44* They Know!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Akhirnya datang juga. Hari H perang besar.

Berkat bantuan Rinvi serta Divisi Kesehatan dan Kala yang mau menyumbangkan semua tabungan Health Potion-nya selama masih belajar di akademi Klan Penyihir, tidak ada lagi peri yang terkena Gejala Kelumpuhan.

Kami dalam kondisi terbaik kami.

Baik sekali laki-laki itu. Dia sungguh berpihak pada Fairyda sepenuhnya. Katanya, Health Potion bisa dibuat kapan saja. Tapi perang penentu ini hanya sekali seumur hidup.

Subuh-subuh aku sudah melihat belasan peri sibuk menyusun senjata untuk menaklukkan monster Dahaka peliharaan Blackfuror. Tak semua peri di Fairyda memiliki kemampuan berwujud, banyak juga yang bakatnya pasif. Tidak mungkin para guru menyuruh Tanny sendirian menjinakkan semua Dahaka yang entah akan berapa jumlahnya nanti di perang.

Untunglah kedua kekuatanku memenuhi keduanya: satu aktif dan satu lagi pasif.

Selain mempersiapkan medan pertarungan, separuh peri Fairyda berdoa pada Sabaim, meminta berkah dari istana Sang Dewa agar apa pun yang terjadi pertempuran terakhir ini, tidak ada satu pun korban jiwa. Amin! Amin!

Entah bagaimana hasil perang ini nantinya, kami akan menang tanpa harus membunuh siapa pun. Kami harus berhasil menyadarkan kegilaan Amaras terhadap ambisinya.

*

"Aku berada di kelompok Peri Pendukung lho," kata Iris saat kami tak sengaja bertemu di taman sekolah. Dia tengah memberi makan Ondina. "Terbang bersama Ondina dan membuat pelangi. Kau belum tahu kan efek samping dari warna pelangi-ku yang lain?"

Nani?! Kepalaku refleks menggeleng. Apa pun itu, aku tidak mau tahu. Soalnya aku masih ingat jelas Iris iseng memakai kekuatannya dan aku tak mau berhenti gatal-gatal. Mesti minta tolong ke Rinvi menyingkirkan efeknya.

"Semoga kali ini Ketua Parnox betulan mengeluarkan kekuatan aslinya," bisik-bisik tiga orang cewek yang melintasi taman.

"Akan ribet kalau dia tak memakainya. Waktu itu kita tersudut," kata temannya di sisi kiri.

"Kalian tahu tidak? Sebenarnya teleportasi bukanlah kekuatan pertama ataupun kedua Parnox. Hanya dia seorang yang punya tiga kekuatan," cetus teman di sebelah kanannya.

DEG! Mataku terbelalak. Apa?

"Hei!" Sebille muncul di antara mereka. "Lagi bicarain apa sih? Kelihatan seru banget. Ikut dong," ucapnya riang tapi mimiknya sangar.

"Eh, Sebille, kau kan lumayan dekat dengan Parnox. Apa dia pernah menunjukkan atau mengatakan kekuatannya? Maksud kami selain bakat teleportasinya." Justru mereka yang melempar pertanyaan pada Sebille.

Temanku itu sontak menggeleng. Mungkin mereka berdua cukup dekat, namun tak sedekat sampai mau membicarakan privasi.

Sama seperti aku yang tidak tahu apa-apa soal si dingin Kala, Sebille juga tak tahu apa-apa tentang Parnox. Pria yang dia sukai.

*

"Benar kok. Teleportasi bukanlah kekuatan pemberianku untuk Ketua Parnox." Mini mengkonfirmasi gosip yang kudengar dari peri-peri kelas Adept di halaman akademi.

Sebille memberitahu nama mereka satu-satu. Yang di kanan namanya Nalial, yang di kiri namanya Maia. Dan gadis yang paling penasaran dengan Parnox adalah Psyche.

Aku baru tahu Sebille tipe cewek yang kurang peka (ngaca dong). Aku saja langsung sadar kalau Psyche tuh naksir sama Parnox. Soalnya dia kepo banget seperti gadis remaja yang ingin tahu kegiatan crush-nya. Belum lagi tatapannya jelas memperlihatkan bahwa dia memandang Parnox spesial. Ini tidak bagus.

"Memangnya kau kasih dia kekuatan apa?"

Mini bersedekap. "Jangan berharap aku kasih tahu deh mentang-mentang kau manusia dari dunia lain. Itu rahasia alam. Hanya dia, orang terpercayanya, dan aku yang tahu."

Aku bersungut-sungut. "Puh! Waktu itu kau bilang Parnox hanya punya dua kekuatan."

"Ya kau tak bertanya semacam 'apa dia punya kekuatan lain' padaku. Secara teknis bukan aku yang salah." Mini mengedikkan bahu.

Itu berarti Parnox punya dua teman yang berhubungan erat dengannya lalu mati di masa lalu sebelum aku dan peri-peri pemula datang ke Fairyda. Aku turut sedih untuknya.

"Kenapa... Alih-alih menggunakan kekuatan pemberianmu, kenapa selama ini dia hanya memakai kekuatan eks partnernya?" Aku tidak bohong. Aku benar-benar sedih untuk Parnox yang angkuh namun rapuh di dalam.

"Anak itu sangat membenci kekuatannya... Lupakan saja. Ngomong-ngomong Dandi, aku rasa Kala takkan bisa membuatkanmu portal untuk kembali deh." Mini menukar topik.

Aku mengerjap. "Maksudmu...?"

"Jika Kala membuka portal pulang ke Bumi untukmu sekali lagi, maka kau takkan bisa kembali lagi ke Asfalis. Karena memang tidak mudah menembus sekat dua dunia. Kalau memaksa... Kala kemungkinan akan mati."

*

Walau tidak ada jam di sini, aku telah diajari Papa untuk mengetahui waktu dari arah matahari—aku pelupa orangnya. Aku sangat yakin sekarang sudah pukul sembilan pagi.

Aku duduk di Pohon Neraida yang hangus, memikirkan baik-baik perkataan Mini.

Setelah perang besar ini selesai, tentu saja aku harus kembali ke rumah. Aku tak bisa meninggalkan kehidupanku di Bumi. Ada Mama dan Papa yang mencemaskanku.

Tetapi, jikalau aku memilih pulang ke bumi, itu artinya aku harus mengucapkan selamat tinggal pada Asfalis. Tidak mungkin kan aku mempertaruhkan nyawa Kala untuk buka-tutup portal dua dunia. Aku tidak mau dia kenapa-kenapa, apalagi karena aku.

Aku mendongak ke langit biru, tersenyum miris. Aku tak boleh tamak. Aku sudah cukup lama di sini. Manusia bumi sepertiku hidup setengah tahun di dunia lain. Aku tak bisa terus menunda. Aku harus membuat pilihan.

Tapi kenapa di saat seperti ini, hatiku egois? Mustahil aku tidak pulang ke orangtuaku.

Tidak ada yang boleh tahu tentang ini, termasuk Kala—biar saja dia tahu sendiri. Semua atensi peri tertuju pada perang. Aku harus memantapkan tekadku. Hal lain urus nanti-nanti. Sekarang fokus pada perang...

"Sampai jumpa lagi, Verdandi."

Aku mengangkat kepala. Huh? Tiba-tiba aku teringat Hal. Kenapa aku memikirkannya? Apa karena perasaan curiga kalau aku familiar dengannya? Dia mirip seseorang di sekolahku. Ah, tidak mungkin lah. Dia keturunan Klan Iblis yang membuktikan dia warga dunia ini.

"Dandi... Verdandi!"

Huh? Siapa itu? Aku menatap ke depan, memicing. Tampak seseorang melesat mendekati Pohon Neraida menggunakan sapu lidi. Aku melotot, ingat betul siapa sosok itu.

"Kahina?!" seruku langsung bangkit.

Gadis itu melompat turun dari sapunya sambil mendekap botol kaca. "Mereka tahu, Dandi! Mereka tahu apa yang kita rencanakan. Ini semua karena si brengsek Komu pemilik telepati dan Mindre! Raibi lah penyebabnya! Kita telah gagal!" tuturnya sambil sesegukan.

Tubuhku menegang. "Apa maksudmu?"

"Siasat kita sudah ketahuan, Dandi. Adair..." Kahina memperlihatkan botol kaca yang dia peluk. Mataku melotot melihat dua peri enam inci berdiri di dalam botol. "Mengambil sayap dan kekuatan Hayno serta Flamex. Sedangkan Promy, Cathy, Vidi, dan Aquara dikurung. Aku menggunakan mantra tingkat tinggi agar bisa lepas dari Amaras dan datang ke sini. Aku... tak bisa menolong teman-temanku..."

"Sudah kubilang jangan salahkan dirimu, Kahina. Amaras terlalu kuat untuk kau lawan." Hayno menatap serius ke arahku. "Sayap Malaikat-nya sudah sempurna, Dandi. Tujuan akhirnya ialah merebut kekuatanmu."

"Kau harus pergi, Dandi." Flamex menggeram. "Adair memiliki kedua kekuatan Hayno. Kita tak bisa mengalahkannya. Dia terlalu kuat."

"Tapi aku tidak bisa meninggalkan—"

"VERDANDI! AWAS!"

Tonggak batu terangkat melindungiku dari anak panah besi yang meluncur hendak menusukku. Adalah Cleon beraksi. Peri-peri Fairyda berlari meninggalkan akademi, berbaris membuat barikade melindungiku.

Dari arah Barat, prajurit Blackfuror datang dengan membawa... Eh, satu Dahaka saja? Langit cerah seperkian detik digusur oleh awan hitam dan suara petir yang membahana. Kesiur angin menerpa lapangan rumput.

"Kau baik-baik saja?" Sina menghampiriku.

Aku mengangguk. Aku hanya terkejut. Untung ada Iris yang kebetulan sedang terbang bersama Ondina dan Cleon refleks mengaktifkan kekuatannya menolongku.

Parnox datang terakhir, menjentikkan jari. BRUK! Sangkar perak bagai mutiara muncul di tanah. Tuan Alkaran menatap tajam prajurit Blackfuror. Lapangan hijau seketika diisi oleh dua kubu. Kami sisi Utara, mereka sisi Barat.

Adair dan Mindre melangkah menyibak defile, mempersilakan 'seseorang' yang duduk di kasur bulat dengan hiasan terali besi yang sama dengan sangkar Tuan Alkaran. Benda itu mengambang lima mili meter dari tanah, bergerak pelan menuju banjar terdepan.

Aku melihatnya... Tidak. Kami melihat Amaras lekat-lekat. Pandangan takjub, terkesima.

Seseorang berambut putih panjang saking panjangnya menyelimuti permukaan kasur, duduk bersimpuh di singgasana terbangnya itu. Sepasang sayap angsa besar menempel di punggungnya. Belum lagi nimbus ring kuning melayang dan berputar di kepalanya.

Amaras membuka mata, memperlihatkan kelereng emasnya. Tersenyum miring.

Dia seperti malaikat. Sungguh rupawan.






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro