37* Meet Again

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bohong jika aku tidak kepikiran dengan perkataan Mini di Aula Putih. Buktinya aku sama sekali tidak fokus dengan latihan mandiriku di alang-alang, tempat favoritku.

Pengorbanan... kah... Apakah perang akan berakhir jika ada yang berkorban? Tapi berkorban dalam konteks apa dulu? Haah... Semakin di ujung semakin sulit saja takdir.

Aku mendongak. Dari sini, Sabaism terlihat seperti tahi lalat. Ukurannya sebesar bintik nyamuk yang membuktikan bahwa Ia sangat jauh untuk digapai. Itu baru Istana Kediaman Dewa, bagaimana jika Sang Dewa itu sendiri?

Apa aku punya kesempatan untuk bertemu dengannya? Tuhan Asfalis, Yang Mulia Luca...

Aku tidak sengaja melihat Sinyi yang terbang tidak tahu arah. Begitu dia menatapku, dia tersenyum, kemudian menghampiriku.

"Hai, Sinyi! Ngapain ke sini?" Kala sepertinya membebaskan sapunya beraktivitas.

"Bocah sok itu mengusirku keluar. Dia sibuk membuat ramuan untuk persiapan perang ditambah meditasi guna menabung mana. Karena bosan di kamarnya yang suram, aku pun berkeliling. Tapi tidak ada satu pun yang aku kenal! Cuman kau seorang, Dandi."

"Eh, hei, aku sudah penasaran sejak lama. Kenapa kau selalu memanggil Kala 'bocah'? Dia kan penyihir, pasti umurnya... ratusan..." Sejenak aku menyesali pertanyaanku. Untuk apa aku penasaran sama usia orang lain.

Semoga Kala bukan kakek-kakek menyamar.

Sinyi bersedekap, menggelengkan kepala. "Siapa bilang? Itu pasti persepsimu saja. Dia itu masih 17 tahun. Masih bocah kencur. Aku yang paling tua darinya. Umurku 146 tahun."

Wajahku menghangat tanpa sebab. Kala 17 tahun? Ya ampun, dia tua dua tahun dariku. Tapi OGAH banget memanggilnya 'Kak Kala'.

Aku membasahi bibir yang kering. Kala baru 17 tahun tapi sudah sehebat itu. Dia penyihir genius salah satu lulusan terbaik. Dan kenapa aku harus memujinya di sini, di situasi yang pelik begini? Seolah tidak ada waktu lain.

Aku beranjak bangun untuk mengenyahkan perasaan kikukku. "Hei, Sinyi, apa boleh aku meminjammu sebentar? Aku mau pergi melewati <Zona yang Telah Ditentukan>."

"Mau ke mana?" Sinyi memicing curiga.

Hm, aku menoleh. "Ke titik dimana aku bisa melihat Sabaism lebih besar dari sini. Mau, ya? Janji cuman beberapa menit saja kok."

"Sabaism, ya? Baiklah. Aku tidak keberatan."

Lokasi yang pas untuk melihat Sabaism lebih dekat tentu saja tempat aku bertemu laki-laki asing berambut hitam dan bermata merah waktu itu di hari itu. Sosok yang menolongku saat Flamex masih menjadi musuh. Laki-laki misterius yang belum kuketahui namanya.

Sabaism. Katedral mewah. Rumah Tuhan.

Benda itu, entah terbuat dari apa, terlihat bersinar disiram oleh matahari. Berkilauan. Mungkin materialnya dari berlian. Warnanya dominan putih. Tidak ada campuran lain.

Aku menautkan kedua tangan. Pose berdoa.

"Tolonglah Fairyda. Tolong biarkan kami mempertahankan Subklan Fairyda. Jangan biarkan kejahatan menang. Aku memohon untuk terakhir kalinya, Sang Dewa."

Tidak pernah aku berdoa setulus ini. Apakah aku sesayang itu pada Asfalis, maksudku, anak region Klan Peri, Subklan Fairyda? Aku menyukai Fairyda. Aku harus melindungnya.

"Apa? Aku di sini lagi?!" erang seseorang membuyar fokusku. "Ini sudah seminggu aku berputar-putar dan kembali ke tempat sama! Sebenarnya ibukota Klan Peri itu di mana?"

Aku menyipitkan mata, terbelalak. Dia?!

Merasa dirinya tak sendiri di sana, dibuatnya menoleh. Kami saling tatap. "Lho? Kau kan..."

Mini benar. Aku peri yang beruntung.

Tidak mau kecolongan lagi seperti terakhir kali, aku segera mendekatinya. "Tunggu! Jangan pergi dulu! Ada yang ingin kutanyakan padamu! Kumohon, sebentar saja!" Ini dia. Ini dia pertolongan dari Sang Dewa untukku.

"Maaf, tapi aku terburu-buru. Aku sudah terlalu lama terpisah dengan rombonganku." Dia segera memunggungiku. Paling tidak biarkan aku melihat wajah tampanmu dong!

"Nama! Beritahu aku namamu! Aku belum sempat berterima kasih padamu. Aku Verdandi," lontarku cepat. "Siapa namamu?" Njir. Aku seperti memparodikan kimi no nawa.

Akhirnya dia menatapku. Aku seketika terkesiap, tersihir dengan paras wajahnya.

"Oh, nama? Panggil saja aku Hal."

Kugenggam tangan Hal. Tersenyum gentle.
"Maukah kau menikah denganku?" Maukah kau berteman denganku? ucapku lurus.

. . . . . ? ? ? ? . . . . .

"N-Nona, aku masih 15 tahun."

Aku melepaskan peganganku. Blushing parah. "M-maaf. Kata hatiku kebalik sama dialogku." Lalu apa barusan dia bilang? Kami seumuran. Kalau ini Bumi, dia pasti kelas 10 sepertiku. Mataku nakal mencuri pandang ke mukanya.

Ah! Tampangnya menawan banget uwu.

"Sepertinya Tuhan sangat bekerja keras dalam membuatmu. Kau ganteng sekali," gumamku keceplosan lagi. Dasar Verdandi bego!

Bukannya malu, Hal justru tersenyum simpul. "Terima kasih... Entah kau jujur atau tidak."

"Aku jujur kok! Teman-temanku juga bilang kau punya wajah yang tampan!" seruku menggebu-gebu. "Serius. Aku tidak bohong."

Benar, kan? Aku tidak berbohong. Cathy, Aquara, dan beberapa peri di Blackfuror yang menyapaku (saat aku menyamar menjadi Nedax), mengatakan wajah Hal itu tampan.

Muka Hal pun memerah. Juga aku. Sepertinya urat maluku benar-benar sudah putus. Bilang apa sama orang yang baru kenalan? Nikah?

Aku berdeham, mengusir canggung. "Jadi kau seorang petualang? Kau dari klan mana?"

"Umm... Aku bukan dari mana pun. Aku bertualang menjelajahi Asfalis bersama temanku. Tapi kalau kau bertanya soal klan... Aku keturunan Klan Iblis." Dia menunjukkan bola matanya yang menyala merah darah.

"K-keturunan Klan Iblis... Pantas saja kau baik-baik saja. Kau kebal dengan api." Ini nyata! Aku bertemu dengan warga ras iblis!

"Tidak, tidak. Waktu itu aku juga terkejut..." Kulihat Hal tiba-tiba tertegun. "Aku harus pergi, Verdandi. Aku harus ke Klan Peri. Tiga temanku ada di sana. Aku terdampar di sini."

"Pergilah, Hal. Mengetahui namamu saja sudah cukup untukku. Kau tahu, kau terlihat agak familiar. Makanya aku ingin bertemu lagi denganmu. Aku sepertinya terlalu paranoid."

Aku mengulurkan tangan. Hal menatapku. "Selalu menyenangkan dapat teman baru."

Hal mengerjap, ikut tersenyum. "Aku juga—"

Pluk! Laki-laki itu terbengong melihat hatiku tanggal dan jatuh ke bawah. Aku jongkok. "Maaf, jantungku terlepas. Aku ambil dulu."

Jangan tiba-tiba tersenyum dengan wajah seperti itu dong! Aku bisa mati terbunuh!

"S-senang berkenalan denganmu, Verdandi."

Pada akhirnya Hal menjabat uluran tanganku dengan ekspresi kikuk dan bertanya-tanya.
Tapi baru setengah jalan, seseorang datang menghalangi kami. Tamu tak diundang.

"Verdandi." Aku menelan ludah demi mendengar suara dingin ini. M-masa sih?!

Hal mengerjap pelan, memandang Kala yang memberikan tatapan tak bersahabat. Aduh! Apa Kala mengira Hal anggota Blackfuror?! Lalu, woi, sejak kapan dia ada di sini?! Parah!

"Sebentar, Kala. Kau salah paham—"

"Klan Penyihir?" gumam Hal spontan.

Tanpa pikir panjang Kala mengacungkan tongkatnya, menarikku ke belakangnya. Aku juga tersentak kaget. Kenapa Hal langsung tahu identitas Kala? Dia kan hanya petualang.

"Siapa kau sebenarnya? Mata-mata?"

"Woah. Aku pikir tidak ada lonceng seperti itu di dunia fantasi ini." Hal justru menjawab lain, menatap tertarik mainan pada tongkat Kala. Tidak peka Kala akan mengeluarkan mantra kapan saja dia mau menyerangnya. "Hebat."

Aku mengernyit. "Kau tahu benda itu?"

"Tentu. Bahkan di tempatku bekerja paruh waktu... Wahai, bukan waktunya membahas itu." Hal mengangkat tangan. "Aduh, sudah kubilang aku hanya petualang yang tersesat. Turunkan tongkatmu. Aku tidak berbahaya."

Bekerja? Apa dia aslinya saudagar?

"Petualang tersesat, huh?" Kala tersenyum sinis. "Kau pikir aku akan percaya?"

"Aku tahu karena aku..." Hal diam sejenak, mengalihkan pandangannya. Kikuk mencari jawaban yang tidak mencurigakan lawan bicaranya. "Etto... Aduh, aku juga tidak tahu! Aku langsung tahu begitu saja. Beberapa bulan lalu aku pernah belajar di akademi sihir. Cuman sebentar sih. Makanya aku tahu kau penyihir. Kau mengeluarkan aura magis yang kental. Apa kau berniat meluncurkan sihir?"

"Kalau iya kenapa?" Kala menantang.

Hal tersenyum. "Kusarankan jangan karena mood-ku sedang tidak stabil sekarang. Apa kau pernah membayangkan perasaan terpisah dari temanmu dan kelaparan seminggu? Aku bertahan hidup karena aku bukan manusia."

Aura orang ini... Kala mengepalkan tangan.

Duh! Aku buru-buru menceletuk polos untuk menyusutkan suasana yang tegang. "Kau murid akademi sihir? Berarti kau penduduk Klan Penyihir dong! Tadi katanya Klan Iblis."

"Klan Iblis?" Kala mencengkeram tongkatnya. Dia mengerti sekarang, asal muasal iris mata Hal yang bagai batu kristal merah darah.

Lelaki itu menggaruk kepala yang tak gatal. "Emm, sebenarnya aku terpaksa masuk akademi sihir untuk menjatuhkan Sabaism."

DEG! Aku dan Kala tertegun. Apa katanya?

"Waktu itu kau menyebut Sabaism dengan nada akrab. Hal, apa mungkin kau ini..." Aku menatapnya serius. "Utusan Sabaism?

"Utusan? Haha, tidak. Aku hanya petualang biasa." Hal terkekeh renyah, mendongak ke istana kediaman Sang Dewa itu, bersedekap. "Benar juga. Di sini Sabaism sangat penting. Aku sejenak lupa dengan kedudukannya."

Aku dan Kala menunggu lanjutannya.

"Hal!" Seseorang atau mungkin dua orang berseru memotong obrolan kami. "Ternyata kau ketinggalan di sini. Ayo kita pergi!"

"Akhirnya kalian menjemputku! Oh, iya." Hal menoleh kepada kami, tersenyum. "Maaf ganggu ya, Dandi, Kala. Sampai jumpa lagi."

"Tunggu dulu—" Kala memegang lenganku. "Apa? Dia belum memberitahu kita siapa dia sebenarnya. Hal pasti ada hubungan dengan Sabaism. Kita harus menyusulnya, Kala. Apa kau tak menginginkan kemenangan? Cowok itu bisa membantu kita memberi jawaban!"

"Dia berbahaya," katanya pendek.

Huh? Aku merasakan keganjilan dari cara Kala berbicara, seperti bukan dirinya saja. "Kalau berbahaya, dia sudah menyerangku dong." Dan Hal takkan menolongku waktu itu.

"Aku bilang bahaya ya bahaya. Sudahlah."

"Kau ini kenapa sih? Kau marah?"

"Benar," jawabnya cepat. Mendengus dingin. "Kau membawa sapuku tanpa izin. Di sini dekat dari markas Blackfuror. Bagaimana kalau kau tertangkap? Jangan ceroboh."

"Maaf deh! Maaf!" Aku berkata sebal. Cih, padahal Sinyi tidak keberatan mengantarku.

"Lalu, apa dia benar-benar ... dariku?"

Huh? Aku menaikkan satu alis ke atas. "Apa? Aku tidak mendengar suaramu." Bagian titik-titiknya sangat pelan seperti berbisik.

"Lupakan saja. Ayo kembali ke sekolah."

Sial! Aku hampir kelepasan mengambil Sinyi yang mengambang di sampingnya untuk memukul punggungnya. Kala penyihir...

Tidak. Dia manusia paling menyebalkan!







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro