4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Watson menatap datar jejalanan. Maniknya mendapatkan pemandangan baru. Setelah beberapa jam perjalanan, akhirnya mereka melewati perbatasan Distrik Uinate. Terus melaju dalam kecepatan stabil menuju Distrik Moras. Kota Serene masih jauh.

Baiklah, sekarang bagaimana? Jika firasat Watson benar, maka banyak detektif di sana baik detektif beragensi, detektif remaja, atau para penggemar misteri. Keramaian adalah sesuatu yang harus Watson hindari. Dia harus berusaha tidak tampak mencolok.

Bisa gawat kalau ada yang tahu dan kenal siapa dirinya. Apa dia perlu menyamar? Tapi Watson alergi bedak-bedak atau perkakas kosmetik. Atau menyamar jadi cewek? Tidak, tidak. Ide buruk. Nanti diketawain habis-habisan sama Jeremy. Lalu bagaimana caranya menutupi identitas?!

Tuk! Kepala Aiden jatuh ke bahu Watson.

Tanpa belas kasih, Watson membenarkan posisi duduk Aiden tak peduli orangnya lagi tidur, kembali berpikir keras. Tapi lagi-lagi Aiden berulah, lebih parah malahan. Entah apa yang dia impikan, dia memeluk lengan Watson layaknya guling.

Gadis ini! Tidak bisakah tidur dengan diam?!
Watson berseru dongkol dalam hati, mendorong-dorong wajah Aiden yang justru tampak ketagihan.

"Maafkan Nona Muda Aiden," Dolok angkat mulu. Hanya beliau dan Watson yang belum tidur. "Nona Muda memang suka tidur gelisah. Bahkan pernah keluar dari rumah, tidur berjalan. Kebiasaannya dari kecil."

Watson jadi makin ragu Aiden seorang gadis. Jangan-jangan dia punya kepribadian manly lagi. Hiy! Hal amit-amit macam apa yang Watson pikirkan!

"Sebenarnya Nona Muda Aiden sangat menyukai Anda, tapi Nona Muda bingung bagaimana cara mengatakannya. Dia takut Anda tidak nyaman."

"Menyukaiku?" ulang Watson mengernyit, memperhatikan lamat-lamat wajah Aiden, mengembuskan napas. "Tapi aku tidak bisa menyukai Aiden."

Dolok menatap dari kaca spion tengah.

Kemudian, ekspresi Watson berubah jadi ekspresi seseorang yang terilhami. "Aku sudah menyukai Sherlock Holmes, dan aku berjanji untuk setia padanya sampai akhir hayat."

Dolok lupa, cowok satu itu teramat polos.

-

Aiden menguap lebar, merenggangkan pinggang. Rambutnya terlihat acak-acakan. "Kenapa tidurku bisa nyenyak, ya? Padahal aku tidak suka tidur di mobil."

"Itu karena Anda menjadikan lengan Tuan muda Watson Dan sebagai bantal." Dolok sukarela memberitahu dengan santai.

Tubuh Aiden menegang. "Eh, apa?" katanya menoleh ke Watson. Cowok itu tampak melemaskan lengan kirinya. Aiden menggaruk-garuk kepala, meringis dalam hati.

Mereka masih belum sampai di Kota Serene. Butuh setengah hari lagi untuk sampai. Capek berada di mobil sepanjang malam.

"Hei, Bari, aku ingin bertanya sesuatu."

"Apa?"

"Kacamata yang kamu pakai itu sebenarnya tidak berlensa, kan?" tanya Watson datar. Tangannya lihai memainkan sumpit. Klub Detektif Madoka tengah sarapan di sebuah kedai pangsit.

"Akhirnya kamu menotis soal ini, Wat," Jeremy membenarkan letak kacamata palsu. Alisnya naik-turun. "Aku memakainya untuk menambah kegantenganku."

"Jadi kamu menderita sindrom narsistik."

"Jahat! Padahal kamu yang pertama bertanya!" Jeremy dengan kelebayannya.

"Kalau begitu..." Watson meletakkan sumpit, menghadap ke Jeremy, mengambil kacamata abal-abal itu, lalu memberantakkan rambutnya.

"Kyaa! Apa yang kamu lakukan, Watson?! Jangan sentuh aku! Watson homo!"

Watson tidak peduli, bersiul memanggil Hellen. Dia memutar kursi Jeremy supaya menghadap ke arah Hellen. "Bagaimana menurutmu, Stern?"

"Apanya yang bagaimana—" Hellen terdiam. Jeremy kikuk diperhatikan lama oleh Hellen dan memalingkan wajah. Kedua muka mereka memerah.

"Wah! Ternyata kamu lumayan juga, Jer!" celetuk Aiden merusak suasana. "Padahal ganteng 'gini, kenapa masih pakai kacamata?"

"Itu Fashion Sense-ku! Janganlah engkau hina."

Hmm? Watson tertegun. Barusan, apa dia salah lihat? Tidak terima jika tidak mendapat kepastian, Watson pun nekat menyingkap baju Jeremy. Terbelalak.

"Ya Tuhan!" seru Jeremy histeris segera menepis tangan Watson. "Aku masih normal. Aku tidak mau belok. Aiden, gebetanmu kenapa atuh?" Dia sontak terpekik karena Aiden mencubit pinggangnya. "Apa sih?!"

"G-gebetan apanya, hah!" Aiden berseru malu, memukul-mukul lengan Jeremy. Hellen tertawa melihat pertengkaran mereka.

Watson hanyut dalam pikiran. Kehilangan nafsu menghabisi pangsit lezat di depannya. Dia melihatnya dengan jelas.

Sebuah luka bakar besar di punggung Jeremy.

-

Selamat datang di Kota Serene. Klub Detektif Madoka akhirnya sampai di tujuan tepat pukul delapan malam.

Aiden berdecak kagum melihat gedung setinggi cakrawala berderetan memadati tanah. Semua lampu menyala terang menerangi kota. Masih banyak penduduk kelayapan di jejalanan.

"Jadi ini Serene? Kotanya bagus juga," komentar Jeremy sembari manggut-manggut.

Aiden berkacak. "Nah, sekarang apa yang harus kita lakukan, Dan?"

Empunya nama mendengus. "Sedikit-sedikit tanya aku, sedikit-sedikit panggil aku. Coba deh kalian pikirkan sesekali secara logika. Kita baru tiba di kota orang, jadi kita sekarang sebutannya turis. Apa yang akan turis lakukan ketika berlibur di negara asing?"

"Tentu saja kita mencari penginapan."

"Nah, tuh tahu." Watson berkacak. Wajahnya terlihat super duper malas.

Aiden menatap Dolok. "Tolong carikan hotel terbaik di sini, Pak. Pesankan kamar VIP untuk kami berempat," suruhnya enteng. Seolah tarif kamar VIP sama seperti kamar biasa.

"Siap, Nona Muda."

Mentang-mentang anak orang kaya! Entah kenapa Watson merasa jengkel. Rasanya kek curang 'gitu.

"Urusan penginapan sudah beres, Dan. Sekarang kita ngapain?" Aiden senyam-senyum tak jelas. Tampaknya dia menikmati kunjungan ke Kota Serene.

"Aku punya dua rencana." Watson mengusap wajah datarnya. "Pertama, mengunjungi klien kita yakninya Lora dan Kara. Mereka meninggalkan alamatnya, kan? Kita harus mulai menggali informasi."

"Lalu rencana kedua?"

"Surat permohonan nomor dua, peristiwa misterius di opera terkenal. Kita harus melihat suasana di sana terlebih dahulu."

"Lho, kamu tertarik dengan opera itu?"

"Tidak, bukan begitu. Aku sudah bilang kan, ada hal besar yang akan terjadi di kota ini dimana semua detektif ternama diundang. Pemicunya adalah acara opera tersebut."

Aiden dan Hellen membaca surat permohonan. "Acara puncaknya tanggal 16 maret di Teater Kadakala."

"Tapi jika benar akan ada banyak detektif... Bukankah kamu jadi melemah, Wat?"

"Apanya?" Watson menatap Jeremy bingung. Dia tak paham maksud pertanyaan barusan.

"Kamu kan pemalu. Beranalisis di depan umum bukanlah tipemu, kan? Apalagi kalau banyak detektif berpengalaman di sekelilingmu, tekanannya bertambah dahsyat."

"Kamu jangan menakutiku dong."

Aiden menutup mulut, mengulum bibir, menahan tawa. "Uwah, ternyata Dan jadi bodoh kalau berada di keramaian. Pengetahuan baru. Patut dicatat."

"Kenapa kalian jadi meledekku sih?"

Hellen terkekeh. Kenapa mereka gemar membuat Watson geram? Ada-ada saja.

"Where is my Romeo? You kill him, isn't?"

Deg! Refleks Hellen menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa. Pandangannya liar ke sana-sini, tetap hanya ada penduduk biasa. Siapa? Siapa yang barusan berbisik? Kenapa dia bisa tahu kejadian 12 tahun silam?! SIAPA!

"Stern, kamu baik-baik saja?" Watson menyentuh bahu Hellen yang mendadak panik.

"JANGAN SENTUH AKU!" bentak Hellen menepis kasar tangan Watson.

Senyap sejenak.

Hellen menundukkan kepala, sadar apa yang sudah dia lakukan. "M-maaf, aku tidak bermaksud begitu... Aku kepikiran sesuatu. Maafkan aku, Watson."

"Tidak apa." Watson menjawab datar.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro