14* Would You Dance With Me?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku menumbuhkan tanaman yang layu oleh sinar matahari dengan malas. Entahlah, aku merasa kekuatanku sudah stuck di sini. Tidak dapat dikembangkan lagi. Aku tahu saja.

Ujian kelulusan untuk naik ke tingkat Supreme masih tersisa dua hari lagi. Aku bosan. Tak adakah yang bisa kulakukan? Blackfuror juga tidak menunjukkan batang hidung 20 hari ini. Sepertinya mereka sedang membuat strategi.

Lalu... Kala di mana, ya? Dia tidak pernah tampak lagi usai acara Gladi Perang. Rumor berdatangan, bilang dia disergap Blackfuror. Beberapa membantah rumor tak masuk akal itu. Lihat betapa mengerikan anginnya Kala. Blackfuror takkan berani mendekatinya.

Boff!! Parnox datang bersama Sebille yang sempoyongan. Aku dan Rissa refleks membantunya duduk. Katanya butuh enam air mata Unicorn Bertanduk Emas untuk memulihkan kemampuan Pohon Neraida.

"Kau sudah bekerja keras. Jasamu takkan  dilupakan. Aku akan meminta Pimpinan untuk memberimu hadiah—Gyut!" Satu alis Parnox naik. Sebille dengan muka semerah tomat menarik jubah seragamnya. "Apa?"

"Aku tidak butuh hadiah atau apa pun. Aku melakukannya sukarela," katanya malu-malu.

"Benarkah? Terima kasih kalau begitu."

Apatah gunanya aku dan Rissa menebalkan wajah serta kehadiran di sini. Tak kusangka di dunia lain pun orang-orang bisa jatuh cinta.

"Sebille tuh, Sebille. Mainnya agresif," bisik Rissa menyikut-nyikut pelan lenganku.

"Hus, tak boleh begitu. Kita harus buat ruang untuk mereka. Ayo." Aku dan Rissa berniat terbang diam-diam meninggalkan mereka.

Bruk! Karena kami melangkah mundur, tak bisa langsung terbang sebab tidak mau mengganggu momen Parnox dan Sebille, kami menabrak seseorang yang berdiri di belakangku dan Rissa. Aku baik-baik saja sebab sayapku refleks terkepak membantu, namun Rissa tidak. Dia terjerembab.

Orang yang kami tabrak memegang lengan Rissa, menahan gadis itu agar tidak terjatuh. "Kau baik-baik saja?" Hei, baik sekali sosok ini. Padahal kami yang menubruknya lho.

"Ah, aku tidak apa. Terima kasih—" Napas Rissa tercekat, spontan menepis tangan orang itu. Dia adalah Houri. "A-aku pergi dulu, Dandi. Kutemui kau di kelas atau di kamar!"

Eh, eh, lho, ada apa dengan Rissa? Aku mau mencegahnya, namun sayapnya lebih dulu mengepak cepat membawa tubuh pemiliknya pergi jauh. Aku kurang gercep. Bukankah hubungan dia dan Houri baik (katanya)?

"Padahal aku mau minta maaf." Houri terlihat kecewa Rissa melesat pergi. "Mungkin tidak hari ini," lanjutnya mendesah pelan.

Apa karena di pertarungan gladi, ya?

*

Menyesal aku datang ke perpustakaan. Rinvi menyambut kedatanganku dengan senyum intimidasi. "Halo Swift Growers Verdandi. Apa kau melihat buku 'Segala Hal Tentang Klan Penyihir'? Kau kan rajin membaca kemari, apalagi pernah memegangnya. Humuh, apa... kau meminjam buku tabu itu tanpa izinku?"

Glek! Mati aku. Buku itu ada di kamarku, tersembunyi baik oleh bunga-bunga cantik. Bagaimana Rinvi tahu aku yang memilikinya?

"T-tidak di aku kok. Kenapa kau menuduh temanmu mencuri sebuah buku?" elakku.

"Jangan berbohong." Rinvi menarik Gee yang sedang menyusun buku di rak. "Kekuatan Junior-ku bisa melihat masa lalu dari apa yang dia pegang. Kau mengambil buku itu ketika perhatianku teralihkan. Benar, bukan?"

Diam-diam aku mengirim tatapan sengit padanya. Gee menyesal dalam diam, minta maaf lewat pandangan. Cih, ketahuan sudah.

"Kembalikan, Verdandi," tuntutnya.

"Tidak. Andwe. Aku belum selesai membaca semuanya. Buku adalah pengetahuan, Rinvi. Kau ingin menghalangiku menimba ilmu?"

"Apa pun selain Klan Penyihir."

"Yang tidak suka dengan penyihir kan kau, bukan aku. Kenapa aku harus ikut-ikutan membenci bangsa itu?" kataku keras kepala.

"Bukan hanya aku, tapi seluruh Klan Peri. Kau juga harus tahu ini, Gee, jangan pernah menyebut-nyebut Klan Penyihir di sini."

"K-kenapa?" Gee ragu-ragu bertanya.

"Klan Penyihir adalah aib. Klan sombong yang merendahkan siapa pun. Berpikir mereka lah yang tertinggi di rantai makanan. Berpikir umat mereka yang paling hebat di dunia ini."

"Tapi kan tidak semua penyihir memiliki sifat seperti itu. Mungkin ada satu dua penyihir yang baik, Rinvi." Aku mencoba membujuk.

Contohnya Kala.

"Aduh Verdandi, kau pikir mengapa posisi Klan Penyihir jatuh ke nomor lima? Itu karena keangkuhan mereka. Kepribadian mereka yang cenderung jemawa membuat Sang Dewa marah dan memberi peringkat kelima setelah Klan Peri. Penyihir itu klan yang jahat, Dandi."

Jika mereka jahat, kenapa aku tidak merasakan aura buruk dari Kala sekalipun?

*

Aku duduk menikmati waktu soreku di alang-alang, tempat kesukaanku. Tidak ada Kala di sana. Anehnya, kenapa di hatiku terdapat segelintir rasa berharap dia di sini? Jadi peri takkan membuatku gila, kan?

"Selamat sore, Verdandi."

Kukira yang memanggilku Sina atau Madam Shayla, tapi rupanya sosok lain. Aku pernah dengar suara ini, sudah lama sampai aku nyaris lupa dengan spektrum nadanya.

Ondina! Kupu-kupu terbang aset sekolah itu mendarat ke sampingku. Aku tersenyum. "Hai, Dina. Apa yang membuatmu kemari?"

Ondina mengulurkan tumbuhan rambat padaku. Tentu saja aku ingat tali ini. Pertama kali terdampar ke dunia lain, aku tak bisa langsung terbang, sayapku masih layu. Kala mengajakku terbang ke rumah Madam Shayla bersama Ondina.

"Pegang itu, Verdandi," suruhnya.

"Lho? Aku bisa terbang kok, Ondina." Kala tidak memberitahu dia aku sudah di kelas Senior, ya? Dasar laki-laki dingin itu!

"Genggam saja itu erat-erat. Kita akan pergi melewati <Zona yang Telah Ditentukan>."

"E-eh? Pergi ke mana?" Mau tak mau aku pun memegang dan mencengkeram tali tumbuhan rambat tersebut. Kan tidak lucu sedang asyik terbang menikmati pemandangan, mendadak jatuh karena batasan Pohon Neraida buatan.

Ondina membawaku terbang meninggalkan akademi. Sensasi yang cukup aneh bagiku. Kau punya sayap, namun tak bisa terbang dengan bebas. Perang melawan Blackfuror harus benar-benar berakhir supaya aku bisa menumbuhkan Pohon Neraida yang baru.

"Kita mau ke mana sih, Ondina?" tanyaku, menelan ludah gugup. Aku dapat merasakan sayapku menjadi berat. A-apa aku sudah melewati <Zona yang Telah Ditentukan>?

Sepuluh menit terbang di udara, akhirnya Ondina memanduku ke hutan rimba. Aku memicing. Terdapat sebuah rumah pohon atau lebih mirip pondok tua, berdiri di atas ranting-ranting pohon, tertutup dedaunan.

Lalu tiba-tiba... KABOOM!!! Suara ledakan meletus dari pondok reyot itu. Aku hampir melepaskan peganganku karena terkejut.

"Astaga! Apa itu barusan?" Ondina menurunkanku ke teras pondok. Asap hitam keluar dari jendela dan ceruk jendela.

"Masuklah, Verdandi." Kalau Ondina mengangguk yakin begitu, berarti tempat ini tak berbahaya. Tapi, astaga, pondok siapa ini?

Aku pelan-pelan membuka pintu pondok. Kriet! Suara decitan terdengar. "P-permisi..." Sayapku masih bisa terkepak refleks, tanda pemiliknya sedang dalam perasaan takut.

Manikku menjelajahi ruangan tengah, memicing menemukan benda yang sangat kukenal, tergeletak di atas meja. Aku melotot, buru-buru menghampiri meja tersebut. Ini kan seragam dan tas sekolahku? Kok ada di sini?

"Demi kerang laut! Itu sudah percobaan ke-12, dan kau masih gagal?! Kau mengorbankan dua material berharga yang mahal! Menciptakan portal sangat lah mudah, Kala!" Dari bilik pondok, aku mendengar protesan seseorang.

Eh, barusan dia bilang Kala? Ada Kala?

Benar saja! Kala keluar dari kamar berasap dengan rambut kusut sembari terbatuk-batuk. "Ondina, kau sudah bawa material yang kuminta..." Dia terdiam, menatapku datar. "Kenapa kau ada di sini, Verdandi?"

Aku menunjuk Ondina. Dia pelakunya.

"Ondina, kenapa kau membawanya kemari? Bagaimana kalau ada yang curiga nanti?"

"Eh, Kala, di sini bengkelmu ya?" tanyaku berdecak kagum memperhatikan sekeliling. Ada deretan botol berisi cairan, tumbuhan aneh, dan bermacam-macam alat sihir.

Hohoho! Sepertinya aku mengerti ke mana Kala pergi 20 hari terakhir. Pondok ini tempat dia bebas menyihir atau mengaduk ramuan.

"Berbahaya kalau di kamar. Bisa ketahuan."

Baru saja aku ingin bertanya alasan dia menyusup ke Fairyda, sosok mungil terbang keluar dari bilik Kala. Aku mengucek mata. Dia bukan peri. Dia terbang dengan sesuatu seperti selendang Putri Kaguya di punggung.

"Apa ini? Ada tamu rupanya. Tidak biasanya kau memberitahu identitas aslimu, heh."

"S-siapa ini?" tanyaku, menunjuk sosok itu.

"Dia Sinyi, sapuku. Dia berubah karena aku menumpahkan Reshuffle Potion." Kala masih ingat. Dia sibuk sama percobaan mantra dan lengannya tak sengaja mengantuk ramuan itu.

"Aku penasaran sejak lama. Ini kan dunia lain, kenapa kalian memakai bahasa bumi? Barusan kau ngomong pakai Bahasa Inggris lho."

"Tolong," katanya pada Ondina.

Ondina terkekeh renyah. "Percayalah, Verdandi, di telingamu mungkin terdengar seperti itu. Kau tahu? Ketika pertama kali kau jatuh ke sini, Kala tidak paham bahasamu sama sekali. Sadar kau bukan dari Asfalis, dia langsung melafalkan mantra penerjemah padamu. Sampai sekarang mantra itu aktif. Dia juga yang mengganti seragammu lho."

"Kau tidak mengusai barang-barangku, kan?" celetukku, memeriksa isi ransel. Tidak ada yang hilang. Ponselku masih ada di saku tas.

"Aku tak mau mengambil resiko menyentuh benda-benda dari dunia lain," katanya sambil mendengus, masuk kembali ke dalam bilik.

Aku memeriksa handphoneku. Baterai 55%. Tidak ada sinyal—sudah kuduga sih. Mana ada internet di sini. Tower listrik pun tak ada. 

"Kau sudah memakai sampel utamanya. Bagaimana cara kau membuat lingkarannya sekarang? Kau ini terlalu mubazir, Kala."

"Diam. Aku juga berusaha." Kala keluar lagi.

Aku menyimak seru perdebatan mereka. Tidak ada sayap di punggung Kala—sejak awal sayap itu memang tidak ada. Apa karena sapunya mengubah wujud jadi manusia kecil?

"Apa lihat-lihat?" bentak Sinyi melotot.

Ih, galaknya sapu Kala. Aku mengusap bagian belakang leher. "J-jadi, apa saja yang kau kerjakan 20 hari ini? Ada rumor kau ditangkap Blackfuror, tapi aku percaya itu takkan terjadi. Kau kan penyihir yang..." Hebat, sambungku dalam hati. Tidak mau membuatnya kegeeran.

"Portal bumi." Sinyi yang menjawab. "Dia ngotot hendak membuat portal menuju planet bernama bumi, entah di mana lah itu."

Aku terdiam, melirik Kala yang menggambar lingkaran putih dengan corak magis di lantai pondok. A-apa itu karena aku? Kala membuat kekacauan ini untuk memulangkanku? Ah! Aku teringat malam sebelum festival Gladi Perang. Malam dimana dia meminta sehelai rambutku. Dia sudah mulai dari malam itu?

Kenapa Kala mau merepotkan diri demiku? Apa karena aku peri yang dia temukan dan dia ingin bertanggung jawab atas kepulanganku? Aku tak bisa menebak pikiran laki-laki ini.

"Ini yang baru." Kala membuang kapur, selesai melukis lingkaran yang membuatku sakit mata ketika melihat seliweran motifnya.

"Item apa saja yang kau pakai barusan, hah?! Sial! Aku lengah!" Sinyi mengacak-acak rambut frustasi. Dilihat dari gelagatnya, Kala gampang sekali membuang-buang material sihir.

Ondina menyentuh bahuku. "Verdandi, kusarankan kau tunggu di luar saja."

"Itu benar!" Sinyi berteriak gemas, mengirim pandangan masam ke Kala yang hanya diam berwajah datar. "Bocah ini amat payah dalam pembuatan portal. Sudah 12 kali gagal dan dia mengorbankan material langka. Aku mulai curiga dia melakukan kecurangan dalam tes. Tidak mungkin penyihir payah sepertinya menjadi lulusan terbaik di akademi sihir."

Aku menatap Kala. Dia lulusan terbaik?

"Mudah bagimu berkata," dengus Kala. Yang menyihir di sini kan dia. Bukan Sinyi.

Aku tersenyum simpul, menggeleng. "Aku di sini saja. Aku takkan pergi. Lagi pula Kala bersusah payah sampai meledakkan pondok ini untuk membuatkanku portal pulang, kan? Tak ada salahnya memberinya apresiasi."

"Jangan menyesal nanti." Sinyi bersedekap.

"Aku akan coba pakai mantra lain." Kala memegang buku super tebal, membalikkan halaman acak dan sampai di pertengahan.

"Tunggu! Tunggu! Format generik saja kau belum bisa! Kau mau pondok ini ketahuan?! Kau bukan penyihir legal lagi, Kala! Tunggu!"

Kala tidak peduli dengan teguran Sinyi. Tangannya terangkat pada lingkaran magis. Aku duduk dengan intens, memperhatikan. Takkan kulewatkan kesempatan emas melihat Kala melakukan sihir. Ini pasti akan seru.

"Giplanitis Moveora."

Lingkaran sihir bersinar terang dan akhirnya... KABOOM!! Aku, Kala, Ondina, dan Sinyi terkapar di lantai dengan muka gosong, baju kusut masai, rambut tegak kayak tersetrum.

"S-sepertinya menjadi penyihir tidak semudah yang kubayangkan, ya." Aku menghela napas lega telah jatuh di Klan Peri bukan di sana.

Kala mendesah, mengusap wajahnya yang seperti dipakaikan bedak hitam. "Maaf, aku tidak terbiasa membuat portal. Sepertinya kau harus menunggu lebih lama lagi, Dandi."

Aku menyengir, terkekeh. "Tidak apa. Santai saja. Aku tidak terburu-buru mau pulang kok! Hmm?" Mataku menangkap objek buku bersampul elegan tersandar di rak dinding. Dilihat dari sini, sepertinya itu sebuah novel.

"Lady Joy?" gumamku membaca judul.

"Ah, itu hadiah pemberian dari—" Sejenak Kala diam. Jeda beberapa detik sebelum dia melanjutkan dengan dingin. "Muridku."

Eh? Aku memandangi Kala yang tampak... terluka. Tidak biasanya dia emosional begitu. Aku harus mengalihkan pembicaraan! Kubuat berdeham. "K-kau punya murid ternyata?  Berarti kau punya lisensi mengajar dong!"

Tidak berhasil. Kala masih sama dinginnya. Aduh, apa kalimatku malah memperburuk suasana hatinya? Bagaimana ini. Dia badmood. Aku merasa ganjil karena Kala selalu datar.

Baiklah. Bagaimana dengan ini!

Aku menatap Kala yang sibuk membersihkan wajahnya. "Apa kau pernah berdansa, Kal?"

"Berdansa? Itu benda apa?" 

"Bukan benda melainkan aktivitas." Kalau saja aku masih di bumi, mungkin aku sudah mendaftar ke ekstrakurikuler dancing karena aku suka menari mengingat aku kpopers.

Kala sudah rempong membuatkanku portal pulang ke bumi. Tidak masalah dia refreshing sejenak. Hehe, akan kuajari dia sesuatu yang tidak pernah ada di dunia ini. Aku melangkah gontai ke arah meja, mengambil ponselku.

"Ayo berdiri." Aku berkacak pinggang.

Kala mengangguk saja. Berdiri di depanku.

"Aku sebenarnya tidak terlalu ahli, tapi aku paham gerakan-gerakan dansa mendasar. Pertama, ulurkan tangan kirimu. Lalu tangan kanan lipat ke punggung. Membungkuk lah seperti menyambut tangan seseorang yang turun dari kereta kuda. Paham, kan?

"Aku akan menerima jabatan tanganmu. Saat kedua tangan sudah bertemu, maka dansanya pun dimulai. Ingat, tangan kanan terus lipat ke belakang punggung. Yang bermain cuman kaki. Nah, gerakkan kaki kirimu selangkah ke depan lalu mundur. Lakukan gerakan ini tiga kali. Aku pun juga melakukan hal yang sama.

"Setelah selesai maju-mundur tiga kali, kau akan mengayunkan pelan lenganmu yang memegang tanganku sementara aku berputar dan tiba di sebalikmu. Intinya kita berganti posisi. Aku di depan, kau di belakang. Nahhh, baru lah kita gunakan kedua tangan kita. Saling menggenggam tangan satu sama lain, lanjut melangkah maju-mundur. Selanjutnya gerakan menyerong yang halus. Angkat tangan kiri ke atas, bergantian dengan tangan kanan. Bagaimana? Mudah banget, kan?"

Tarian snowman sedang hangat-hangatnya di bumi. Ada tiga pasangan di kelasku yang sering mempraktekkannya. Tanpa sadar aku hafal sendiri, latihan dengan boneka (sadgirl).

Tadinya kupikir Kala kesulitan atau tak bisa mempraktekkan penjelasanku sama sekali, tapi hei, aku menelan ludah. Dia memahamiku dengan amat baik. Malahan gerakannya lebih mulus dariku. Gila, cepat sekali belajarnya.

"Apa kau ini keturunan bangsawan? Kenapa kau gampang sekali memperagakannya?"

"Aku memang sudah pintar dari sananya."

"Heleh. Berikutnya ayo pakai musik. Kau pasti akan menyukai lagu Snowman. Percaya deh."

"Terima kasih," bisiknya berdiri di belakangku.

Areee, apa ini. Ternyata Pangeran Angin yang  tidak punya ekspresi mau berterima kasih pada peri remahan sepertiku karena telah mengajarinya berdansa. Aku mengangguk—

"Telah datang ke dunia ini, Dandi."







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro