27

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Penguntit Monokrom muncul ketika kematian Rokko Romeron. Semenjak hari itu, dia selalu mengikuti Hellen pada hari-hari definit." Aiden menjelaskan seraya mencoret-coret papan.

King menunjuk tangan ke atas.

"Ini bukan kuis. Kalau kamu punya pertanyaan, langsung tanya saja."

King kembali menurunkan tangannya, terkekeh kecil sembari menatap Hellen. "Katamu, si Penguntit itu datang setelah kematian temanmu, 'kan. Tapi, tepatnya kapan? Saat proses pemakaman, atau ...? Mungkin saja kalian bisa dapat petunjuk."

"Ah, usai pemakaman. Aku bertahan di sana empat jam, lantas penguntit itu muncul di antara pepohonan."

"Iyahhh, waktu itu aku sedikit merinding, lho. Kenapa kamu termenung di pemakaman menatap batu nisan sambil berdiri. Mana hari hujan, lagi. Untung kamu menurut padaku (itu pun dipaksa)." Jeremy mengusap hidung dengan jempol, alisnya naik-turun.

Hellen mendelik kesal. "Kamu juga, ngapain di pemakaman, heh? Sendiri-sendiri pula."

"Kamu tak perlu tahu kehidupan pribadiku."

"Siapa pula yang ingin tahu. Ck."

"Hei, hei, kenapa kalian berdua jadi bertengkar?" King tepuk tangan, merangkul bahu dua sejoli di samping kiri dan kanannya. "Gelutnya nanti-nanti saja. Sekarang kita tangkap dulu si Penguntit itu sebelum dia melakukan hal berbahaya."

"Apa dia selalu basah, Stern?" Watson tiba-tiba menceletuk datar setelah diam sejak dua jam lalu.

"Siapa yang basah?"

"Penguntit Monokrom." Matanya teralih menatap Hellen. "Apa setiap dia muncul di depanmu, dia selalu dalam keadaan basah?" ulang Watson lebih jelas.

"Itu benar. Bagaimana kamu tahu?"

Pertama, Erika menyiapkan surat pindah sebagai bentuk jaminan jika dia gagal mengungkap kebenaran kasus Mupsi. Kedua, mengejek nilai sejarah Watson yang sudah Watson sembunyikan, namun berhasil dia temukan. Ketiga, Erika terlalu keras pada Aiden, Hellen, dan Jeremy soal kemampuan berdeduksi—dia menginginkan mereka berkembang.

"OCPD. Erika mengidap sindrom perfeksionis. Tidak salah lagi, dia-lah pelakunya. Penguntit Monokrom adalah Erika."

[Note: OCPD (Obsessive compulsive personality disorder) = Gangguan kepribadian yang menyebabkan seseorang memiliki pola pikir perfeksionisme berlebihan dan memiliki keinginan untuk mengendalikan semua aspek hidupnya.]

"Tunggu! Tunggu! Kenapa tiba-tiba Erika, heh?"

"Penjelasannya panjang." Watson memberikan sebuah flashdisk pada Aiden. "Kalian bertiga tonton itu. Dan kamu, King, ikut aku."

"E-eh? Kenapa harus aku?"

"Karena kamu anak baru. Instingmu harus diasah sebelum kita mendapat kasus pembunuhan. Aku tidak menerima keluhan."

"T-tunggu!" King tidak ada pilihan lain selain mengekori langkah Watson.

-

Di sinilah mereka berada, kamar mandi perempuan lantai dua. King sempat berpikir kalau Watson salah alamat, tapi ternyata dia benar-benar dibawa masuk ke dalam toilet.

"Kita mau apa di sini, heh? Tempatnya angker begini, hiy! Ayolah Pak Ketua, kita kembali ke klub saja, yuk? Kita lanjut diskusi-nya di sana dengan yang lain." Seperti anak kecil, King melangkah takut-takut. Dia tak mau berpisah jauh dari Watson yang datar memperhatikan sekitar. Kepribadian mereka bagai langit dan bumi.

"Bisakah kamu diam sebentar? Aku tidak bisa berpikir kalau kamu berisik."

"Kamu masih bisa berpikir di tempat horor begini?" King merinding. Watson lebih menakutkan dibanding toilet angker.

"Pertanyaanmu memberiku ide. Benar juga, kenapa aku tidak memikirkannya. Harusnya aku menanyakan sudut pandang Stern ketika bertemu Penguntit Monokrom."

"A-apa maksudnya?"

"Kamu mendengar perkataanku, 'kan? Si Penguntit itu adalah teman Stern. Aku sudah memiliki semua bukti. Dia tak bisa menyangkalnya lagi."

"La-lalu kita ke sini buat apa?"

"Mencari bukti terakhir." Watson membuka pintu bilik kamar mandi yang terakhir, dimana pintu itu menghasilkan suara decit menyeramkan. "Ambilkan aku penyedot."

King menoleh. Benda itu tersandar di kotak penyimpanan. "Hiy! Jauh! Serem, ah."

Anak ini umur saja gede, tapi tingkahnya .... Watson batal marah. Mungkinkah gejala tunagrahita level satu? Tidak, tidak. Watson tidak boleh memanjakannya. "Ambil atau kukurung kamu di sini. Di dalam toilet angker ini."

"Kamu tahu siapa aku?"

"Cepat ambil!"

"Aku paham! Aku paham!" King dengan kekuatan The Flash langsung berlari menyambar penyedot, lalu sedetik kemudian tiba di sebelah Watson. Setakut itulah dia. "Nih! Sudah kudapatkan!"

Watson meletakkannya ke dalam lubang saluran pembuangan. "Sekarang bantu aku menariknya. Sepertinya ada yang tersumbat di dalam kloset."

"Ka-kamu tidak jijik, 'gitu? Yang di depanmu itu tempat pembuangan pipis dan eek, tahu." Ekspresi King mengernyit enek.

"Ya, ya, ya, lebih baik kamu cepat membantuku sebelum kucelupkan kepalamu ke dalamnya. Penampilanmu akan brilian. Mau?" Watson berkata datar.

"Baiklah! Baiklah!"

Watson teringat ocehan siswi tadi. Ada alasan tertentu mengapa bilik toilet satu ini bocor. Pasti seseorang telah membuang sampah ke dalam lubangnya.

Klontang! Sesuatu jatuh berdentang, berhasil ditarik oleh kop penyedot. King tergelincir berkat air yang merembes keluar, terduduk di lantai sambil menatap sepatu. "Kyaa! Sepatu baruku basah!"

Watson syok mendengar itu. "Kamu barusan bilang 'kyaa'? Astaga, dasar anak manja. Rasanya aku mulai paham mengapa Ayahmu memasukkanmu ke klub detektif."

King berdiri dengan sungutan di wajah, menatap botol yang dipegang Watson. "Apa itu yang kamu cari?"

"Yeah. Kurasa ini obat penenang .... Dasar. Buru-buru mencemaskan Stern padahal sendirinya juga mengalami gangguan mental. Kita kembali ke klub."

"Tunggu!" King berseru.

"Kenapa? Kita tidak punya banyak waktu." Watson menatap langit yang gelap.

"Bukankah itu Clozapine? Obat antipsikotik yang mengatasi gangguan halusinasi."

Watson menatap botol tersebut. Labelnya sudah hilang.

"Sesuai katamu, sahabat Hellen Stern mengidap perfeksionis berlebihan. Lantas kenapa dia mengonsumsi obat delusi? Kurasa analisismu tidak sepenuhnya benar."

-

Suasana klub suram ketika Watson dan King kembali—karena mereka bertiga sudah menonton isi dari flashdisk yang Watson beri sebelumnya.

"Jadi ... Erika selama ini yang mengikutiku ke mana-mana? Menghantui hidupku? Membuatku seperti orang gila?" Hellen mengepalkan tangan.

Aiden tak berani membuka mulut. Ini plot twist yang menyakitkan.

"Berpikir positif, Stern. Dia melakukan itu demi kebaikanmu. Erika menjagamu." Jeremy berkata lugas.

12 tahun lalu, Penguntit Monokrom yang Hellen lihat sebaya dengannya: yaitu sesama anak kecil. Mereka tumbuh bersama dengan satu mengejar, satu lagi bersembunyi. Mengapa Penguntit Monokrom selalu tampil basah sebab kemunculannya bertepatan hari hujan. Dia mengikuti pola itu sampai saat ini.

"Kurasa tidak juga!" seloroh King nyengir.

Watson menoleh padanya. Astaga! Kamu mau mengatakannya sekarang juga? Paling tidak perhatikan sedikit atmosfernya, dong!

King menatap Hellen intens. "Kurasa kamu telah berhalusinasi dikuntit seseorang alias mengidap paranoia akut. Dan temanmu bernama Erika mencoba menyembuhkanmu."

Deg! Ketiganya membeku.

"Apa ... maksudmu? Itu tidak mungkin. Watson sudah memiliki bukti. Benar, 'kan? Kenapa kamu diam saja, Watson?!" Bukan Hellen yang protes, namun Jeremy. Tidak mungkin mental Hellen ....

"Ada kemungkinan Decalcomanie." King berkata lagi, mengangkat bahu. "Siapa tahu Hellen Stern betulan sakit atau Penguntit Monokrom yang membuat kita berpikir dia sakit. Aish, berpikir rumit benar-benar bukan tipeku."

[Note: Decalcomanie/Decalcomania merupakan istilah yang dipakai untuk menilai orang-orang yang terlihat mirip (kayak kembar atau melihat dua orang sama)]

"Jawablah, Watson!" Jeremy mendesak. "Hellen .... Dia baik-baik saja, 'kan? TIDAK MUNGKIN DIA GILA! KALIAN JANGAN BERGURAU!"

Watson diam saja, memandangi setetes air hujan yang mengalir di jendela. Tidak lama kemudian, langit mulai menurunkan rintikan lainnya pada bumi. Hujan mulai mengguyur Kota Moufrobi, membasahi daun-daun maple yang berguguran.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro