35* It Takes 10.000 Wings

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Astaga... Gelembung Gnosia mengeluarkan suara letupan, mengirim energi dalam intinya kepada Sayap Malaikat. Itu disalurkan menggunakan lima pita hitam yang terjulur di sudut-sudut sayap tersebut. Aku merasa ganjil sendiri demi melihat keindahan sayap putih malaikat memukau di tempat yang salah.

Lalu, apa arti kalibrasi 9.998/10.000 ini?

"Cepat sembunyi! Tuan Adair datang bersama seseorang!" celetuk meja yang ada di sana membuatku berhenti terpana cengo.

Sial! Tidak ada ruang untuk tersembunyi! Sementara itu, aku bisa mendengar suara telapak kaki yang mendekat. Aku akan—

"Sini! Sembunyi di dalamku!" Lemari yang menyatu ke dalam dinding membuka kedua pintunya. Aku mengangguk cepat, segera berlarian kecil. Lemari menutup dirinya secara otomatis bertepatan dengan datangnya Adair ke laboratorium miliknya. Fiuh! Nyaris saja.

"Terima kasih, Lemari," bisikku sangat pelan.

"Jangan sampai berpikir, wahai. Wanita bersama Adair itu adalah peri yang mengambil kekuatan Mind Reader. Namanya Mindre."

Duh? Aku menelan ludah. Bakal susah nih menahan benakku untuk tidak 'bersuara'. Aku kan terkenal dengan sifat dan mulut cerewet.

"Amaras sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi, Adair. Beliau ingin cepat-cepat melekatkan sayap ini ke punggungnya. Naik ke Sabaism dan melaksanakan rencana kita."

Hmm? Amaras itu siapa? Aku mengintip.

"Re, Kau bisa membaca pikiranku, kan? Aku juga ingin sayap ini akhirnya terpasang di punggung Nyonya Amaras. Beliau pasti akan cantik dengan sayap malaikat. Tapi Mindre, selain kekurangan dua sayap lagi, kita butuh artefak Bunga Kemurnian. Tanpa elemen itu sayap ini takkan pernah sempurna. Dan kau tahu persis, kita sama-sama tidak tahu bunga jenis apa itu. Makanya kita perlu kekuatan Swift Growers yang bisa menumbuhkan bunga apa pun. Tolong pahami aku, Mindre."

Huh? Bunga Kemurnian? Bentar, maksudnya bunga polianthes tuberosa? Ada mitos di Bumi bunga sedap malam bisa mengundang malaikat. Tak kusangka itu harfiah di sini.

"Amaras sudah bilang pada kita, Adair. Untuk dua sayap terakhir, harus milik Swift Growers dan Alkaran. Tidak boleh peri lain."

"Alkaran tidak terdeteksi sampai sekarang. Anak bernama Parnox memindahkannya ke tempat jauh. Kekuatan yang menyebalkan."

Tadi Amaras, kini Alkaran. Siapa sih??

Tunggu, aku baru sadar. Dari tadi mereka menyebut sayap-sayap mulu. Jangan bilang?! Aku menoleh tegang ke panel yang menunjukkan angka 9.998/10.000, menelan ludah. Mungkinkah nomor itu adalah...

... Jumlah peri yang sayapnya diambil?

Aku menutup mulut, mulai mengerti. Mereka butuh Bunga Kemurnian dan 10.000 sayap peri untuk menggerakkan Sayap Malaikat!

"Baik. Jika situasinya tidak memungkinkan, pilih saja satu peri berharga di tim kita dan ambil sayapnya. Semakin berkualitas sayapnya, semakin bagus pula energi yang di dapatkan. Bagaimana? Apa kita sepakat?"

Adair menyeringai. "Ide bagus."

*

Aku menceritakan semua informasi yang kudapatkan kepada Hayno, Kahina, Flamex, dan yang lainnya. Rahang mereka mengeras. Mereka hanya dimanfaatkan oleh Adair.

"Jadi kita hanya budaknya saja? Bagaimana dengan sayap yang dijanjikan? Ketua tidak benar-benar akan memberikannya?"

Aku menggeleng tidak tahu. Hanya itu yang kudengar dari percakapan mereka berdua, dan hanya itu saja yang mereka bahas.

"Dandi, kita harus kembali. Kita sudah terlalu lama di sini." Kala berkata pelan. Dia sudah balik ke penampilannya yang semula.

"Kala benar. Kalian harus kembali ke markas Fairyda. Beritahu juga informasi ini ke teman-teman kalian. Sementara kami akan memikirkan langkah selanjutnya. Kita tak boleh membiarkan Adair mencapai misinya. Apa pun itu, boleh jadi merugikan."

Aku mengangguk. Kala memanggil tongkat sihirnya. Dia suka menyihir pakai tongkat belakangan ini. "Moveritox," bisiknya pelan.

Kami menghilang dari kastel Blackfuror.

*

Aku mengerjap, terbangun di bunga tulip, rumahku di Lembah Koilos. Itu sudah jelas karena aku meninggalkan tubuhku di sini. Entahlah Kala ke mana menghilangnya.

"Bunga Kemurnian, huh?"

Hufft. Aku keluar dari rumah tulip. Dengan langkah kosong, aku berjalan kaki menuju gedung sekolah. Pikiranku terpatok pada obrolan Adair dan Mindre yang mengganjal. Aku bersyukur mereka tak tahu itu bunga apa.

Secara pribadi, aku belum pernah melihat ataupun menyentuh bunga sedap malam itu. Aku hanya mendengar namanya saat Mama ingin membeli tanaman penghias. Mama memang suka berkebun, hobi dari kecil.

"Verdandi!" Sebille memanggil.

Belum juga aku sempurna menoleh, Sebille memelukku. Aku tersenyum sumringah. "Kau belum tidur, Sebille? Ini sudah malam."

Sebille menggeleng. "Aku sangat antusias dengan kekuatan baruku sampai-sampai tidak merasa mengantuk sama sekali. Kau tahu, Dandi, aku bisa teleportasi seperti Parnox. Dia terkagum-kagum, mengira aku mengopi kekuatannya. Padahal aku cuma meminjam."

"Baguslah kalau kau menyukainya."

"Tapi, Dandi, sudah kuduga ini sangat aneh... Maksudku, kenapa kau bisa menukar kekuatanku dan Houri? Apa kau sebenarnya utusan dari Sabaism?" tanya Sebille serius.

Aku tertawa geli. "Kalau aku utusan, harusnya sudah lama aku menyelamatkan Fairyda."

"Eh, benar juga." Sebille cengengesan.

"Sebille, apa kau tahu siapa itu Alkaran?"

Temanku yang cengeng itu seketika membulatkan mata, menatapku kaget. "Kau belum tahu beliau? Kala belum kasih tahu? Alkaran itu pemimpin Fairyda, Dandi!"

Glek! Aku menelan ludah. P-pantasan saat mendengar nama beliau, aku merasakan tekanan yang samar di sayapku. Lalu...

Alkaran? Nama yang kuat dan kedengaran tampan. Aku pasti sudah gila berpikir yang aneh-aneh tentang pemimpin Fairyda.

Aku menggeleng cepat. Bisa kena cecar aku jika berpikiran mesum (apa itu bisa disebut mesum?) tentang beliau. "Kalau Amaras, dia siapa?" Aku bertanya satu nama terakhir.

"Dari mana kau tahu nama itu?"

Kami terkesiap, menoleh. Astaga! Parnox! Dia bersama... Kala?! Jangan-jangan dia sudah...

"Kala sudah menceritakan semuanya, soal kencan kalian ke markas musuh. Applause! Pergi tanpa izin dariku. Bagus sekali."

"Kami tidak berkencan!" sergahku, beralih menatap Sebille yang mencerna kalimat Parnox. "Begini Sebille, jangan panik dulu... Ada Kala bersamaku. Aku baik-baik saja. Lihat, buktinya aku berada di sini sekarang."

Parnox melirik Kala yang berdeham kikuk, merotasikan kedua mata jengah. "Amaras itu pemimpin Blackfuror. Dia dan Tuan Alkaran adalah mantan partner di ibukota Klan Peri."

"Mantan partner?" Aku mengernyit.

"Ck. Aku juga tidak tahu kisah lengkapnya bagaimana," kata Parnox terlihat malas. "Tuan Alkaran enggan untuk bercerita."

Rasanya aku ingin melempar kepala Parnox dengan sesuatu. Sifat angkuh dan nada suaranya itu lho, bikin geram. Aku menelan bulat-bulat emosiku. Sabar, Dandi, sabar.

"Kalau Kala sudah memberitahu semuanya, maka kau juga tahu tentang Perang Besar yang akan terjadi tiga hari lagi. Apa Tuan Alkaran takkan melindungi negerinya?"

Parnox mendesah panjang. "Kau pikir aku ngapain ke sini? Itulah yang akan kulakukan sekarang. Sebille, kau mengambil kekuatanku 30% kan? Kembalikan. Aku butuh stamina prima untuk ke tempat Tuan Alkaran," katanya, menyodorkan tangan ke Sebille.

Sebille mengangguk, menerima uluran tangan Parnox. Aku menaikkan satu alis ke atas. Mengapa mereka saling canggung begitu?

"S-sudah selesai," gumam Sebille.

Ekhem. Parnox memakai tudung jubahnya. "Kalau begitu aku pergi dulu. Sepertinya akan membutuhkan dua hari untuk kembali. Kala, kau mengambil alih jabatanku sementara."

"Kenapa harus aku?" Kala tidak sudi.

"Kau kan penyihir yang hebat," ujarnya nyarkas dan BOFF! Parnox pun menghilang.

Sebille berbisik, "Mungkin hanya Parnox yang bisa bersikap seperti itu pada Kala."

Aku mengangguk. "Setuju." Kali saja Parnox sudah terbiasa menghadapi orang-orang berkepribadian dingin plus statis kayak Kala.

Kepalaku tertoleh, menatap serius Sabaism.

Kira-kira apa tujuan Amaras ke Sabaism? Apa yang dia inginkan? Aku mengepalkan tangan. Ini akan jadi perang yang terakhir.

*

Pagi hari, aku meminta izin pada Kala untuk ke pondoknya mengambil ranselku. Aku pergi bersama Ondina. Langit terlihat mendung. Aku harus cepat sampai dan cepat pulang.

Tidak ada siapa-siapa di sana. Jelas lah. Toh, penghuninya di tempat lain. Langsung saja aku mengambil ponselku. Baterai tersisa 29%. Aku telah mengaktifkan mode hemat daya.

Tapi bagaimana cara aku mengakses internet? Jaringan X begini. Apa aku minta tolong ke Kala memakai sihir petir? Eh, jangan deh. Bagaimana kalau ponselku malah jadi rusak. Aku beli nyicil pakai uang tabunganku sendiri.

Kukeluarkan buku berjudul 'Ensiklopedia Flora' yang Papa belikan di bazar buku SMP dulu. Tak ada salahnya aku membawa buku ini ke sekolah setiap hari. Mayan berat sih. Tapi tidak mengapa. Ada gunanya kan sekarang.

Aku membaca katalog daftar. Bunga berinisial P berada di halaman 201. Segera kubalik halaman buku. "Polianthes Tuberosa, bunga macam apakah kau? Perlihatkan padaku."

Desahan kecewa lolos. Aku mengernyit sebal. "Di mana gambarnya?! Yang kubutuhkan itu ilustrasinya woi! Bukan sekadar sejarah dan namanya doang! Itu mah aku juga tahu! Sia-sia Papa membelikanku buku ini. Argh, kesal!"

Proyek Sayap Malaikat. Pemimpin Blackfuror yang bertujuan naik ke Rumah Dewa. Perkara ini semakin meluber saja. Apa tujuannya?

Aku melirik novel 'Lady Joy' di meja. Covernya sungguh berkelas. Duh, jadi pengen baca.

"Kalau aku jadi kau, aku takkan membacanya. Buku dongeng itu penyulut emosi," celetuk Kala berdiri di pintu. Sejak kapan dia datang?

"Hah! Kau pikir sudah berapa banyak manga, manhua, dan manhwa menyedihkan yang kubaca di Bumi? Aku ini pro kontrol emosi."

Beberapa saat kemudian...

Brak! Kubanting novel Lady Joy ke lantai kayu. Ngamuk. Kala duduk minum teh di ruang tamu, sudah memperkirakan reaksiku yang tetap membaca karangan anak muridnya itu.

"Cerita angst macam apa ini?! Tidak keluarga, tunangan, semuanya brengsek! Bagaimana mungkin hidup protagonis begitu sengsara?!"

"Aku bilang juga apa. Emosi kan. Ash itu ahlinya bikin ubun-ubun ingin meledak."

Alkisah seorang putri yang tidak dianggap keluarga sendiri. Namanya Joy Lumina Rose Epione. Duke dan Duchess Epione lebih mengagungkan saudara-saudara Joy yang berbakat dalam bidang politik dan berpedang. Bahkan mereka lebih peduli pada adik tiri Joy.

"Kau harus mengeluarkan authornya (Ash) dari novel itu, Kal. Aku ingin mengebuknya."

"Kau tak baca tulisan super kecil di bawah paragraf?" Kala kampret malah santai minum teh, mengabaikanku yang lagi mode ngamuk.

<Anda tak perlu mengkhawatirkan saya lagi, Guru Kala. Aku bisa menjaga diri di sini.>

"Maksudnya dia nyaman di dunia novel? Eh, hei, itu berarti alur ceritanya bakal berubah dong kalau penulisnya ada di situ?" Seketika emosiku barusan menguap entah ke mana

Kala hanya mengangguk. Melamun sebentar.

"Berarti Ascal tidak meminta diselamatkan. Kalau begitu kenapa Sinyi bilang kau ke Klan Peri untuk—" Aku menatap Kala datar. "Jadi, kau nganggur sekarang? Tidak punya tujuan hidup? Kau berpura-pura punya pekerjaan."

Kala terbatuk-batuk. Tersedak air teh.

"Apa kau tidak kesepian?" tanyaku prihatin.

"Dulu, setelah aku membaca pesan Ash. Tapi sekarang aku sudah punya tujuan baru."

"Oh, ya? Apa itu?" Aku semangat menunggu.

Kala tersenyum miring. "Rahasia."

Duk! Tanganku bergerak spontan melempar novel itu ke wajahnya. Dia terhuyung dan ambruk. Aku melotot. "Eh?! Kala?! Kau tidak apa-apa?! Kukira buku ini ringan! Kalaaaa!!!"

Verdandi lupa kalau dia itu cukup atletis.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro