40* FLASHBACK: Alkaran & Amaras

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Belakangan ini aku merasa bosan, Alkaran."

"Lagi?" Alkaran menghela napas panjang, mengangkut sesuatu yang berwarna-warni. "Kau sudah mengatakan itu sebanyak tiga kali hari ini, Amaras. Sudahlah. Berhenti mengeluh dan mulai pekerjaanmu. Kita dapat pesanan lima buah sayap pelangi. Jangan bermalasan."

Gadis bersurai hitam itu bangun dari posisi leyeh-leyeh, duduk menatap Alkaran intens. "Maksudku kita harus melakukan terobosan baru. Apa kau tak jenuh dengan model sayap yang itu-itu saja? Seorang designer sayap mesti memiliki jiwa inovatif dalam dirinya!"

Yang dimaksud Amaras adalah, dia sudah bosan dengar gambar atau corak sayap di Klan Peri yang tidak mau berkembang. Amaras butuh dorongan futuristik. Ingat, dia itu seorang arsitek sayap. Bukankah sudah tugas fundamental designer merancang sesuatu?

Tahu ah. Mengabaikan celotehan partnernya, Alkaran mulai mengerjakan order dari pelanggan. Tak ada peri di ibukota Feehada yang tidak mengenal Toko Aramas (nama gabungan mereka berdua). Perawatan sayap, pengecatan sayap, bahkan menghiasi sayap, semuanya bisa dikerjakan di toko itu. Tidak sia-sia Alkaran dan Amaras memulai dari nol lantas disohor oleh seantero Klan Peri.

Amaras mendinginkan kepala dengan membuka jendela, menghirup udara segar. "Fuah!" Matanya berbinar-binar melihat aktivitas penduduk yang padat. Mereka sibuk terbang mondar-mandir melakukan kegiatan.

"Hari ini juga ramai, ya?" monolognya sambil mendongak ke langit biru. Sayap hitamnya terkepak refleks. "Apa kau punya ide kreatif untuk proyek baru sayap kita, Alkaran?"

"Berhentilah bermain-main dan bantu aku. Siofra, biar aku saja. Kau dari tadi sudah bersih-bersih. Kau pasti capek. Istirahatlah."

"Tidak apa, Tuan Alkaran. Saya pekerja paruh waktu. Sudah seharusnya saya giat."

Alkaran menutup mulut dramatis, mengusap kepala Siofra. "Hiks! Ini baru jiwa berdedikasi tinggi. Tidak seperti orang di belakangku. Bukannya bekerja, malah bersantai. Cih."

"Ini aku lagi kerja tahu! Mencari inspirasi!"

Seekor burung merpati bertengger di bingkai jendela, merebut atensi Amaras. Dia berhenti mengomel dengan Alkaran yang berlalu pergi ke ruang belakang, memperhatikan burung tersebut. Ia mengembangkan sayap putihnya seolah sedang pamer di hadapan Amaras.

Sehelai bulu lembut jatuh ke lantai. Amaras pun memungutnya, tersenyum gemilang. Saat itulah sebuah ide gila muncul tanpa permisi.

"Alkaran! Aku menemukan jawabannya!"

*

"Hah?" Alkaran berbalik menatap Amaras yang menggebu-gebu ria. "Kau mau merajut sayap tipe malaikat? Kepalamu terbentur?"

"Ish, aku baik-baik saja tahu." Amaras merangkul bahu temannya, menunjukkan bulu putih yang dia temukan. "Bukankah itu menarik untuk dicoba? Aku sudah bosan dengan sayap peri. Proyek sayap malaikat ini bisa menjadi penemuan terbaru di Klan Peri."

"Tidak." Alkaran menggeleng tegas. Sayap malaikat di bangsa peri? Itu sih mencemarkan atau menghardik reputasi Klan Peri namanya. Memangnya blasteran malaikat-peri apa. Lagian hanya ada enam region di Asfalis, dan tidak ada yang namanya Klan Malaikat.

Tapi Amaras bersikukuh dengan gagasannya. Dia mengikuti Alkaran ke mana-mana. Pas makan, sendirian, meditasi, pergi ke rumah pelanggan untuk mengantar sayap pesanan, dan sebagainya. Seperti peri yang baru lahir.

"Ayolah, Alkaran! Kita buat sayap malaikat! Aku tak bisa membuatnya sendiri tanpamu."

"Haah, bisa stres aku. Memangnya kau tahu bagaimana cara membuatnya?" Alkaran berkacak pinggang. "Bagaimana dengan resep, bahan, atau alat apa yang digunakan. Apa kau tahu semua yang kita perlukan, hm?"

Amaras menggeleng polos. "Tidak."

"Andai saja kau laki-laki, aku pasti sudah menjitak, tidak, menendang bokongmu! Sudahlah, aku mau pulang. Kau tinggal di toko atau pulang bareng denganku, heh?"

Mereka berdua memang tidak tinggal di ibukota, melainkan di Fairyda. Kota kecil yang termasuk ke dalam wilayah Klan Peri. Di sana banyak bahan-bahan untuk membuat sayap. Toko mereka di ibukota, rumah mereka di luar kota. Sebuah kehidupan yang normal.

"Iya, iya. Tungguin aku."

*

Cara-cara membuat sayap malaikat segera menjadi beban pikiran Amaras. Dia keluar dari rumah bunganya, terbang sendirian. Duduk di padang hijau dengan langit malam yang tak bisa dikatakan 'cantik' cuman satu kali.

Proses pembuatan sayap malaikat jelas beda dari sayap peri. Amaras paling tahu soal itu karena dia juga perajut seperti Alkaran.

Tiba-tiba cahaya gelap menyiram Amaras—aduh, hari memang sudah malam. Wanita itu menatap jerih Katedral Sabaism tengah bergerak pelan seolah mengawasi daratan Asfalis. Atau Ia memang sedang berpatroli?

Amaras menempelkan kedua tangannya. "Sabaism, tolong berikan aku pencerahan bagaimana cara membuat sayap malaikat. Sampaikan lah doaku kepada Sang Dewa."

Sabaism menjawab doa Amaras detik itu juga. Sebuah buku tebal jatuh dari Sabaism dan menimpuk punggung Amaras. Untung punggung, kalau kepala dia pasti sudah koit.

"Aduh! Apa itu barusan?" Sembari mengaduh kesakitan, Amaras memperhatikan buku yang jatuh dari istana Sabaism. Bola matanya terbelalak, berbinar-binar membaca sampul buku. "Legenda Sayap Malaikat?" gumamnya.

"Terima kasih, Sabaism! Terima kasih, Sang Dewa! Terima kasih sudah memberiku ilham!"

Amaras sangat senang. Kini dia susah tahu jawabannya. Lantas apa lagi yang ditunggu? Langsung saja dia melesat ke rumah Alkaran.

*

"Kau... dapat buku ini dari mana?" Masih berbalut pakaian santai karena sudah mau tidur, Alkaran dibuat tercengang oleh buku temuan Amaras. Rasa kantuknya sirna.

"Sabaism lah, Aran! Istana Sang Dewa mendengarkan doaku kemudian menjatuhkan buku ini! Ada cara-cara membuat Sayap Malaikat di dalamnya, halaman 11-15."

Alkaran dan Amaras bersitatap, menyeringai. "Haruskah kita mulai membuatnya besok?"

Secara pribadi, Alkaran sebenarnya sebelas duabelas dengan Amaras: bosan dengan sayap-sayap peri yang kurang imajinatif. Seperti kata Amaras, seorang designer sayap memang harus memiliki jiwa inventif.

Iya, tidak mudah membuat sayap malaikat. Mereka mesti mengorbankan 10.000 sayap peri buatan mereka ke kerangka sayap malaikat yang sudah digambar oleh Amaras.

Tidak seperti sayap peri yang tipis, ringan, dan berbagai macam bentuknya, sayap malaikat hanya ada satu purwarupa: yaitu sayap angsa versi raksasa serta super bertenaga.

Awalnya Amaras mengusulkan membuat empat lapis yang berarti sayap bertingkat, namun Alkaran menolak saran itu. Cukup dua lapis saja. Merujuk ukurannya tiga kali lipat dari ukuran sayap peri, jika daya muat beban ditambah, akan sulit untuk diterbangkan ke udara. Membuat punggung cepat lelah.

Jika Amaras hanya sendiri, akan butuh bertahun-tahun untuk menyelesaikan proyek gila itu. Tapi karena yang merajut dua peri, Sayap Malaikat selesai dalam enam bulan.

Alkaran dan Amaras bekerja siang-malam membuatnya, menyerahkan jadwal toko pada Siofra serta pekerja paruh waktu lainnya.

"Apa kau punya impian, Aran?" tanya Amaras sedang sibuk menyisir sayap putih itu.

"Hmm... Aku ingin membuat sekolah merajut agar hubungan Fairyda dan Ibukota selalu erat. Kan tidak sedikit peri-peri yang tinggal di Fairyda. Mereka pasti ingin pekerjaan."

"Tipikal kau sekali, ya." Amaras terkekeh.

"Kalau kau bagaimana? Apa tujuanmu?"

"Aku... masih rahasia. Kapan-kapan deh aku kasih tahu. Hehehe." Amaras cengengesan.

"Cih, sudah kuduga." Alkaran membiarkan Amaras lanjut menyisir sayap, membaca buku. "Tapi, Amaras, di sini dikatakan kita perlu Bunga Kemurnian agar sayap ini benar-benar sempurna. Apa kau tahu bunga apa itu?"

"Kau tidak lihat di sana tertulis opsional? Kita tidak harus memakai Bunga Kemurnian."

Mereka hanya berfokus pada halaman 11-15 buku Legenda Sayap Malaikat, tidak berniat membaca halaman-halaman berikutnya. Karena impian Amaras memang hanya menciptakan sayap malaikat, tidak yang lain.

Amaras berhenti menyisir, berjalan mundur.

Mereka menatap sayap angsa seputih salju yang mengeluarkan pancaran cahaya karena disiram oleh lampu. Sebuah keindahan nyata yang membuat mata keduanya terbuai.

"Kita berhasil, Aran. Kita berhasil membuat Sayap Malaikat! S-sayap ini sangat cantik!"

"Iya... Indah sekali." Alkaran berbinar-binar.

"Kita harus menunjukkannya ke Walikota besok! Aku tak sabar melihat reaksi penduduk ketika melihat Sayap Malaikat yang hanya dimiliki Sabaism dan Sang Dewa lalu kini bisa digunakan! Kita akan dapat penghargaan."

*

Sayangnya, mereka tertampar realita.

"SAYAP MACAM APA INI, HAH? Kalian mau melecehkan nama klan kalian sendiri?! Kita itu bangsa peri! Bukan umat malaikat! Yang namanya malaikat tidak ada di Asfalis!"

"T-tapi Walikota setidaknya coba—"

"Cepat bakar sayap tabu itu dan buat pesananku. Ini perintah. Festival tahunan, turis dari berbagai negara akan berdatangan kemari. Kita tidak mungkin tidak memberi cendera mata khas Klan Peri, kan? Jika aku masih melihat sayap itu besok, aku yang akan membakarnya sendiri. Aku sangat kecewa dengan pemikiran kalian, Alkaran, Amaras."

Brak! Beliau keluar dengan membanting pintu.

Tak dapat membendung tangisannya, Amaras pun pergi dari toko dan terbang menuju arah pulang. Selain Walikota, yang paling kecewa adalah Amaras karena dia lah penciptanya.

Sejak hari itu, kepribadian Amaras berubah. Dia tidak lagi ceria, lebih banyak diam. Amaras tetap datang ke toko untuk bekerja, namun firasat Alkaran mengatakan ada hal yang sedang Amaras sembunyi. Dia terlihat sedang mengerjakan sesuatu diam-diam.

"Amaras, aku ingin bicara sebentar—" Belum tuntas Alkaran menggenapkan kalimatnya, Amaras sudah terbang meninggalkan toko.

Wanita itu adalah teman terbaik Alkaran. Tak dapat dipungkiri kalau hatinya sakit diacuhi seperti itu. Di sisi lain, Alkaran juga enggan menyinggung Amaras yang masih sedih soal proyeknya yang ditolak mentah-mentah.

Bagaimana cara dia memperbaiki keadaan?

Hari demi hari, bulan demi bulan, hingga dua tahun pun berlalu. Pagi-pagi buta, Alkaran hendak pergi ke toko menjalani hari seperti biasa. Lalu tiba-tiba pintu rumahnya diketuk.

"A-Amaras?" Alkaran tidak menduga.

"Aku ingin kau ikut aku. Tolong?"

*

Amaras membawa Alkaran terbang jauh ke arah Barat Fairyda. Tak ada apa pun di sana kecuali pepohonan yang saling berdempetan satu sama lain. Di sela-sela lautan hijau tersebut, Alkaran melihat sebuah pondok.

Amaras tidak menyerah dengan proyek Sayap Malaikat. Dia tak melenyapkan sayap buatan mereka. Amaras menyimpannya di rubanah pada pondok itu. Masih terlihat mengkilap. Amaras membalutnya dengan pita hitam.

"Aku sudah membaca semua buku Legenda Sayap Malaikat. Dengan elemen dari Bunga Kemurnian, sayap ini dapat membawa kita terbang ke Sabaism. Istana Sang Dewa."

Alkaran menatap Amaras yang menjelaskan dengan intonasi datar. Apalagi rencananya? Kenapa membawa-bawa kediaman tuhan?

"Aku akan naik ke Sabaism dan meminta pada Dewa untuk menciptakan Klan Malaikat."

Apa?! Alkaran tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "T-tunggu, Amaras, apa itu berhasil? Maksudku, hanya ada enam negara di dunia ini. Jika tiba-tiba ada klan ketujuh..."

"Sabaism adalah perantara warga dengan Tuhan, kan? Jika aku sungguh-sungguh berdoa di sana, aku bisa bertemu Sang Dewa dan mengusulkan pendapat soal klan ke-7."

"Kau pikir itu bisa dikabulkan?! Kau ini keturunan Klan Peri! Meminta Klan Malaikat yang tidak pernah ada pada Dewa? Mustahil. Itu tak mungkin bisa terjadi, Amaras. Aku ragu Sang Dewa mampu mengabulkan doamu."

"Bisa," selanya mengeluarkan sebuah cincin emas yang menyala. "Aku akan menjadi malaikat pertama di klan itu nantinya dan mengajarkan semua pengetahuanku pada Sang Dewa saat pembangunan region."

"C-cincin apa itu...?"

"Lingkaran Nimbus. Aku mengembangkan teoriku sendiri. Buku Legenda Sayap Malaikat membanjiri kepalaku dengan ide-ide brilian. Benda ini adalah simbol Klan Malaikat. Cukup pasangkan di kepala, maka sayapmu keluar."

Kini Amaras menunjukkan sebuah peta.

"Ini dia rancanganku untuk ibukota Klan Malaikat, Aran. Siang malam aku menghapus dan menggambarnya. Sang Dewa akan menyetujui proposalku ini. Aku sangat yakin." Amaras menatap Alkaran penuh harap. "Maka dari itu, aku ingin kau ikut aku, Aran. Aku ingin kau malaikat kedua setelah aku di klan kita. Mari kita tinggalkan Klan Peri."

Alkaran tidak percaya ini. Amaras betulan serius hendak membangun Klan Malaikat.

"J-jangan bercanda. Klan Malaikat...? Kau sudah gila, Amaras!" Alkaran keluar dari sana.

"Tunggu, Aran! Dengarkan aku dulu!" Amaras terbang mengejar Alkaran, menahan lengannya. Berkaca-kaca. "Kita teman sejati, kan? Kita sudah berteman sangat lama. Apa kau tak ingin mendukung ide sahabatmu ini?"

"Tapi meninggalkan Klan Peri—Ng?"

Alkaran dan Amaras berhenti cekcok. Mereka sama-sama mendongak. Sesuatu terkelupas dari Sabaism, jatuh ke daratan bagai komet. Mata Alkaran terbelalak. Dia sigap menarik Amaras, mundur dari sana. BUM! Dentuman keras terdengar begitu batu dari Sabaism itu membentur permukaan tanah.

Mereka terbatuk-batuk, tak sadar tubuh keduanya bercahaya samar. Tatapan mereka fokus pada batu permata berwarna putih yang tergeletak membisu di depan sana.

Awal kemunculan Blessing Statue.




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro