20* The Federate

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Air bah yang dipanggil Aquara perlahan habis. Mantra barusan telah memayungi akademi. Pasang demi pasang mata tertuju pada Kala. Dia melompat dari sapu terbangnya ke tanah, menatap datar Adair yang memerah emosi.

"Apa ini? Mereka juga punya sekutu dari Klan Penyihir?! Kahina, hancurkan pelindung itu!"

Kahina tidak lagi bermain ramuan, namun dengan mantra. Dia memanggil tongkat setinggi badannya, terbuat dari perak, kristal ungu yang sepertinya induk tongkat, dan di bagian lehernya terjulur pita putih-hitam. Sebuah tongkat sihir cantik yang menawan.

Tiga lingkaran magis terbentuk di udara, bersinar dan berputar-putar. "Ainfijar."

Kawah pelindung laksana kaca di sekeliling sekolah bergetar membuat kami di dalamnya ngeri. Kahina mencoba merusaknya dan berhasil! Mantra pelindung Kala mulai retak.

Seseorang menghampiri Kala.

"Kala... Kau..., " Parnox menatap cowok itu dengan pandangan yang sulit diartikan. "Kau penyihir?" Agaknya dia yang paling kaget.

Wakil Siofra mendekati Kala dan Parnox. "Kita bisa melanjutkan pembicaraan ini lain kali, tidak sekarang. Kita hampir kecolongan, maka dari itu kita tak boleh lengah kedua kalinya. Kala, apakah kau bisa mengamankan Dandi?"

Bisa. Kala mengangguk pendek.

"Blackfuror memiliki tujuan lain dan itu belum diketahui siapa pun. Verdandi harus segera pergi jauh dari sini. Pohon Neraida terbakar. Hanya dia satu-satunya harapan kita."

"Aku mengerti, Master Wodah—"

Prangg!! Pelindung oval buatan Kala sukses dihancurkan oleh Kahina. Gadis itu beringas mengarahkan tongkatnya ke arah Kala.

"Dyo Aichmiri Fotia." Mantra api menengah.

Tangan kanan Kala menghalangi Parnox yang ingin memindahkan sihir Kahina. "Romovto."

Mantra itu menghilang secepat kedipan mata. Kahina mengatupkan rahang. "Kala-La," gumamnya memandang pemilik nama datar.

"Kau tahu aku rupanya," sahut Kala. 

"Salah satu lulusan terbaik yang menolak kesempatan menjadi Penyihir Menara..." Inti tongkat Kahina menyala. Dia mengangkat tangan, siap menyerang. "Siapa yang tidak kenal? Ternyata rumor itu ada benarnya."

Rumor apaan? Kala mengernyit.

"Tentang kau yang memiliki murid dan terjadi kecelakaan tak diinginkan. Kau pun mulai bertualang mencari orang itu, kan?" Satu lingkaran sihir mengambang di depan Kahina, bersinar. "Colisio." Mantra tubrukan udara.

"Aku tidak tahu siapa yang memulai rumor sialan itu, tapi sepertinya kau sangat ingin membuatku marah." Kala berkata dingin.

"Kenapa kalian diam saja? Cepat bantu dia!" sorak Adair memerintahkan prajuritnya kembali menyerang Fairyda yang terpana akan pertarungan elegan dua penyihir itu.

Ketika fokus semua orang hanya tertuju pada Kala—terkejut tidak menyangka dia penyihir, Rinvi menghela napas panjang. "Jika Kala telah membeberkannya, maka aku tak perlu menyembunyikannya lagi. Sudah cukup lama aku tidak serius memakai kemampuan ini."

"Rinvi...?" Linda dan Gee yang kebetulan berada di dekatnya, berbinar-binar kaget melihat garis-garis hijau membalut sekujur tubuh cowok itu. Lambang Klan Druid.

Pasukan Blackfuror dikelilingi oleh cahaya hijau kekuningan yang melingkar mengepung mereka. Apa ini? Hendak mengeluarkan kekuatan, tidak bisa. Adair panik bukan main. Mereka tak bisa memakai kekuatan!

"FAIRYDA'S SIALAN! KALIAN JUGA MEMILIKI SEKUTU DARI KLAN DRUID?!"

Selain menyembuhkan, Bangsa Penjaga Hutan itu dikenal region yang netral dan suci. Rinvi telah mengkonfirmasinya bahwa selain penyembuhan, dia juga bisa menyegel.

"Cepat bawa Verdandi pergi, Kala! Ini hanya bertahan sebentar!" seru Rinvi mengingati.

Ah! Parnox tersadarkan—dia syok ada Klan Penyihir dan Klan Druid di wilayah bangsa peri. "Mamoru, Magara, sembuhkan yang lain! Peri yang tenaganya sudah pulih, kembali berdiri! Kita akan melanjutkan perang!"

"Pergi, Dandi! Selamatkan dirimu!"

Sina, Sebille, Rissa, dan teman-temanku yang lain menatapku serius. Cepat pergi, Verdandi! Begitu arti sorot mata mereka. Menyuruhku segera meninggalkan kecamuk perang.

Kala memegang lenganku. Parnox langsung mengaktifkan kekuatannya. Plop! Kami seketika pindah ke Aula Putih tempat Patung Kekuatan berada. Hanya ruangan ini yang tembok-temboknya masih berdiri utuh.

"Kau harus pulang, Verdandi," ucap Kala mulai melukis lingkaran sihir di lantai.

Aku mematung. "Apa... maksudmu?" bataku, menahan penasaran akan maksud obrolan Kala-Kahina soal murid dan kecelakaan.

"Di sini bukan duniamu. Kembalilah ke bumi," lanjutnya cepat, memastikan gambaran di lantai tidak salah seperti terakhir kali. Kalau meleset, dia bisa saja mengantar Swift Growers ke zona berbahaya. Sarang monster.

"Apa aku benar-benar tidak berguna di sini? Aku hanya jadi beban." Tanganku terkepal.

Kala berhenti melukis, menatapku yang menitikkan air mata namun mati-matian berusaha tersenyum. "Aku hanya pengecut yang kabur seperti anjing," kataku putus asa. Bagaimana bisa aku sungguh tak berdaya?

"Pengecut macam apa yang hampir mematahkan tangannya sendiri?"

Setelah Kala berkata begitu, baru lah aku sadar lengan kananku berurat-urat ungu. Aku mengerahkan segenap tenaga menumbuhkan puluhan bunga untuk menangkap peri yang berjatuhan kehilangan kemampuan terbang. Kenapa baru sekarang sakitnya terasa?

BUM! Di lapangan sana, Blackfuror berhasil melepaskan diri dari penyegelan Rinvi. Lupakan tentang strategi yang mereka susun. Mereka menyerang dengan buas dan liar. Walau hanya bertahan beberapa menit, Rinvi telah menciptakan momen berharga.

"Ini belum berakhir," gumam Kala.

Lingkaran sihir di lantai bersinar terang. Sebuah lubang kecil berdesing. Lubang itu lama-kelamaan membesar dan muat dilintasi oleh ukuran manusia dewasa. Kala sungguh menyelesaikan portal pulang untukku.

"Sekarang masuk." Kala menatapku yang enggan pergi. Maksudku, bagaimana bisa aku kembali ke bumi sementara yang lain sedang mati-hidup bertarung? Ini menyesakkan.

Aku iri dengan Kala. Di saat genting seperti ini, dia masih bisa bersikap tenang. Aku iri dengannya yang hebat. Aku iri dengan mereka yang bertarung dengan berani. Andai aku...!

"Verdandi, dengarkan aku. Kau akan membantu Fairyda jika kau pulang. Kau tidak dengar mereka punya tujuan lain dengan kekuatanmu? Jangan membuatku berbicara panjang lebar. Aku benar-benar tidak suka berbicara. Itu menghabiskan banyak energiku. Tubuhku ini tidak sekuat yang kau pikirkan. Malahan, jauh lebih lemah dari tubuh umum."

Huh? 46 kata. Ini mungkin rekor Kala berbicara sepanjang itu. Dan, hei, apa dia bilang barusan? Ternyata dia ngomong pendek selama ini karena memang ada sesuatu. Lalu, apa maksud kalimat terakhirnya? 'Lebih lemah dari tubuh umum'?

Bum! Dentuman keras mengayun Aula Putih. Mereka tahu aku dan Kala ada di sini.

"Tidak ada waktu lagi, Dandi."

Baiklah, baiklah. Aku akan mengesampingkan keegoisanku. Jika aku keras kepala yang tidak ada gunanya, bersikukuh menetap di sini, kelak Blackfuror akan menangkapku untuk menjalani rencana mereka yang apalah itu.

"Bawa Blessing Statue bersamamu."

Aku mengangguk, menyentuh patung tersebut. Kala melebarkan ukuran portal—supaya cukup mengingat patung itu tinggi, lantas menggesernya ke arahku.

Tubuhku hilang ditelan portal beriringan dengan jebolnya dinding Aula Putih.

Adalah Flamex dan Hayno yang datang.

"Alalah, Swift Growers sudah dipindahkan. Sayang sekali, dia takkan melihat pacarnya mati." Flamex geleng-geleng kepala dukacita.

Hayno diam. Enggan memprovokasi. Dari tadi dia merasa aneh dengan udara di sekitar mereka. Tekanan angin terasa menusuk.

"Ya, syukurlah Dandi sudah pergi." Flamex berhenti melontarkan perdom. Mereka menahan napas tegang demi melihat rambut serta mata Kala bercahaya. Lalu, simbol apa di keningnya itu? Berwarna aqua terang.

"Aku tidak ingin dia melihat sifat burukku."

*

Bruk! Portal tiba di tempat tujuan dalam hitungan detik, langsung menghilang seperti buih usai mengantar penumpang.

Aku terjatuh ke tanah lumayan kencang. Dapat kurasakan kakiku terkilir karena tidak mendarat sempurna. Karena kepepet, Kala tak sempat menyembuhkan atau memberiku Health Potion. Tangan kananku mati rasa.

Sakit, tapi tidak ada waktu untuk menangisi itu. Aku melirik ke sekeliling yang familiar.

Tunggu sebentar. Rerumputan setinggi badan, tanah yang gembur, dan suara riak sungai. Aku menelan ludah. Ini kan hutan di belakang sekolahku? Aku telah kembali. Aku sungguh pulang ke bumi. Kala memenuhi ucapannya. Dia melindungi dan memulangkanku.

Bulir air mata lolos dari pelupuk mataku, teringat apa yang sedang terjadi di Fairyda.

Semuanya, tolong selamatlah...
Dewa Asfalis, kumohon dengarkan doaku, lindungilah teman-teman dan guru-guruku. Aku mohon. Di mana pun Engkau berada...

Kutahan isakanku, berusaha berdiri, namun tidak bisa. Kakiku keseleo. Aku teringat sesuatu. Kulirik punggungku, melebarkan mata. Sayapku... tidak hilang? Meski kujur dan berat, sayapku tidak lenyap.

Apa yang terjadi? Kupikir karena kembali ke bumi sayap periku akan menghilang.

Kesiur angin menerpa wajah. Aku pergi ke dunia lain saat senja, aku pulang ke bumi saat senja pula. Harusnya aku senang, tetapi perasaan hampa apa ini? Harusnya aku bahagia bisa bertemu Mama dan Papa lagi, tetapi kenapa hatiku menginginkan kembali ke Asfalis? Apa yang salah denganku?

Sebenarnya rumah asliku yang mana? Apa aku terlanjur menyukai diriku sebagai peri? Apa aku terlanjur jatuh cinta dengan Asfalis? Mataku memanas lagi. Menangis lagi.

Aku menatap kakiku yang terkilir sambil meringis. Kabar baiknya kekuatanku masih ada, tidak menghilang. Aku menumbuhkan tanaman bebat dan beralih mengobati kakiku.

Yang terpenting sekarang aku harus ke rumah sakit dulu. Aku takkan bertahan dengan kaki dan tangan terluka. Yang satu patah, yang satu terkilir. Tiap aku bergerak, tulangku seperti memekik sakit. Masalahnya sayap ini.

Aku senang sayap itu masih ada yang menandakan aku masih seorang peri. Tapi latarnya tidak pas untuk bersorak hepi.

Ini bumi, di mana eksistensi peri tidak nyata. Akan terjadi bencana kalau mereka tahu ada manusia bersayap. Belum selesai masalahku di Asfalis, muncul masalah baru di Bumi.

Aku melipat sayapku dan membungkus badanku mengunakan jubah nan kumuh. Apa pun yang terjadi di dunia lain akan kupikirkan nanti-nanti. Aku harus berpikir dewasa.

Kini tujuanku adalah memulihkan diri.





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro