43* Impact for Our Wings

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Fairyda mengalami krisis yang sama saat ibukota memutus hubungan. Sepanjang aku melangkah di lorong, raut wajah peri-peri di sekitarku tidak baik. Apalagi kalau bukan sayap mereka yang terasa sakit. Saat ini saja aku tidak kuat berjalan, namun aku ingin meminta Rinvi untuk mengurangi pedihnya..

Ah, lupakan prospek bertemu Rinvi. Puluhan peri berduyun-duyun mengantri di Divisi Kesehatan, mengeluhkan hal yang sama; punggung nyeri karena sayap yang sakit.

"Kita tidak bisa menunggu lagi, Siofra." Aku melirik ke samping. Terlihat Madam Shayla dan Master Wodah terburu-buru ke tempat Tuan Alkaran berada. "Gejalanya muncul lebih cepat daripada yang dulu. Kita harus memulai peperangan dengan Blackfuror. Ini darurat."

Wakil Siofra memijat pelipis, mengusap wajah yang masygul. "Masih ada waktu satu hari lagi, Shayla, Wodah. Persiapan murid-murid kita belum selesai. Aku ingin strategi kita tersusun matang. Jika kita salah langkah, Fairyda benar-benar akan berakhir kali ini."

Sosok Parnox muncul di antara mereka. Dari sini aku bisa melihat wajahnya pucat. "Sudah 68 peri yang mengalami Gejala Kelumpuhan, Wakil Siofra. Jumlahnya bertambah setiap jam," lapornya memegang kepala. "Master Syochi membutuhkan tenaga tambahan—"

Madam Shayla menyentuh bahu Parnox. "Istirahatlah. Kau juga terkena Gejala, kan? Aku dan Allura akan membantu Syochi."

Ini lebih buruk dari yang kuduga.

*

Sebille meminjam dua kekuatan sekaligus. Bakat milik Magara dan Mamoru. Alhasil, banyak peri-peri yang terkena Gejala terbantu berkatnya. Gadis itu tidak peduli tubuhnya terbebani, yang penting dia bisa berguna. Aku sungguh respek pada kepribadian temanku.

"Terima kasih, Sebille. Rasanya sudah mendingan." Aku dan Rissa menyengir. Kami habis disembuhkan olehnya, antrian khusus.

Sebille tersenyum. "Senang bisa membantu. Ayo Sina, giliranmu. Setelah kalian selesai, aku akan pergi ke kelas Medium. Pasti banyak peri yang mengalami Gejala di sana."

Sina menggeleng lemah. Bibirnya pucat. "Kau pergi saja bantu peri-peri pemula, Sebille. Aku baik-baik saja kok. Aku masih sehat—"

Sina terhuyung lemas, namun seseorang datang menyangga badannya. Kepala Sina membentur dada bidang pria itu. Adalah Liev.

"Bisa tidak jangan berbohong sekali saja?"

"Pergilah, Liev. Aku sedang tidak mau adu mulut denganmu." Aku dan Rissa membantu Sina untuk berdiri tegak. "Tidur sebentar bisa memulihkan staminaku. Aku ke kamar—"

"Tidak," sergah Liev, menahan lengan Sina dengan hati-hati. Beralih menatap Sebille. "Dia kesakitan. Tolong sembuhkan Lusina."

Sebille mengangguk, menyentuh tangan Sina. Tentu dia mau menolong temannya.

"Kau menyebalkan, Liev," decak Sina jengkel. Bibir pucatnya kembali memerah. Syukurlah.

"Aku anggap itu ucapan terima kasih."

"Apa kau melihat Kala?" tanyaku mencoba mencairkan suasana. Aku kasihan dengan Sina yang tak berdaya melawan si degil Liev.

Sebille selesai menghilang rasa ngilu di sayap Sina, mendesah pendek. "Kala tengah membagikan ramuan... Apa ya tadi namanya, Health Potion? Ah, benar. Dia memberikan ramuan itu ke peri-peri di kelas Supreme."

"Aku ke sana dulu! Sina, jaga dirimu."

*

Aku tidak bisa melihat Kala. Sosoknya tertimbun oleh kerumun peri yang meminta Health Potion. Ini persis seperti suasana di pasar saat ada diskon murah meriah.

"Dari tadi dia bersama gadis bernama Tanny," bisik pergola kayu tempat peri-peri menanam bunga. Aku sering mampir ke sana. Yah, meski tidak sesering ke taman akademi. Bunga di luar taman lebih banyak dari dalam akademi.

Cih! Lagi-lagi dia sama Tanny. Well, aku juga tidak punya hak untuk menghakimi Kala sih. Terserah dia mau bersama siapa. Tapi entah kenapa setiap nama Tanny disebut, aku kesal.

Pas aku ingin bertemu Hal, dia marah-marah. Pas dia bertemu Tanny, apa aku juga marah-marah sepertinya? Kalau saja Pohon Neraida tidak rusak dan aku masih bisa terbang, aku tak butuh bantuan si dingin itu.

"Anda tak perlu khawatir, Nona."

Aku melirik daun yang diembus angin dan tergeletak di tanah. "Khawatir apanya?"

"Penyihir Kala-La sama sekali tidak tertarik dengan gadis bernama Tanny itu. Mereka murni hanya berteman. Tak ada hal spesial."

Aku tertawa datar. Oh, jadi Kala playboy? Entah kenapa aku tidak terkejut. Bahkan saat masih SMP aku sering bertemu cowok tipe Kala. Dingin-dingin tapi maniak wanita.

Aduh, aku jadi ngeroasting tak jelas.

Aku mengurungkan niatku untuk bertemu Kala. Sepertinya dia sibuk memberikan Health Potion pada peri-peri yang terjangkit Gejala Kelumpuhan. Aku pun pergi ke alang-alang.

"Aih, sepi banget di sini?" gumamku heran.

"Semua peri berada di dalam akademi, Verdandi," kata Ondina menghela napas. "Rata-rata terkena Gejala Kelumpuhan. Apa kau baik-baik saja? Bagaimana sayapmu?"

Aku mengangguk, menjelaskan singkat kalau Sebille sudah menghilang rasa sakitnya.

"Kau datang ke sini mau pergi ke suatu tempat, kan?" Ondina tak perlu menebak lagi.

Waduh. Aku mengulum senyum. "Benar. Aku mau ke pondok Kahina. Beberapa hari ini aku tidak mendengar kabarnya. Aku khawatir telah terjadi sesuatu dengan sekutu kami."

"Dimengerti. Naiklah, Verdandi."

*

Bengkel sihir Kahina kosong. Aku tidak merasakan hawa kehadiran selain diriku dan Ondina yang menunggu di teras pondok.

"Oh! Kau yang bisa bicara dengan alam!"

Aku menatap kosen. "Apa yang terjadi di sini? Di mana Kahina, pemilik pondok ini?"

"Tidak tahu. Mereka tidak datang-datang lagi ke sini setelah kau pulang ke Fairyda."

Cih. Aku mengatupkan rahang. Apakah mungkin si brengsek Adair memperketat aturan? Kali saja dia mengurung prajuritnya di markas untuk meningkatkan pengawasan.

Sejujurnya, aku agak cemas dengan kondisi Kahina dan yang lainnya merujuk ada Mind Reader di Blackfuror. Semoga rencana kami tidak diketahui oleh Adair dan Mindre. Aku harus percaya karena ada Hayno dan Flamex, dua pria berkemampuan hebat. Belum lagi kekuatan kedua Hayno terdengar seram. Walau sampai sekarang aku belum tahu sih.

Tep! Terdengar suara langkah kaki.

Aku terkesiap. Tanpa pikir panjang, aku langsung menumbuhkan tanaman aneh (mungkin bahan ramuan) di meja. Tumbuhan tersebut terjulur cepat, melesat ke sosok yang berdiri di ambang pintu pondok. Anehnya, tumbuhan tersebut berbelok kembali padaku.

Aku melotot, segera merubah arahnya ke samping. Apa-apaan itu? Dia melakukan apa barusan? Dia memantulkan seranganku?

"Swift Growers, ya? Kau tidak aman di sini. Pergi sebelum peri patroli menemukanmu."

"Siapa kau?" tanyaku galak, tak menurunkan kewaspadaan sedikit pun. Kalau laki-laki itu menunjukkan gerak-gerik aneh, akan kutumbuhkan bunga yang bikin ngantuk.

"Tidak apa, Nona Pendengar Alam. Dia pria yang baik. Temannya Cathy dan Promy."

"Benarkah?" Aku menatapnya dari atas sampai bawah. Rambutnya berwarna perak.

"Aku tidak berbicara," katanya datar.

Siapa juga yang sedang bicara dengannya. Baiklah, aku percaya dengan alam sekitar. Aku menurunkan tangan. "Di mana Kahina?"

"Namaku Holy. Kahina berada di markas. Semenjak Tuan Adair memutuskan tanggal Perang Besar, tidak ada peri yang boleh meninggalkan markas kecuali Divisi Patroli. Dan aku termasuk ke dalamnya," jelasnya.

Holy? Si pemilik Un-Touched rupanya. Pantas saja kekuatanku memantul. "Lalu kenapa kau tidak menangkapku? Kau tahu aku Swift Growers, kan?" Walau alam sekitar bilang dia baik, aku tetap harus berhati-hati.

"Aku berteman baik dengan Promy. Apa pun keputusannya, aku akan mendukungnya."

"Hei, Holy-Holy! Apa ada seseorang di sana?" Seruan cempreng dari partner ronda Holy membuat kami berdua tersentak kaget.

"Pergilah... Dandi, kan? Aku akan mengulur waktu." Holy keluar dari pondok Kahina. "Tak ada siapa-siap di sini, Amaru. Ayo pergi."

"Benarkah?" Amaru menatap bengkel sihir Kahina, menilik tajam. "Kau tahu kekuatanku kan, Holy? Kalau kau berbohong, jangan marah kalau aku mengadu pada Tuan Adair."

"Kau tidak percaya padaku? Lagi pula kau tahu persis kekuatanmu tak berefek padaku."

Amaru diam sejenak, tersenyum gajes. "Baiklah! Kalau Holy yang ngomong, tidak ada alasan aku meraguimu. Ayo ke area lain!"

Hufft. Aku menghela napas. Holy dan Amaru melangkah jauh dari pondok. Memangnya apa kekuatan Amaru sampai curiga temannya berbohong? Apa sama dengan bakat Liev?

"Dia Honestus. Memaksa seseorang untuk berbicara jujur," kata pena bulu di meja.

Apa? Aku menelan ludah. What the—

"Dandi, kita harus pergi sebelum kedapatan oleh peri patroli lainnya," seru Ondina pelan.

Kuharap Kahina tidak apa-apa.











Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro