48* Want My Power? Take It!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Amaras! Kau menginginkan kekuatanku, kan? Swift Growers menyatu dengan sayapku. Ambillah!" Aku berseru lantang, menyeringai sembari membentangkan tangan.

Amaras kentara kaget. Bagaimana mungkin targetnya menyerahkan diri tanpa perlawanan berarti? Dari sini dapat kulihat gurat curiga tercetak di parasnya yang menjerat. Siapa yang tidak curiga aku tiba-tiba bilang begitu padahal beberapa momen lalu aku berusaha mati-matian melindungi kekuatanku.

"Verdandi, kau jangan bercanda. Aku yang—"

Apa? Kau bersikeras ingin mengorbankan sayapmu? Kau spesial, Parnox. Tak mungkin aku membiarkanmu kehilangan sayapmu meski kau jarang menggunakan benda itu.

Adair bersama anggota Blackfuror lainnya menghalangi Parnox yang ingin menyusulku. Mereka membuat barisan bagai blokade, memisahkan Fairyda dariku. Sudah kuduga. Alih-alih langsung menangkapku, mereka hanya menghambat Fairyda tak mendekatiku. Blackfuror hanya organisasi peri yang jalan pikirnya sudah dikuasai oleh ambisi.

Baiklah. Aku mengatupkan rahang. Aku bisa. Aku pasti pasti bisa menyadarkan Amaras dan Blackfuror bahwa tidak baik terlalu bernafsu. Itu bisa menjadi bumerang pada diri sendiri.

Amaras yang dari tadi duduk bersimpuh di singgasana bulat terbang, beranjak berdiri. Sayap angsa cantik sekali. Apalagi cincin nimbus di kepalanya menyala samar. Wanita itu sangat cocok jadi seorang malaikat.

"Apa kau yakin tak menyesal kehilangan sayapmu, Nak? Kau akan mengecil, seukuran jari telunjuk. Takkan bisa normal kembali."

Aku berkacak pinggang. "Lagi pula melawan pun takkan ada gunanya, kan? Kau akan tetap mengambil kekuatanku. Tubuhku sudah lelah, aku tidak mau bertarung lagi. Maka dari itu, mari kita sudahi obrolan basa-basi ini. Kami punya dua penyihir yang hebat," kataku pede.

"Jangan, Verdandi!" Sebille dan Rissa panik. "Sayapmu akan menghilang selamanya!"

Aku menoleh ke belakang. Peri-peri Fairyda menatapku khawatir. Aku tersenyum simpul. Aku juga tidak mungkin membiarkan mereka yang merupakan peri asli mengorbankan sayap. Biarlah aku mengucapkan selamat tinggal pada kedua sayapku. Aku harus rela!

"Oke, jika itu keinginanmu."

Belalai-belalai monster Dahaka terjulur ke arahku, membelit badanku. Aku tak melawan, memberontak pun tidak. Aku hanya berdiri tenang sambil tersenyum mantap. Kontras dengan suasana heboh di belakangku.

Teman-temanku tak bisa untuk tidak bersikap gelisah. Para guru juga memandang khawatir, termasuk Tuan Alkaran yang menggigit ujung bibir sampai berdarah. Merasa tidak berguna sebagai pemimpin Fairyda yang lemah.

Linda mengepalkan tangan. Dia dengar jelas efek samping yang dikatakan Akun. Aku sengaja mengalihkan perhatian Amaras dengan bilang Swift Growers saling terhubung sama sayapku agar dia tak sadar akan rencanaku.

Lihatlah, Gelembung Gnosia bercahaya ngeri. Begitupun tubuhku. Kedua sayapku berdiri tegak, ikut bersinar. Perlahan namun pasti aku dapat merasakan sesuatu dari tubuhku disedot. Mungkin itu kekuatan keduaku.

Selamat tinggal Natural Converse. Aku senang bisa memegangmu meski cuman sebentar.

Aku memejamkan mata. Kali ini sayapku yang sempurna menghilang dari punggungku. Bibirku mengukir senyuman ikhlas. Tidak usah terlalu sedih, Verdandi. Toh, sejak awal aku memang tidak punya sayap. Aku bukan peri.

Aku hanyalah manusia biasa dari Bumi.

"Tidak..." lirih peri-peri Fairyda, memandang pasrah. Amaras telah mencapai tujuannya. Swift Growers sudah ada di tangannya. Adair dan anggota Blackfuror bersorak semangat.

Mereka menang. Kami kalah.

Sayap raksasa itu terkepak, mengayuh pelan. Tubuh Amaras terangkat lima meter. Wanita itu tersenyum lantas tertawa. "Akhirnya... Akhirnya aku berhasil! Sayap ini akhirnya bisa membawaku terbang! HAHAHA! MISIKU BERHASIL! Sekarang aku bisa ke Sabaism!"

Tuan Alkaran tak kuat melihat kekalahan kami yang menyakitkan. Semua telah berakhir.

Amaras beralih menatapku. "Terima kasih atas kerja samamu Verdandi... Huh?" Tawanya tersumpal melihatku sama sekali tidak surut alias mengecil. "Kenapa kau masih dewasa... Bagaimana mungkin ukuran tubuhmu...?"

Ambyar. Seruan kemenangan berubah jadi bisik-bisik penasaran. Mengapa tubuhku tak menyusut sebagaimana Flamex dan Hayno? Bukankah itu hukum Klan Peri? Sayap yang hilang dari punggung seorang peri, maka...

Aku menyengir. "Karena aku beruntung?"

Tanpa basa-basi aku menghentakkan kaki. Tanah bergetar hebat. Seketika seliweran kayu tumbuh merambat. Aku mengarahkan akar-akar yang bergejolak itu ke Adair dan prajurit Blackfuror, tak lupa melepaskan Rinvi dari jangkauan Mindre yang terkesiap kaget.

"SIALAN! KENAPA KAU MASIH BISA MEMAKAI SWIFT GROWERS? KEKUATAN ITU SUDAH MASUK KE DALAM SAYAPKU!"

"Kau yakin kekuatan itu berhasil kau ambil?" Aku terkekeh, bersedekap, "Yang kutahu kau hanya mengambil sayapku," sambungku menunjuk Buih Gnosia yang berkeretak cepat.

Krak! Krak! Bum!

Benda itu pecah. Meledak. Semua sayap dan kekuatan di dalamnya berhamburan seperti kembang api. Ratusan kupu-kupu pelangi tumpah ruah di medan perang, melesat seperti misil menuju pemilik mereka yang asli.

Hayno dan Flamex mendapatkan kembali apa yang telah dicuri. Menyeringai lebar, Flamex pun melenting menghajar Adair yang masih kebingungan. Tangannya diselimuti api.

Bugh! Tubuh Adair terbanting jauh.

Sedangkan Hayno bergegas ke tempat Kahina yang dibantu oleh Tanny dan Cleon keluar dari sangkarnya Amaras. "Kau baik-baik saja, Na? Aku khawatir padamu," ucapnya merengkuh tubuh gadis penyihir itu. Dua detik, Hayno langsung melepaskan pelukannya. Cegukan.

Dia lupa ada Tanny dan Cleon di sebelahnya.

"Perhatikan suasananya dong," dengus Cleon. Sebenarnya dia iri dengan Hayno dan Kahina. Hubungannya sama Tanny masih tidak jelas.

Linda membawa Rinvi yang tersengal lemah ke dekat Pohon Neraida. "Mamoru, tolong."

"Baiklah." Mamoru menyentuh lengan Rinvi yang berurat-urat ungu tanda berlebihan memakai kekuatan. "Ini akan membutuhkan waktu. Kalian fokuslah pada perangnya."

Linda dan Alia (kembali sadar), mengangguk.

Situasi berbalik secepat mungkin. Blackfuror dipukul mundur oleh peri-peri yang telah mendapatkan kekuatannya. Tak kusangka banyak peri Fairyda yang berkekuatan hebat.

Amaras masih melayang di udara. Sayap Malaikat miliknya berhenti mengeluarkan cahaya putih, kehilangan tenaga untuk bergerak. Amaras pun meluncur jatuh. Sayap angsa itu terlepas dari punggungnya.

"Houri! Sekarang!" Rissa berseru.

"IYA!" Houri mengaktifkan kekuatannya, mengecilkan tubuh Amaras. Parnox muncul di bawah Amaras bersama sebuah botol yang dibuat oleh peri berkekuatan pembuat benda bangun ruang, memenjarakan Amaras di situ.

"KELUARKAN AKU DARI SINI, SIALAN!"

Amaras benar-benar menggila. Dia memukul brutal dinding botol, namun Kahina sudah menyiram botol tersebut dengan ramuan peningkat sehingga tak mudah dihancurkan.

"Hayno, giliranmu." Kahina memberi kode.

Pemilik nama mengangguk. Kekuatan kedua Hayno yang kutakutkan adalah Manifestation Phobias, bisa mewujudkan pobia seseorang. Aku meneguk air ludah gugup melihat prajurit Blackfuror menangis darah karena trauma mereka menjadi nyata. Bukan sekadar ilusi.

"Capek." Sina kelelahan membuat penjara gelembung untuk menangkap anggota Blackfuror yang pingsan akibat ulah Hayno.

"Aku akan membantumu!" kata Sebille meminjam kekuatan Sina. Mereka berdua bekerja sama mengurung pasukan Blackfuror.

Semua sudah selesai. Perang sudah berakhir.

Kami berhasil meringkus Amaras, Adair, Mindre, dan anggota Blackfuror. Syukur, tidak ada korban jiwa. Tidak ada yang kehilangan sayap... Oke, aku tarik kalimat terakhir.

"KITA MENANG!" Sorakan penuh bahagia.

Aku tak bisa menyembunyikan senyumanku, memilih berbalik dan mendongak ke langit. Rasanya ada yang menghilang dari pundakku. Seluruh beban di punggungku terangkat.

Aku baru tahu beginilah rasa kemenangan.








Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro