29

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Dulu ada web-drama berjudul Romeo & Juliet yang memiliki enam episode. Itu drama kesukaan mereka berdua. Tayang setiap hari Selasa, Jumat, dan Minggu. Hellen takkan pernah melupakan tiga hari penting tersebut."

Ini penampakan mengejutkan. Seseorang yang dianggap tidak nyata, sekarang muncul di depan Watson, membuatnya terbungkam tak bisa berkata-kata. Semua tabel data tentang Penguntit Monokrom di kepalanya hancur berantakan. Asumsinya salah.

Ngiing! Watson spontan memegang kepala. Gawat. Narkolepsi-nya mulai berulah. Apa karena kurang tidur? Sial! Sial! Sial! Waktunya sangat-sangat tidak tepat.

King duduk ketakutan. Aiden menutup mulut. Jeremy? Jangan tanya lagi. Dia langsung berlarian keluar mengejar sosok berjubah kuning itu. Tahu salah satu anggota Klub Detektif Madoka tengah menghampirinya, dia melesat kabur.

"Apa-apaan ...?" Aiden menelan ludah, terbata. "D-Dan ... dia kabur. Kita harus mengejarnya. Kita harus menyusul Jeremy, Dan! Kita tidak bisa membiarkan penguntit itu lolos! Kita harus menangkapnya!"

Watson memaksakan diri untuk tetap sadar. "Aku tahu. King, kamu ikut denganku."

"Kalian mau pergi mengejarnya?! Tidak mau! Jangan ajak aku! Sosok barusan tampak menakutkan. Aku tidak mau ikut." King menggeleng cepat. Astaga, apakah ini pekerjaan mereka berempat setiap hari? Mengejar kriminal? Aish! Ini menentang prinsip hidupnya.

"Aku tak terima keluhan." Watson menarik lengan King, lalu mereka pun keluar dari ruang klub.

Jeremy kehilangan jejak. Dia menoleh linglung ke sekitar, tidak peduli hujan sudah membasahi tubuhnya. "Ke mana dia pergi? Sialan!"

"Bagaimana, Jer?" Aiden bersorak keras mengalahkan suara hujan supaya Jeremy bisa mendengarnya. "Apa kamu menemukannya?"

"Dia berhasil melarikan diri."

Tidak mungkin. Dari jarak sesempit dan waktu sesingkat itu? Watson menggeleng. "Dia pasti bersembunyi. Kita harus memeriksa dari sudut ke sudut," serunya sembari waspada menatap sekeliling.

Aiden dan Jeremy mengangguk.

Sebelum Watson ikut menerobos hujan, ujung matanya menangkap siluet samar berlari ke gudang sekolah. Watson memicing, tersentak.

"Tunggu! Kurasa aku melihatnya!"

"Aku melihatnya!"

Watson dan King yang berseru serempak membuat Aiden-Jeremy kelimpungan, bingung akan menuruti komando siapa.

"Penguntit Monokrom ke gudang."

"Tidak. Dia tidak ke sana." King menunjuk-nunjuk pohon yang berjejeran di tepi bangunan sekolah. "Itu dia! Itu si Penguntit Kuning! Dia berdiri di dekat pagar!"

Akhirnya Watson mengikuti arah tunjuk King, dia terdiam. Benar. Itu Penguntit Monokrom! Tetapi, apa ini? Watson keheranan sendiri. Kenapa dia berhenti kabur seolah menunggu mereka mengejarnya? Apa dia mau memperlihatkan identitasnya? Mustahil.

"BERHENTI DI SANA!" Aiden dan Jeremy melanjutkan pengejaran, kecuali Watson yang tertahan di lobi, bergelut dengan pikirannya sendiri.

"B-bagaimana sekarang, Pak Ketua?" King memeluk badan. Kedinginan. Dia tersenyum cengengesan. "Kamu takkan menyuruhku membelah hujan, 'kan? Ayolah, kamu tahu siapa aku. Jangan kejam."

"King, balik ke klub dan bawakan rekaman cctv barusan padaku. Aku ingin melihat perawakan Penguntit Monokrom lebih detail. Deras hujan mengaburkan pandangan."

King seketika memasang hormat. "Siap, Bos!" ucapnya semangat. Tentu dia senang sebab tidak disuruh hujan-hujanan.

Apa ini. Sebenarnya apa ini. Ada sesuatu yang bekerja kompatibel, mempermainkan otak Watson. Dia meremas jemari. Dia telah membuat kesalahan fatal.

Drrt! Watson tergesa-gesa mengangkat panggilan itu. "Vi! Ada apa?"

[Sekitar sepuluh menit lalu, pelacak yang kupasang di program ponsel Erika mendapatkan sinyal keaktifan. Bahkan sekarang pelacak itu mengirim sinyal data yang kuat. Dia berpindah-pindah.]

"Di mana dia sekarang?" tanya Watson cepat.

[Di sekolahmu.]

Deg! Watson terdiam. Apa? Erika di sekolahnya? Apa yang dia lakukan di Moufrobi? Ah, kesalahan kedua kalinya. Watson melupakan kandidat tersangka nomor satunya, alias Erika sendiri.

Ngiing! Rasa kantuk kembali menyerang Watson. Ponselnya jatuh dari genggaman yang melemah. Dia tidak bisa menahannya lagi.

"Pak Bos!" King menyapa ceria. "Ini, sudah kutemukan cctv-nya. Apa kita harus pergi ke studio penyiaran untuk memeriksa rekaman kameranya?" King mengernyit melihat Watson yang oleng kiri oleng kanan, seperti hendak rebah. "Kamu baik-baik saja, Pak Bos?"

"Putar sekarang di sini. Sudah tak ada waktu. Aku mengantuk." Watson menepuk-nepuk pipinya. Sadar! Sadar! Tidak boleh tidur! Ada yang mendesak! Begitu mantra penundanya.

"Kenapa mengantuk, sih? Bukankah kita akan menangkap Penguntit Kuning?" King bersungut-sungut seakan baru saja memperoleh ketidakadilan.

"Cepat putar kaset itu, Setengah Pintar!"

Mata King bersinar. "K-kamu orang pertama yang menyebutku pintar. Baiklah, akan kuputar."

Watson merebut benda di tangan King, mengusap-usap mata guna menjaga kesadaran. Padahal matanya sudah sangat berat, menuntut untuk tidur. Rasanya tidak sanggup berdiri lebih lama lagi. Tubuh Watson limbung.

"Kamu yakin kamu baik-baik saja? Istirahatlah kalau kamu capek." King bersimpati.

"Coba perhatikan," sanggah Watson menunjuk layar. "Tinggi orang ini dengan orang yang Aiden dan Bari kejar sama sekali berbeda. Kamu tahu artinya?"

"Ada dua penguntit kuning memakai jas sama?"

"Benar. Sekarang kamu susul mereka berdua, bilang mereka mengejar orang yang salah. Akan kutunggu di gudang sekolah."

Lupakan soal basah-basahan. King kasihan melihat langkah Watson yang tidak lurus. "Bagaimana denganmu? Apa kamu ingin pergi ke gudang dalam kondisi payah begitu? Istirahatlah."

"Simpan simpatimu dan kerjakan tugasmu. Semakin cepat kamu pergi, semakin cepat aku bisa istirahat. Ah, jangan lupa. Kalau mereka berhasil menangkap penguntit palsu, bawa dia ke hadapanku."

"Baiklah, baiklah. Pak Bos hati-hati, ya! Aku lebih cemas padamu karena kamu kelihatan mau mati." King memasang tudung hoodie, melindungi kepala dari siraman air hujan.

Watson memungut ponselnya yang jatuh. Sambungan telepon dengan Violet masih terhubung. "Vi, carikan aku satu foto Hellen Stern dan Rokko Romeron."

[Kamu baik-baik saja, Watson?! Astaga! Kamu membuatku takut karena tidak menjawab dua menit!]

"You know what? Narkolepsi. Nah, sekarang aku tak punya waktu bermain-main. Kirim begitu kamu dapatkan. Tidak ada tunda-tundaan." Sebelum Violet membalasnya, Watson mematikan ponsel lebih dulu. Dia menggeleng-gelengkan kepala. Melakukan banyak upaya agar tetap terjaga. Bahkan rela memukul pipi sendiri. Tapi tidak sampai menjejalkan korek api di antara kelopak matanya.

Menyeret kaki ke gudang, adrenalin Watson terpicu demi melihat jejak kaki di pintu.

Memantapkan hati, Watson perlahan masuk. Tidak lupa memegang setangkai kayu sebagai pertahanan jika ada serangan tiba-tiba. Menyensor pandangan ke ruangan gudang, Watson tidak melihat orang lain selain dirinya. Tampaknya yang pertama masuk tadi sudah pergi.

Ting! Bagus, Violet sudah mengirimkan permintaannya. Watson terburu membuka ponsel. Suatu pesanan, yang itu adalah foto Rokko dan Hellen saat mereka baru berumur lima tahun. Keduanya terlihat tengah saling berpelukan kelon.

Tetapi, bukan itu yang Watson pedulikan.

"Sudah kuduga, tinggi mereka sama. Mungkinkah ini ...." Watson mendesah panjang.

Kriet! Terdengar bunyi pintu terbuka. Watson refleks menoleh. Tatapannya berembuk pada loker tua di pojok ruangan. Sesuatu berwarna kuning mengintip di sana. Memakai gerakan perlahan, Watson lalu melakukan panggilan ulang dengan Cynthia.

"Ada apa, Watson?"

"Bisakah Tante Cynthia mengirim kru rumah sakit jiwa ke Madoka? Ini penting."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro