41* FLASHBACK: Alkaran & Amaras

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tiga tahun kemudian...

"Akhir-akhir ini kulihat tokomu kurang produktif, Alkaran. Corak sayap-sayap buatanmu terlihat monoton. Ada apa, heh? Kau kehabisan stok ide melukis sayap? Apa kau mau tersaingi oleh perajut lainnya? Aku butuh sayap dengan model terbaru yang anggun untuk Perdana Menteri Klan Peri."

Alkaran tersenyum lembut. "Saya minta maaf, Walikota. Anda benar, belakangan ini saya tidak fokus dengan pekerjaan saya. Untuk ke depannya saya akan lebih giat lagi."

Walikota mengernyit, mengusap bagian belakang leher. "O-oh, baiklah." Aneh sekali. Bukannya barusan perasaannya jengkel? Kenapa tiba-tiba terasa damai, ya? Walikota yang berwatak disiplin itu tersenyum. "Kalau begitu aku pergi dulu," katanya santai.

Tethys melongo, menatap tidak percaya. "Kekuatan Anda bukan main, Tuan Alkaran. Bisa menjinakkan Walikota pemberang itu."

Siofra mengangguk setuju. "Hebat, Aran."

"Kenapa kalian masih di sini? Pergilah ke akademi. Aku bisa mengurus toko sendirian. Akan banyak peri pemula berdatangan."

"Baiklah, Tuan Alkaran."

Alkaran menghela napas, memandangi sketsa sayap malaikat buatan Amaras. Sepertinya mereka harus membicarakan masalah ini.

*

"Amaras, kita harus bicara. Walikota memerlukan sayap istimewa untuk Perdana Menteri. Apa kau bisa membantuku? Kau tahu aku tidak bisa mengerjakannya sendiri."

"Tidak sekarang, Alkaran. Aku sibuk."

Semenjak Patung Kekuatan hadir di Fairyda, Amaras tidak pernah lagi datang ke ibukota, bekerja di toko mereka. Dia fokus meneliti fungsi Patung Kekuatan untuk melanjutkan agendanya: peradaban Klan Malaikat.

Amaras membuat Sayap Malaikat yang kedua. Dia tidak membutuhkan sampel yang pertama karena Bunga Kemurnian hanya dapat diberikan saat proses pembuatan. Sementara pengerjaan sayap sampel itu sudah selesai.

"Ini penting, Amaras. Ini pesanan untuk—"

"Kau tahu, Alkaran? Blessing Statue adalah keajaiban untuk mendukung pembangunan Klan Malaikat. Aku yakin Sang Dewa yang mengirim pecahan sabaism itu pada kita. Aku menanamkan kekuatan-kekuatan yang ada dalam patung ke Nimbus Ring-ku."

"Kita bisa membahas Klan Malaikat nanti, yang mendesak sekarang adalah pesanan—"

"Aku tidak mau bekerja untuk ibukota lagi, Alkaran. Kau tahu persis alasanku."

Sudah Alkaran duga, Amaras masih dendam pada Walikota soal proyek sayap itu. Dia menghela napas. "Tapi tanpamu aku tidak—"

"Lakukan saja semaumu. Ambillah sayap malaikat sampel pertama dan kembangkan idemu sendiri. Jangan ganggu aku, Aran."

Amaras menutup pintu rumahnya.

Dia berubah sejak mereka memiliki kekuatan yang diberikan oleh patung. Subklan Fairyda juga mengalami perubahan. Sekolah peri yang tadinya digunakan untuk merajut sayap (impian Aran), berganti jadi akademi guna mengembangkan kekuatan masing-masing.

"Tuan Aran." Seorang anak kecil mendekati.

"Ah, Parnox. Kau rupanya. Ada apa?" Alkaran tersenyum. Parnox adalah peri pertama yang lahir semenjak Akademi Fairyda didirikan dan ditemukan lantas dididik langsung olehnya.

"Ini daftar peri pemula. Ada 20 peri yang lahir di hari sama," lapor Parnox suara datar.

"Bagaimana dengan List of All Potencia? Apakah ada kekuatan terbaru?" Tidak salah Alkaran memilih Parnox sebagai ketua akademi. Anak itu bekerja dengan cermat.

"Ada. Swift Growers, kekuatan penumbuh. Anda bisa menumbuhkan bunga apa pun tak cukup beberapa menit." Parnox menjelaskan. Sejenak dia terlihat berpikir. "Masalahnya..."

"Kenapa?" Alkaran mengernyit.

"Swift Growers dikatakan hanya mitos."

"Begitu, ya... Hm?" Alkaran memperhatikan kedua telapak tangan Parnox yang dibaluti perban, menatap tidak tega. "Kenapa kau—"

"Kalau begitu saya permisi," potong Parnox seakan tahu apa yang ingin Alkaran tanyakan.

Alkaran menghela napas, mengacak-acak rambut. "Anak itu masih saja membenci kekuatannya. Kapan dia mau memakainya?"

*

Di ruang kerjanya, Alkaran menarik napas panjang-panjang. Baiklah. Sayap baru untuk Perdana Menteri, jelas motifnya tidak boleh sembarangan. Harus level berkelas. Alkaran mendapat ide dari Sayap Malaikat Amaras.

Dia tersenyum teduh. "Aku yakin Amaras dan Walikota akan menyukai sayapku ini. Semoga kesalahpahaman mereka berdua mereda."

Awalnya Alkaran mengira akan butuh waktu lama untuk merajut sayap tersebut karena dia tidak bersama partnernya Amaras, tapi tidak disangka hanya memakan seminggu.

"Ini... Astaga! Ini sayap terindah yang pernah aku lihat, Alkaran. Kau genius! Aku akan mempublikasikan sayap ini nanti malam!"

Senyuman Alkaran terukir. Kalau reaksi Walikota sudah sepositif ini, bagaimana dengan Amaras nantinya? Dia tidak sabar.

*

Amaras baru saja mendarat di tokonya dan Alkaran. Sayap Malaikat proyek barunya masih jalan lima puluh persen. Dia butuh lebih banyak sayap peri dan tak bisa membuatnya seorang diri sekaligus. Sadar dia memerlukan rekan, Amaras berinisiatif menemui Alkaran.

"Aran, kau di sini? Aku mau bicara..."

"Dan inilah dia, sayap keluaran terbaru dari Toko Aramas yang masyhur! Keindahan Surgawi!" Terdengar seruan seseorang dari monitor yang menampilkan sosok Alkaran.

Mata Amaras membulat sempurna.

Itu adalah model Sayap Malaikat yang pernah terbersit di kepala Amaras. Sayap angsa empat lapis bertingkat, dan Alkaran mengaplikasikannya ke sayap kupu-kupu dengan tambahan percikan serbuk perak membuat benda itu berkilauan bagai mutiara.

Amaras tertawa pelan yang lama-kelamaan berubah menjadi tawa sarkas. Dia tidak percaya, Alkaran mengambil idenya. Dan yang tidak adilnya, semua peri ibukota memujinya.

*

Mereka bertengkar hebat sampai-sampai Siofra menyuruh semua peri akademi agar bubar dari kelas dan pergi di asrama. Wodah, Allura, Shayla, dan yang lainnya tidak berani ikut campur ke perdebatan dua peri itu.

"Bagus, Aran. Bagus sekali. Kau menusuk sahabatmu sendiri. Hahaha... HAHAHA!!!"

"Aku melakukan ini demimu, Amaras! Aku ingin memulihkan citramu di mata Walikota. Kenapa kau berpikir aku mengambil idemu?!"

"Sketsa itu aku yang membuatnya! Sahabat sejati takkan mencuri ide teman baiknya!"

"AKU MENCOBA! Aku benar-benar susah payah mencoba, untuk berbicara denganmu. Untuk menghibur sakit hatimu dari kalimat menyakitkan Walikota. Untuk mencari segala cara agar kau kembali menjadi Amaras yang dulu. Tapi, apa yang kudapatkan? Kau tidak peduli lagi denganku. Kau hanya peduli pada ambisi gilamu, membangun Klan Malaikat. Bukankah kau sudah mengizinkanku untuk menggunakan sampel sayap malaikat yang pertama? Kenapa kau malah mengamuk tidak terima? Aku membuat sayap itu agar ibukota dan Walikota tidak melupakanmu, Amaras!"

Amaras terkekeh. "Tuturanmu tidak bisa membenarkan fakta kau telah mencuri ideku."

Alkaran mengembuskan napas. Kekuatannya mulai bekerja, meredakan emosi yang sudah naik ke ubun-ubun. "Kau percaya diri mengatakan kita adalah sahabat sejati. Dulu aku akan langsung mengiyakannya, tapi sekarang? Apa itu masih berlaku dengan dua pandangan yang saling bentrokan? Aku hanya mencoba menghiburmu, namun kau mengira aku mengembat kerja kerasmu. Aku kecewa padamu, Maras. Kau yang membuangku."

Tangan Amaras terkepal. Tubuhnya bergetar menahan gejolak amarah yang seperkian detik semakin membesar, bergerilya di dada.

"Oh, jadi semua ini salahku? Ini semua salahku telah menciptakan Sayap Malaikat?" Sayap gadis itu terkepak kencang, membawa tubuhnya mengambang sepuluh meter.

"Amaras...?" Alkaran beringsut mundur.

"BERANINYA KAU!" gerungnya murka. Rambutnya berkibar, sayapnya bercahaya. Dengan gerakan bertenaga, Amaras pun mengayunkan tangan kanannya. Sebuah sangkar muncul dari udara, menimpa Alkaran yang berdiri syok, tak sempat menghindar.

Bruk! Sangkar sempurna mengurung Alkaran.

Sesaat kemudian, kerutan di wajah Amaras perlahan menghilang. Dia turun ke tanah, melotot, menutup mulut, tak percaya apa yang sudah dia perbuat ke temannya sendiri.

Amarah menguasai dan mengendalikan gadis itu. Dia tanpa sadar mengeluarkan penjara Tingkat 4. Kurungan yang tak bisa dilepas oleh siapa pun, bahkan oleh dirinya sendiri.

"A-Aran, aku tidak... A-aku tidak sengaja—"

"Hei, coba lihat! Bukankah itu Sang Dewa?" Seseorang berseru, merebut perhatian Amaras. Peri itu menunjuk ke atas langit.

Sang Dewa? Amaras mendongak. Benar! Satu sosok melayang di ketinggian ratusan meter, membentangkan sayap apiknya yang perkasa. Dilihat dari Fairyda, sosok itu kecil sekali seperti melihat bintang di bentang cakrawala.

Sosok itu mengangkat tangan. Puluhan meteor tercipta di udara. Tanpa berpikir dua kali, Ia pun menjatuhkan semua batu meteor itu ke permukaan. Ledakan yang luar biasa pun terjadi, merambat ke seluruh daratan.

Ketika ledakan itu menuju cepat hendak melindas menghancurkan Fairyda, pecahan permata yang Alkaran dan Amaras temukan, berkerlip-kerlip. Pelindung berwarna pelangi menutup dan melindungi kawasan Fairyda. Mereka ibarat disiram oleh lava saat ledakan tersebut melewati akademi. Mengerikan.

Lampu demi lampu rumah bunga menyala. Semua peri Fairyda keluar dari rumahnya, memeriksa apa yang sedang terjadi. Amaras terkesiap, menatap Alkaran yang terkulai lemas di kurungannya. Takut dimaki, Amaras pun terbang menjauh ke arah Barat.

"Tunggu Amaras... Jangan pergi...! Aku tidak pernah... Aku takkan pernah membencimu...! Jangan menyalahkan diri sendiri. Kembalilah."

Percuma. Tubuh Amaras sudah menghilang ditelan jarak. Pun Alkaran. Pusing mendera kepalanya. Dia kehilangan kesadaran.

*

Tiga bulan usai insiden mengerikan itu, toko Alkaran dipaksa tutup. Pemerintah melarang peri dari Fairyda mendatangi ibukota. Mereka membuat penghalang khusus, memblokir akses masuk. Melarang Fairyda menginjakkan kaki ke ibukota Klan Peri lagi. Akibatnya seluruh peri Fairyda kehilangan kemampuan terbang karena energi Pohon Neraida tidak disalurkan. Tanpa kekuatan pohon itu, sayap peri kehilangan fungsinya. Sukar bergerak.

"Ini sungguh tidak adil," lontar Wodah mengepalkan tangan. "Hanya karena Fairyda selamat dari <Penghancuran> Sang Dewa, kita jadi diasingkan. Pemerintah brengsek."

"Juga, si pengkhianat Amaras... Setelah melakukan hal kejam pada Aran, dia hilang tanpa jejak. Ini sudah terlalu banyak."

"Diam, Tethys. Kau tak boleh menyebut nama wanita itu lagi. Nama itu adalah aib Fairyda."

Para guru akademi sontak mengunci bibir ketika Siofra menegur mereka. Parnox menggunakan kekuatan teleportasinya untuk memindahkan Alkaran ke ruang pertemuan.

"Maaf merepotkanmu, Parnox. Kau pasti lelah mengangkutku kemana-mana." Alkaran merasa tak berguna di dalam sangkar itu.

"Tidak masalah, Tuan Alkaran. Kita sudah kedatangan peri berkekuatan pemulih. Aku bisa memintanya mengisi ulang staminaku," jawab Parnox pendek. Berbicara ala kadarnya.

Siofra berdeham. "Tuan Alkaran, apa yang harus kita lakukan sekarang? Sudah hampir empat bulan kita tidak terbang. Kalau terus begini, sayap kita takkan bisa berguna lagi."

"Parnox, apakah Swift Growers sudah tiba? Hanya kekuatan itu yang bisa menumbuhkan Pohon Neraida baru untuk umat kita."

Laki-laki itu menggeleng. Ekspresinya masih sama; datar dan tegas. "Saya sudah pernah bilang, Tuan Alkaran, kekuatan itu hanya legenda. Tidak benar-benar ada di sini."

"Lantas bagaimana cara kita bertahan?"

"Mungkin aku bisa membantu," celetuk seseorang bergabung ke obrolan mereka.

Semua peri di ruangan sontak menoleh. Sosok itu juga peri seperti mereka. Rambutnya berwarna pink terang, terurai ke punggung. Sayapnya senada dengan warna rambutnya. Tunggu, apa dia barusan terbang ke sana?

Bagaimana bisa?! Bukankah Pohon Neraida...

"Namaku Stella," ucapnya dengan suara yang menenangkan. "Aku akan membuatkan duplikat Pohon Neraida untuk bangsa kalian."

"Tunggu dulu, Nona...! Apa maksud anda?"

Stella menghiraukan panggilan Alkaran. Entah siapa pun dia, mampu terbang sementara kekuatan Pohon Neraida dikunci untuk kaum Fairyda, jelas peri bernama Stella ini bukan tokoh figur biasa. Lihatlah dia! Stella pergi ke lapangan terluas, menumbuhkan pohon beringin menggunakan kekuatannya.

Sayap peri-peri di Fairyda menyala secara serempak. Terkepak pelan yang lambat laun mengencang, membuat tubuh pemiliknya melayang satu meter. Fairyda selamat dari krisis terbang. Stella menyelamatkan Fairyda.

"Nona, siapa anda sebenarnya?"

Stella tersenyum, meletakkan bibir ke jari.

"Kandidat Pemimpin Klan Peri. Diam saja, ya? Aku sedang kabur dari pelantikan takhta."






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro