34* Angel Wings

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku menjelaskan situasinya dengan cepat kepada Kala. Aku benar-benar tidak menyangka dia akan menyusulku kemari. Apakah sangat mudah bagi penyihir untuk melakukan hal-hal yang mereka mau? Dasar. Padahal dia tidak perlu merepotkan diri.

"Kita harus cepat ke kastel!" seru Cathy.

Selagi mereka memimpin jalan, aku menarik tangan Kala. "Singkirkan tongkatmu, Kala. Kau tidak dengar penjelasanku? Kita akan—"

"Aku tahu," tukasnya dingin. "Modifilo." Kala menyulap penampilannya menjadi... Hampir saja aku kelepasan tertawa melihatnya berubah jadi perempuan. Kami seperti sedang tukar gender. Duh, ini terlihat menggelikan.

Flamex geram. "Kenapa dia ikut-ikutan?!"

"Aku tahu kalian berdua," Kahina menunjuk Flamex yang dari tadi mengomel dan Hayno yang mendadak cosplay jadi patung. "Punya sejarah kelam dengan Kala. Tapi, ada untungnya Kala di sini. Dia penyihir yang kuat. Kala pasti akan berguna untuk misi ini."

Apa Kahina serius? Kala hampir membunuh mereka berdua dan dia membiarkan lelaki dingin nan mengerikan itu satu tim dengan Flamex-Hayno? Di manakah letak hati nurani.

Promy menatap takut Kala yang berjalan pelan sambil memejamkan mata. "K-kau harus mengikuti skenario kami. Kalian adalah peri pemula. Nama Verdandi adalah Nedax, lalu nama Tuan Kala-La adalah Feyette."

"Panggil aku Kala saja."

Nedax, hmm? Kedengaran gagah. Aku cengar-cengir tak jelas. Kukasih jempol pada Promy yang kreatif mengarang nama.

Ujung mata Kahina melirik Kala yang kesal kenapa harus mengubah diri jadi cewek. Dia melakukannya tanpa berpikir lebih dulu. Semacam refleks yang tak terelakkan.

"Wajah yang kau pilih itu..." Kala berhenti memperbaiki roknya, menatap Kahina yang serius. "Penyihir Pelangi, Jasha-Ha, kan?"

"Bukan urusanmu," sahut Kala ketus. Entah kenapa semenjak Kala datang ke sini, dia lebih dingin dari hari-hari biasa. Kenapa, ya?

Aku mengabaikan percakapan mereka—daku peri, bukan penyihir. Atensiku direbut oleh bangunan besar di hadapan kami. Inilah sarang Blackfuror. Sebuah istana dua tingkat dan memanjang ke samping seperti huruf L yang dilandasi warna merah dan hitam. Rahangku mengeras melihat bendera 'sayap robek' tergantung di halaman. Ikon mungkin.

Gerbang dengan lebar enam meter terbuka secara otomatis, mempersilakan kami masuk. Aku bisa melihat peri-peri di sana sempat berhenti beraktivitas, menatap kami, lalu lanjut bekerja. Menghiraukan. Mereka sudah kenal Kahina, Hayno, Flamex, dan yang lain.

Mereka bergantung pada Hello Matahari buatan Kahina sampai lupa kalau mereka memiliki sayap di punggung. Katakan sialan pada Adair menyuruh Flamex membakar Pohon Neraida membuat sayap kami mati.

Tenanglah, Verdandi. Kami dapat terbang kembali usai semua perkara kompleks selesai.

Gyut! Kala menarik pelan jubahku. "Apa?" Dia menunjuk wajahku. Aku heran, apakah muka pilihanku seaneh itu? Padahal aku tidak benar-benar melihat wajah laki-laki itu.

Tapi aku tak bisa mengelak kalau wajah orang yang tak kukenal ini... Uhuk, kegantengan.

"Temanmu di bumi?" bisiknya halus.

Eh? Aku menggeleng kagok—belum terbiasa dengan rupa baru Kala. "Tidak." 

Flamex menyela (aku dan Kala langsung jaga sikap), akhirnya ngeh sama wajah pilihanku. "Kau melihat wajah laki-laki aneh itu? Cih! Dia punya kemampuan yang menyebalkan! Bahkan dia kebal dengan api. Immortal pasti."

"Jangan melampiaskan amarahmu padaku, Flamex," decakku sebal. "Aku bersumpah aku tak kenal laki-laki asing itu. Tiba-tiba datang melindungiku lalu tiba-tiba menghilang."

"Melindungi?" Flamex bergidik ngeri saat Kala menolehkan kepala ke arahnya. Hiy!

Aku mengangguk-angguk. Bibirku mengukir senyuman kecil jika mengingat laki-laki itu. "Siapa pun dia, yang jelas dia orang baik."

Kala mendengus. Mendahului Flamex.

Anak itu kenapa sih dari tadi? Kek lagi PMS.

*

Kalau di Fairyda pengawas peri pemula adalah Madam Shayla, di sini seorang wanita paruh baya bernama Cindyla. Dia bergeming di dalam posnya, menatap datar aku dan Kala.

"Kami menemukan peri baru lahir saat berpatroli, Cindyla. Dia Nedax, di sebelahnya Feyette." Hayno menjelaskan sesuai skrip.

"Langsung berkumpul di halaman. Adair hendak membuat pengumuman. Hayno dan Flamex, kalian penanggung jawab Nedax. Aquara dan Kahina, kalian urus Feyette. Antar mereka ke kamar yang telah disediakan usai pengumuman disampaikan. Silakan pergi."

Ck. Kala berdecak pelan. Kesalahan besar dia menyamar dengan tubuh cewek. Ceroboh.

Hayno hati-hati menggenggam lenganku. Sementara Kala dipegang Cathy. "Kita tak boleh terlambat! Adair itu peri yang curigaan."

Suasana di lapangan kastel tidak jauh kalah meriahnya di Fairyda. Aku berhitung dalam hati berapa total jumlah prajurit Blackfuror, tapi astaga... Aku mengusap wajah. Lebih dari seratus. Astaga, banyak sekali pasukannya.

"Diam!" Adair memimpin meeting tersebut. Tanganku terkepal hanya demi melihat wajahnya yang sangat sangat jelek. Puh!

Semua peri di halaman sontak diam.

"Tiga hari lagi kita akan Perang Besar dengan Fairyda. Ketua sudah tidak bisa menunggu lagi. Kita akan menghancurkan Fairyda dan merebut Swift Growers." Tiada mukadimah, Adair segera membahas inti sari pertemuan.

"Ya!" Mereka menjawab serempak.

"Ya!" Aku mengatupkan rahang, pura-pura semangat seperti yang lain. Perang Besar dalam tiga hari lagi, huh? Baguslah aku ke sini. Aku mendapat informasi terbaru. Dan...

Ketua tak bisa menunggu lagi? Maksudnya?

"Jangan sampai mati," kata Adair pendek. "Rapat selesai!" Dia membubarkan barisan.

*

"Halo, Nedax! Salam kenal! Kau ganteng banget. Matamu merah sirah! Warna langka!"

Entah bagaimana caranya mereka langsung tahu ada 'dua peri pemula' bergabung ke Blackfuror. Aku dan Kala dibimbing Aquara ke ruang kreasi, kemudian kami mendadak dikerubungi peri-peri di sana. Kahina berbisik menjelaskan bahwa dia memakai suatu mantra agar semua peri di markas mengetahui informasi-informasi terbaru. Perintah Adair.

"T-terima kasih," ucapku bata. Sungguh, aku benar-benar tak melihat wajah laki-laki itu. Aku hanya teringat sekilas. Ramuan Kahina lah yang menyempurnakan penyamaran ini.

"Feyette, kau juga. Selamat datang."

"Hmm," sahut Kala datar plus malas.

"Aquara, Kahina, kalian bisa pergi sekarang. Aku akan mengambil alih, mengantar Feyette dan Nedax ke kamar mereka. Ah, namaku Titania. Panggil saja aku Tita atau Nia. Aku pemandu kedua setelah Cindyla. Salken."

Aku tersenyum. "Salam kenal, Tita."

*

Aku bersyukur Titania tidak banyak bertanya saat mengantarku ke asrama laki-laki, dan mengantar Kala ke asrama perempuan. Mengingat keadaan konyol kami berdua saat ini sungguh membuatku hampir kelepasan tertawa lagi. Lumayan seru juga tukar gender.

Tetapi aku tak punya waktu untuk bersorak hepi, terlarut senang dengan suasana di kastel Blackfuror yang tadinya kukira menyeramkan.

Aku begadang selama tiga jam. Berkat kekuatan keduaku, aku memiliki CCTV di mana pun aku berada. Terima kasih sudah memberikanku keberuntungan, Sang Dewa!

Sekarang pukul dua pagi. Waktu yang tepat untuk mencari lokasi Sayap Malaikat. Adair pasti merencanakan pembuatan sayap tersebut di istana ini, di suatu tempat rahasia.

"Kau mencari ruang misterius di kastel ini? Mudah. Itu berada di rubanah, basemen." Demikian laporan dari dinding lorong.

Aku keluar hati-hati dari kamar, tidak lupa mengucapkan terima kasih ke tembok. Atas usulnya, aku melangkah diam-diam menyusuri koridor yang dilewati Adair saat bubar dari rapat. Tiga jam takkan membuatku amnesia.

Setibanya di penghujung lorong, aku dibuat bingung karena ada dua kelokan di sana. Aku harus lewat mana? Kiri kah? Atau kanan?

Aku memasang telinga baik-baik. 

"Kau lihat pot bunga di depanmu? Salah satu daunnya adalah kunci pembuka. Kalau tidak salah, mungkin daun baris kedelapan."

Huh, apa-apaan ini? Belokan kiri dan kanan ternyata cuman pengalih. Adair pria yang sederhana rupanya. Aku pun duduk jongkok, menuruti informasi dari teman-temanku.

KLEK! Terdengar suara katup terbuka. Suatu layar digitalisasi mirip teknologi AI di bumi muncul begitu daun yang kusentuh turun ke dasar pot. Aish! Aku mengumpat tertahan dalam hati, terlalu menganggap enteng.

Kata sandi. Mustahil Adair tak memakainya.

"Aduh! Ini romawi atau apaan sih? Aku tak mengerti tulisannya!" bisikku gemas. Aku menatap tembok di depanku. "Kau tahu?"

"Ada yang datang! Cepat sembunyi!"

Sial! Sial! Manikku bermain ke sekeliling. Wahai! Tak ada apa pun yang bisa kujadikan tempat persembunyian! Rahangku mengeras. Kepepet, aku pun menumbuhkan daun-daun di pot itu lebih lebat lagi dan panjang lantas mengumpet di baliknya. Dua peri tengah bersenda gurau. Mereka berbelok ke kanan.

Bagus! Mereka tidak menyadariku.

Tembok memberiku nomor kuncinya. Adair selalu menekannya di hadapan dinding yang baginya hanya dinding semen tak berguna.

Sebuah pintu petak menjorok ke permukaan lantai pun terpampang. Ini jalan masuknya. Sekali lagi aku memperhatikan sekeliling. Setelah memastikan tak ada siapa pun, aku membuka pintu tersebut dan masuk ke sana.

Sayap peri bercahaya dalam kegelapan. Aku bisa melihat dengan jelas walau di bawah sini gelap gulita dan... Ukh, dingin! Untung aku masih jadi cowok yang memakai celana.

Dinding di basemen itu terbuat dari batu-batu yang disusun dan direkatkan entah pakai apa. Mungkin mereka kehabisan semen. Aduh, aku terkekeh garing dengan guyonanku sendiri. Mana ada semen di dunia fantasi atuh, Dandi.

"Di sini! Di sini! Masuklah ke sini!"

Aku menoleh ke tangga yang menuju ke dasar. Seberapa dalam basemen ini? Tidak seperti penjagaan di luarnya yang gelap, di sana diterangi oleh lampu lentera dan petromaks yang cantik. Berbaris rapi menerangi jalan layaknya negara London. Atau mirip Paris.

"Kusarankan jangan bersuara, lebih-lebih menjerit. Ruangan ini akan menggemakan suara apa pun tak peduli frekuensinya kecil."

Baiklah. Aku terus menyusuri lorong yang disorot lentera. Di depan, aku bisa melihat cahaya menyilaukan mata. Pasti di sana...!

Aku terperangah, mematung kaget. Mataku berbinar-binar tak percaya menyaksikan pemandangan spektakuler di depanku sekaligus membuat semua bulu romaku tegak.

Sepasang sayap angsa putih ukuran raksasa diletakkan di bundaran kasur nan lembut yang mengambang satu meter dari lantai. Gelembung Gnosia—benda yang menyedot kekuatan dan sayap peri—berada tepat di atasnya. Mereka terlihat saling mengalirkan energi. Ada layar dengan angka 9.998/10.000.

"Inikah... Sayap Malaikat?" Aku terbata.

Seperti namanya, sayap ini sangat indah.





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro