46* Hurricane

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kami takkan selamat. Burung Phoenix itu terlalu besar! Seperti kapal titanic! Houri tidak bisa mengecilkan serangan itu. Bahkan Kahina memeluk gemetar tongkatnya. Takut.

Kala tiba-tiba melewati Kahina. "Simpan  tongkatmu. Jangan buang mana," bisiknya. Tidak ada ekspresi tercetak di wajahnya. Sinyi sudah lelah menasehatinya. Terserah dia saja.

"Kala? Apa yang mau kau lakukan?"

"Kau mau ke mana—" Cleon menahan lengan Tanny yang penasaran dengan tujuan Kala.

Tuk! Laki-laki itu menyerahkan tongkatnya kepada Parnox tanpa banyak bicara. Mau ngapain dia? Menyihir tanpa tongkat? Parnox menatap Kala yang berdiri di depan barisan, mendongak menatap datar phoenix Adair.

"Rasakan ini, Fairyda!" Adair tak segan-segan mengirim burung api raksasa itu ke bawah.

Tidak ada lafalan mantra. Tidak ada sapu lidi. Tidak ada ramuan. Kala merubah wujudnya menjadi topan seperti saat pertarungannya dengan Cleon di Gladi Perang. Bedanya puting beliung yang satu ini tampak mengerikan.

Aku berbinar-binar tak percaya. "Kala..."

Sosok Kala yang berubah jadi angin tornado nekat 'memakan' phoenix-nya Adair. Kedua elemen beresonansi. Api dalam pusaran topan menyala terang, memporak-porandakan medan perang, perlahan bergerak menjauhi arena karena sekitar mulai berpijar panas.

"DASAR BODOH! Apa yang dia pikirkan?!"

Lagi-lagi kami tak diberi kesempatan untuk mengkhawatirkan Kala yang entah di mana usai topan itu menghilang bersama phoenix.

Linda tergesa-gesa membuat sebuah pedang, berkombinasi dengan Houri. Pedang tersebut membesar seukuran satu gerbong kereta. Lalu Alia pun mengarahkannya ke Blackfuror.

Laila datang tiba-tiba! Dia mengkakukan tubuh Holy yang tidak berhasrat pada perang dan memposisikan Holy ke tengah lapangan. Pedang besar Linda seketika memantul.

Tongkat Kahina bercahaya. Hanya dia penyihir yang tersisa. Kahina berlari ke depan Linda dan Alia. "Scuteri Maxium!" serunya lengking. Lingkaran pelindung menahan laju pedang dan dihancurkan tangan batu buatan Cleon.

Pertempuran ini jadi berat sebelah. Blackfuror mendesak kami dan kami habis-habisan bertahan dengan kemampuan yang dipunya.

"Alraed Lure! Ditambah, Royale Rambesio."

Belasan tombak petir diciptakan oleh Kahina. Alia lihai menggerakkan jari untuk menyerang anggota Blackfuror yang berkelit menghindar. Sial! Mereka bisa terbang berkat Hello Matahari yang merepotkan itu. Mobilitas mereka sangat memadai dibanding Fairyda.

"Apa kau tak bisa mematikannya?"

"Bisa. Tapi butuh tenaga yang besar untuk melakukan mantra tingkat tinggi." Jika Kahina ambruk, maka tak ada kesempatan menang karena Kala sudah mengorbankan dirinya untuk memblokir serangan api ganas Adair.

Bohong jika aku tidak cemas. Mataku bahkan sudah berair semenjak Kala duel 1V1 dengan burung phoenix api raksasa. Aku selalu berpikir Kala adalah penyihir hebat yang bisa apa pun tanpa tahu dia juga memiliki batas.

Sungguh bodoh sekali kau, Verdandi. Aku benar-benar tidak tahu apa-apa tentang Kala.

Fairyda mulai kelelahan. Mamoru sudah muntah berkali-kali untuk memulihkan energi Peri Garis Depan yang gugur. Kami bertahan karena semangat bertarung dan impian usai perang berakhir, kami dapat terbang kembali.

Seluruh tubuhku berteriak kesakitan. Dari tadi sebenarnya tugasku melilit pasukan Blackfuror yang sudah pingsan, jaga-jaga jika mereka bangun dan kembali menyerang. Lalu jumlah peri yang kutawan adalah 40 orang.

Tetapi, aku mengatupkan rahang. Aku belum boleh menyerah. Ini masih belum berakhir.

*

Kahina menopang badannya menggunakan tongkatnya, mengatur napas yang menderu kencang. Ini sudah Mana Potion ketiga yang dia minum. Karena terus-terusan menyihir, Mana-nya terkuras, menipis dan menipis.

Hayno ingin menghajar dirinya sendiri, tidak berguna di saat-saat seperti ini. Dia lengah, tidak berdaya sayap dan kekuatan miliknya diserap oleh Amaras. Dia sangat ingin menolong, membiarkan Kahina istirahat.

"Kau baik-baik saja?" tanya Rusalka prihatin melihat Mamoru pucat habis muntah lagi.

"Perutku... Ukh!" Mamoru menutup mulut.

"Ini takkan ada habisnya," decak Rissa sebal. Bahkan Sang Bos besar belum ikut bertarung. Santai menonton kecamuk pertarungan.

"Sial!" Manik mata Linda bermain ke sekitar, napasnya tersengal. Rinvi tidak terlihat dari tadi. Ini membuatnya tak fokus bertarung.

Magara menyentuh perut Mamoru, mengurangi rasa mual. "Sudah baikan?"

"Terima kasih, Magara. Rinvi di mana sih? Aku tidak bisa menyembuhkan teman-teman sendirian. Aku butuh dia," keluhnya frustasi.

Magara menggeleng tidak tahu. Lima menit sebelum perang dimulai, Rinvi berada di sebelah gadis itu. Tapi mendadak menghilang. Mungkin Sina mengurungnya di tempat aman atau ada sesuatu terjadi pada Rinvi. Entahlah.

Baiklah, sudah cukup. Amaras bosan dengan pemandangan hampa di depannya. Dia memanggil Adair. "Aku tak mau menunggu. Singkirkan penyembuh dan penyihir mereka."

"Saya paham. Bersiaplah untuk ronde kedua!"

Ini dia. Ini dia yang kutakutkan. Perang takkan selesai satu babak saja. Blackfuror memakai taktik yang sama seperti waktu itu, mundur di sela-sela pertarungan. Membuat Fairyda kebingungan. Mengacaukan formasi. Aku tak bisa menebak apa yang mereka rencanakan.

"Hati-hati semuanya!" seru Master Wodah. Pakaian dan tubuhnya cemong oleh debu.

Yang kutakut-takutkan terjadi juga. Raibi sialan telah menyandera Rinvi, memposisikan keturunan Klan Druid itu ke sebelah monster Dahaka. Adair mengaktifkan kekuatan hipnotis Hayno, mengendalikan pikiran Rinvi.

Sinar hijau menembak ke langit, menghujani ratusan titik-titik kristal. Aku mendelik. Itu adalah kemampuan segel Rinvi! Kalau kami terkena cahaya itu, maka kekuatan kami...!

Sebelum kami disiram oleh hujan kristal hijau, Kahina mengangkat tongkatnya. "Disparata Siempren. Penguncian Wilayah: Sangat Luas."

Semuanya lenyap oleh mantra Kahina. Lutut gadis itu luruh. Dia barusan memakai mantra tingkat tinggi, mengonsumsi banyak mana.

Adair belum selesai dengan permainannya, menaburkan lebih banyak hujan kristal.

"HENTIKAN! Kau membunuhnya!" pekik Linda melihat Adair memaksa Rinvi agar terus mengeluarkan kekuatan penyegelan. Lihat, Rinvi mulai melemah. Dibuat bertekuk lutut. Umurnya belum matang untuk memakai kemampuan itu dalam jangka waktu lama.

Satu per satu Fairyda kehilangan kekuatan. Kahina tak dapat memakai mantra yang sama berulang kali karena level mantranya tinggi.

Mengatupkan rahang, Linda meradak maju hendak menolong Rinvi yang dimanfaatkan karunianya. Tetapi, Alia tiba-tiba muncul menghalangi langkahnya. Mata gadis itu kosong, di bawah pengaruh hipnotis Adair.

Dengan mudahnya Alia melempar Linda. Untung saja Magara dan Sebille membantu, mengurangi damage yang diterima. Mereka terpelanting jauh dan membentur Pohon Neraida yang rusak, meringis kesakitan. Kekuatan kendali Alia bukan main-main.

Alia melempar tongkat sihir Kahina, memaksa penyihir itu untuk tengkurap. Kahina tak bisa melawan. Tubuhnya dikendalikan Alia.

Amaras akhirnya ikut serta ke perang. Dia menjatuhkan sangkar Tingkat 3 ke Kahina yang tergolek lemas ditekan oleh Alia. BLAM! Penyihir sekutu Fairyda berhasil dibungkam.

"KAHINA!" Hayno berseru putus asa.

Alia menggerakkan salah satu pedang Linda yang tergeletak di tanah, kemudian membuat pedang itu melenting ke arahku yang sedang sibuk membantu Magara, Sebille, dan Linda.

"VERDANDI! TIDAK!"

Iris! Dia datang bersama Ondina, menyambar tanganku. Kami pun terbang ke udara. Pedang itu menusuk batang Pohon Neraida. Lagi pula pohon itu memang sudah rusak di perang terakhir kali. Tidak perlu dilindungi lagi. 

"Terima kasih, Iris. Aku tertolong."

Tak ada jawaban. Aku menelan ludah. "Iris?"

Iris menatapku. Bola matanya mengosong, tanda dipengaruhi oleh Adair. Sial! Dalam detik-detik krusial, Adair menghipnotisnya.

Iris pun mendorongku. Tubuhku jatuh bebas dari ketinggian 500 meter. Suaraku tidak mau keluar karena syok dan gamang. Apakah aku akan mati? Apa gunanya sayap di punggungku ini? Masih terlalu dini untuk mati! Kumohon...

Plop! Parnox membuatku berteleportasi ke sebelah teman-temanku di pohon. Lututku gemetar. "T-terima kasih, Ketua Parnox."

Parnox mendengus. "Dia akan mengamuk padaku kalau ada apa-apa denganmu."

Huh? Siapa yang dia maksud?

"Dandi, kau baik-baik saja?" tanya Rissa.

"Aku tidak apa-apa," kataku bohong. Aku baru saja dijatuhkan dari 500 meter di atas sana. Mana mungkin mentalku baik-baik saja.

Bagaimana... Bagaimana cara untuk menang?








Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro