadapan dengan orang lain—kecuali dengan Kepala Sekolah. "Bagaimana? Apa kalian sudah selesai berdiskusi? Yah, aku sudah tahu jawabannya, sih." King seakan tidak keberatan bagaimana kalau dia betul tak diterima.

Watson tidak peduli. Dia tanpa jeda meringkas penyelidikan Penguntit Monokrom.

"Kami sedang menyelidiki seorang penguntit yang membuntuti teman kami sejak kecil. Penguntit ini selalu memakai mantel hujan berwarna kuning. Selalu muncul di hari Selasa, Jumat, dan Minggu. Anehnya, dia yang biasanya hanya datang pada satu teman kami, kemarin siang ternyata teman kami—yang berbeda orang—juga melihatnya. Bahkan rekaman CCTV-nya terhapus. Apa kamu punya kesimpulan?"

King terdiam mencerna kalimat Watson. Dilanjut oleh cengengesan di detik berikutnya. "Penguntit bermantel kuning ...? Hahaha ... Jadi maksudmu, anggotamu dibuntuti?"

"Tolong serius."

Padahal Watson menggunakan volume suara yang biasa, tidak berbicara dengan lantang. Tapi King terlihat sedikit terlonjak karenanya. "Mungkin saja orangnya ada dua!"

Watson mengernyit. "Dua orang?" beo-nya.

"Habisnya, bukankah aneh? Kamu sendiri bilang rekaman CCTV terhapus. Bagaimana mungkin si Penguntit itu tahu persis sosoknya terlihat, tanpa diawasi oleh pihak lain juga. Dia seorang penguntit, 'kan? Seharusnya dia menjaga jarak. Tidak mungkin dia langsung tahu anggota kalian melihatnya. Jarak pandang terlampau jauh."

Benar juga. Watson tidak memikirkan itu. Secara, "monokrom" 'kan cuma julukan yang diberikan Hellen, sebab si Penguntit hanya memakai warna tunggal. Belum berarti pelaku berjumlah wahid.

Mungkinkah Erika bekerja sama dengan Grim? Ah, tidak mungkin. Grim tidak punya motif membantu Hellen. Atau dia bersekongkol dengan orang lain? Atau jangan-jangan, memang bukan Erika si Penguntit Monokrom?

Watson menatap-amati King yang bersungut-sungut memainkan anak rambut. Kurasa anak ini akan berguna.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro