36* Preparation

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

H-2 sebelum Perang Besar.

Semalam aku tidur jam empat pagi dan bangun jam enam. Iya, aku hanya tidur selama dua jam karena suara berisik di akademi. Semua orang sedang sibuk latihan. Skala perang satu ini tidak seperti pertarungan sebelum-sebelumnya. Ini adalah perang terakhir. Bagaimanapun kami harus menang.

Aku beranjak bangun, menatap kedua sayapku yang sudah tidak berguna semenjak insiden terbakarnya Pohon Neraida. Kuelus mereka, tersenyum lembut. "Kalian pasti gatal ingin terbang, kan? Jangan khawatir. Setelah semuanya terakhir, kita akan terbang sepuas dan sejauh yang kita mau. Paham?"

Katakan saja aku peri gila yang mencoba berbicara dengan sayapnya sendiri. Bukan seperti itu cara kerja kekuatan keduaku.

Turun dari ranjang gantung, aku segera mengganti pakaian tidurku. Sebenarnya Fairyda tidak selalu menyuruh kami mengenakan seragam resmi setiap hari. Kami bebas memakai apa pun di luar jam penting—contohnya sekarang, agenda latihan.

Kutatap pantulan diriku di cermin. Aku terus mengatakan rambut Sina terlalu panjang, sudah layak untuk dipotong supaya tidak gerah dan leluasa bergerak. Tapi aku tidak sadar diri bahwa rambutku juga panjang.

Kuambil karet dan kukepang habis rambutku sampai ke ujung kemudian membiarkannya tergerai di punggung. Saat pulang ke Bumi nanti, aku akan memotongnya sekaligus salon. Sudah lama aku tidak creambath.

"Mama, Papa, tunggulah aku sebentar lagi. Setelah perang ini selesai, aku pasti pulang."

Karena duniaku di Bumi, bukan di sini.

+

AUTHOR PoV

Sementara itu di bengkel sihir Kahina, juga tengah menyusun rencana. Peri-peri yang akan meninggalkan Blackfuror di antaranya: Hayno (jelas), Aquara, Promy, Cathy, dan Vidi. Dia malas diperintah melulu sama Adair. Lagi pula Vidi tidak begitu menginginkan sayap.

Tunggu. Sepertinya kurang satu peri lagi.

"Ayolah, Flamex, jangan malu-malu kucing begitu. Kami tahu kau sebenarnya menyesal harus mengkhianati Fairyda demi gadis kecil itu, kan? Kau ini sebenarnya pria yang baik." Alis Aquara naik-turun, menggoda Flamex yang bimbang akan bergabung atau tidak.

Benar. Saat masih di Fairyda dulu, Flamex bertemu dengan anak kecil dari Klan Druid yang bertualang ke Klan Peri karena ingin meminta sayap. Tapi setelah tahu ibukota hanya menyediakan sayap pada petualang, anak itu tidak punya tujuan lagi. Flamex tak tega dan akhirnya bergabung ke Blackfuror.

"Aku yakin Fairyda akan memaafkanmu setelah tahu tujuan aslimu," kata Aquara merangkul bahu Flamex. Padahal mereka tidak boleh bersentuhan karena kekuatan keduanya saling bertolakan satu sama lain.

"J-jangan sentuh aku, Aquara. Tubuhku terasa menggelegak." Flamex mendengus, lalu tersenyum pada Aquara yang buru-buru melepaskan rangkulannya. "Mungkin kau benar... Kuharap ada kesempatan untukku."

Kahina dan Hayno saling tatap, tos tinju. Mereka sempat cemas Flamex tak setuju.

"Bagaimana dengan Laila dan Raibi?"

Cathy menggeleng, mendesah. "Aku tidak lihat mereka dari semalam. Aku rasa Laila dan Raibi takkan mau berpaling. Mereka berdua peri yang setia demi mendapatkan sayap."

"Sayang sekali. Padahal kekuatan Raibi amat bermanfaat dan berguna." Promy menghela napas pendek. Mereka juga tak bisa memaksa dua peri yang bersangkutan. Bukan masalah mudah untuk membelot dari Blackfuror.

Ditambah, Laila dan Raibi itu punya orangtua angkat (warga biasa) dari Klan Penyihir. Makanya mereka amat menginginkan sayap.

"Jadi, bagaimana caranya?"

"Pertama-tama kita harus tahu siapa tumbal yang akan diambil sayapnya oleh Adair."

*

Aku menutup buku, mengembuskan napas. Itu sudah buku ke-3 kubaca, tidak ada satu pun teori tentang Bunga Kemurnian. Apa benar Asfalis tidak punya pengetahuan tentang bunga sedap malam? Sial, andai aku tahu bentuknya pasti sudah kutumbuhkan.

Swift Growers bisa menumbuhkan apa pun. Apakah itu artinya kekuatanku mampu membuat Bunga Kemurnian tanpa harus tahu rupa bunganya? Sudah kucoba tadi, tapi tidak ada yang terjadi. Aku merasa bodoh sendiri.

"Sudah kuduga kau di sini, Verdandi."

Aku menoleh, berkacak pinggang. "Ah, Rinvi. Sudah lama tidak bersua. Kau sepertinya sibuk sekali di Divisi Kesehatan—?!" Mataku melotot melihat sayap di punggungnya hilang. "Apa yang terjadi? Ke mana pergi sayapmu?"

"Efek ramuannya sudah habis tadi malam. Kala berniat akan membuatkanku sayap baru, tapi aku menolaknya. Aku lebih suka jadi diriku sendiri, keturunan Klan Druid. Lagian aku benci ketinggian. Pobia kan sebutannya?"

Aku mengangguk. Adalah benar.

"Kau sama Linda bagaimana?"

"Begitulah." Rinvi menggaruk kepala malu, mengulas senyuman. "Gadis itu berkembang pesat. Kini Linda bisa membuat puluhan tombak dan pedang. Bahkan dia sudah bisa merubah benda tajam jadi senjata. Linda selalu melapor setiap kali dia meningkat."

"Fufufu~ Harus yang tersayang dulu dikasih tahu." Aku bersenandung menggoda.

"B-bukan begitu..." Pembelaan yang lemah. Jangan-jangan Rinvi sudah jatuh hati lagi.

Gee masuk ke pustaka bersama seseorang. "Ah, ada Kak Rinvi dan Kak Dandi rupanya. Selamat pagi," tegurnya hormat. Anak ini punya nilai etika yang tinggi. Aku respek.

"Siapa?" Rinvi menatap cowok yang datang barengan dengan Gee. "Pendatang baru?"

Gee mengangguk. "Namanya Akun. Dia langsung mendapat kekuatannya. Mungkin Akun adalah peri pertama yang mendapat kekuatan begitu dilahirkan. Keren, bukan?"

Tidak, itu aku. Dan aku dilarang memberitahu.

Aku bersedekap, menatap Akun dengan pandangan menyelidik. "Namanya aneh. Apa kekuatannya berhubungan dengan data?"

"K-kok Kak Dandi tahu?" Gee menatap Akun yang hanya menampilkan mimik datar. "Dia
Analysis Eye. Akun bisa melihat informasi seseorang lewat tatapan matanya."

Kulihat mata Akun menyala. Gawat! Aku langsung bersorak, "Oh benar! Aku lupa harus bertemu Sina, Sebille, dan Rissa! Aku pergi dulu. Kalian semangat ngobrolnya!"

Bisa ketahuan kalau aku Double Power.

*

"Houri! Kembalikan ukuran tubuhku! Aduh, aku sedang latihan tahu." Aku mendengar suara decakan Rissa dalam spektrum kecil.

"M-maaf aku masih belum terbiasa dengan kekuatanku..." Houri berkata kikuk. Dia tak sengaja mengecilkan Rissa sebesar kucing.

"Kau ini kan Adept. Kenapa mendadak payah begitu?" cibir Rissa santai. "Apa kau dibuat lupa ingatan sama kekuatanmu sendiri, hm?"

Itu tebakan yang tepat, Rissa!

"Umm..." Houri melirikku yang langsung buang muka. "T-tidak, bukan seperti itu kok."

Aku duduk memperhatikan. Tampaknya Houri butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan kekuatannya yang baru. Semangat deh, Hou.

"Daftar LOAP diperbaharui lagi."

Aku menoleh ke Sina yang duduk di sebelahku sambil membaca buku List of All Potencia. "Oh, ya?" gumamku tertarik. Mengintip halaman buku yang Sina pelototi. "Telepati?"

"Betul. Kekuatan ini lahir kemarin malam. Peri dari Blackfuror yang menerimanya."

Telepati, huh? Kekuatan nan terdengar remeh karena hanya tipe komunikasi. Tapi bagiku tidak ada kekuatan yang tidak berharga. Semuanya punya kehebatan masing-masing.

"Lusina!" panggil seseorang di bawah kami. Kulihat dahi Sina terlipat. "Kau bilang akan pergi ke <Zona yang Telah Ditentukan> untuk menggambar titik penerima, kan? Ayo kita pergi. Aku akan menemanimu ke sana."

Huh, siapa pria ini? Mataku membulat. Dia tak punya sayap! Apakah dia orang luar?!

"Ah, kau pastilah Verdandi temannya Lusina. Perkenalkan, namaku Liev. Kalau sekarang kau sedang berpikir aku dari klan asing juga, itu salah. Aku sama seperti kalian, aku peri."

"T-tapi, sayapmu..." Aku tidak mengerti.

"Dia Mind Reader, Verdandi," ujar Sina dengan intonasi ketus. Aku yakin ini pertama kali aku melihat Sina bersikap seperti itu.

Aku mengerjap bingung. "Eh, bukannya Mind Reader sudah diambil kekuatannya?" Aku sangat hafal peraturan Klan Peri. Mereka yang kehilangan sayap, tubuhnya akan mengecil.

"Bakat Mind Reader milikku terbelah dan lahirlah Lie Detection. Tubuhku masih normal walau sayapku sudah tak ada," jelas Liev.

"Begitu, ya..." Aku turut prihatin.

"Aduh! Padahal sudah susah payah kuhindari. Aku benar-benar tak nyaman dengannya."

Hmm-hmm?  Apa ini, apa ini? Aku mencium sesuatu di sini. Tak biasanya lho, Sina yang cool dan logis mendadak bertingkah irasional.

Diam-diam aku tersenyum menggoda. Akhirnya bestie-ku ini memiliki seseorang. Aku menyenggol lengannya. "Sudahlah, Sina, pergi saja. Kau tak bisa mengurung musuh cuma di gedung akademi. Pilihan bagus untuk memperluas Titik Penerima kekuatanmu."

"Hiks! Dandi jahat!" Setelah menangis palsu (dia pura-pura) di depanku, Sina turun menyusul Liev yang sudah naik ke punggung Ondina. Mereka sempat adu mulut sebentar sebelum akhirnya terbang dari halaman.

"Hei, kau!" Aku terkesiap, menoleh ke dua belalang yang hinggap di batu. "Peri yang bisa mendengarkan alam. Kau dipanggil seseorang dari Aula Putih. Kelihatannya penting."

Kalau Aula Putih... Jangan-jangan Mini?!

*

Aku menutup pintu, memastikan tidak ada yang mengikutiku ke sini. Bisa gawat ada yang melihat aku sedang mengobrol dengan Mini. Si patung antisosial itu tak mau dilihat oleh orang lain karena penyakit introvert-nya.

Tuh kan. Benar dugaanku. Mini duduk di  kepala patung, mengayun-ayunkan kaki.

"Kenapa?" tanyaku to the point.

"Oh, akhirnya kau datang." Mini tak berniat pindah dari posisinya. "Ini soal perang besar terakhir antara Blackfuror dan Fairyda."

"Oh? Apa kau punya kekuatan meramal?!"

"Dikatakan meramal, tidak juga. Kalau menerawang, kurang tepat. Bisa dibilang ini murni dari instingku saja. Perasaanku tidak enak, Dandi." Aku yakin Mini tidak sedang bercanda kalau ditilik dari raut mukanya.

"Apakah itu tentang kemenangan dan kekalahan?" Aku benar-benar takut kalau kali ini kami juga kalah dari Blackfuror.

Tapi kurasa persentase kami menang melebihi 60% karena peri-peri berkekuatan hebat berpihak pada kami. Vidi, Kahina, Hayno, Cathy, Flamex, Aquara, dan Promy.

Mini menggeleng. Mengembuskan napas.

"Perasaannya berbeda, Dandi. Ini lebih condong ke... perang akan diakhiri dengan pengorbanan. Instingku berkata demikian."


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro