50* Little Story About He

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jadi, kau mengorbankan sayapmu."

Aku baru saja keluar dari ruang Tuan Alkaran, lalu keajaiban mendatangiku. Kala, entah apa yang dia pikirkan, dia menyusulku. Sedangkan Kahina terbang mengendarai sapunya menuju ke Barat dengan Hayno. Kudengar anggota Blackfuror sedang gotong royong untuk meruntuhkan kastel bekas markas mereka.

Lagi pula kastel itu tak ada gunanya lagi.

"Kenapa?" Pasti Parnox yang memberitahu apa saja yang terjadi selama dia rehabilitasi di klan asalnya. Mereka berdua sok-sokan saling musuhan satu sama lain tapi rupanya bestian.

"Aku terkejut," gumamnya pelan.

Pfft! Tawaku hampir saja tersembur. Dia? Kaget? Lalu kenapa raut wajahnya hanya datar? Astaga! Laki-laki ini sepertinya ingin sekali aku menghadiahkan batu ke kepalanya.

Selain berbakat membuat fansnya patah hati akan sikapnya yang dingin, Kala juga punya bakat untuk membuat seseorang dongkol. Untunglah ya aku sudah terbiasa dengannya.

Lupakan saja. Aku merotasikan kedua mata jenuh. Aku ingin merutuk diriku yang hampir menangis ketika dia menghilang bersama serangan Adair. Bodoh kau, Dandi, bodoh.

"Kau yakin sudah sehat?" Sialnya, mulut ini tak mau bekerja sama dengan batinku. Masih ada sisa-sisa rasa khawatir dalam sanubariku.

"Khawatir padaku?" Kala tersenyum sinis.

Si kulkas dingin muka datar ini! Aku menyesal telah mengutarakannya. Apakah Mini sudah memberikan kekuatan Penghentian Waktu? Kalau sudah, aku ingin dia segera datang ke sini sekarang dan memutar ulang waktu.

"Ada yang ingin kubicarakan. Penting."

"Kenapa? Katakan saja." Aku berkacak.

"Tidak di sini. Ayo ke tempat biasa." Kala memanggil sapunya, menatapku yang sangsi.

Eh, apa dia mau memberiku tumpangan (lagi) dengan sapunya? Demi kerang laut, sensasi terbang sama sayap dan sapu berbeda! Aku merasa gamang dan tidak nyaman. Padahal pas menaiki Ondina, aku biasa-biasa saja.

"Aku takkan meminta bayaran."

"Siapa juga yang mau membayar." Kala lupa dia yang ingin bicara denganku, bukan aku. Toh, dia tahu aku dari Bumi. Mana aku paham mata uang dan sistem pembayaran dunia ini.

Dengan hati-hati aku duduk menyamping di sapu Kala. Ukh, ini memalukan. Di Bumi aku ke sekolah cenderung membawa sepeda daripada berboncengan dengan ojek kalau Papa lagi sibuk di kantor. Tidak kusangka aku akan melakukannya di dunia lain, sama cowok pula. Papa bisa mengamuk kalau beliau tahu.

"Pegangan," bisik Kala halus.

"Aku tahu!" balasku bersungut sebal. Mau tak mau berpegangan pada pinggangnya. Ukh! Ini benar-benar sangat memalukan. Semoga tak ada satu pun peri kenalanku yang melihat.

*

Kami tiba di alang-alang lima menit. Kala bisa saja mengendarai sapunya dengan kecepatan sesuai standarnya, namun karena dia sedang membawaku, mau tak mau harus pelan-pelan supaya aku tidak kelepasan menumbuhkan ranting atau apalah dan menabuh kepalanya.

"Jadi, ingin bicara apa?" tanyaku langsung setelah menormalkan kakiku yang gemetaran.

Laki-laki itu tampak ragu. "Begini..."

Aku menaikkan satu alis ke atas. Ini mungkin keabnormalan paling tidak masuk akal selama aku terlempar ke Asfalis: melihat Kala kikuk. Apa yang membuat Penyihir Sempurna sepertinya begitu gugup? Jangan-jangan...

"Kenapa sih?" desakku penasaran.

"Itu," Kala menelan ludah. "Ini tentang..."

Ah. Kecanggungan yang tidak pernah hadir dalam diri Kala, pasti ada hal besar yang tak bisa dia sampaikan. Tertahan di ujung bibir.

Ini pasti tentang portal pulang ke Bumi.

Aku tersenyum kecil, masih ingat penjelasan Mini. Memilih duduk ke rerumputan yang bergoyang diembus angin. "Kau janji padaku untuk menceritakan sedikit tentangmu. Hmm, bagaimana kalau kita mulai dari siapa orang yang kau cari di Klan Peri. Kau keberatan?"

Kala menghela napas lega (dia tidak tahu aku sudah tahu apa yang mau dia sampaikan), duduk di sebelahku. "Aku mencari ibuku."

Aku melotot. "Kau punya seorang ibu?" Benar juga. Dia kan penyihir. Jelas punya keluarga.

"Begitulah. Dia yang membuatku."

Wajahku seketika pias, menarik kata-kata di atas. Bukan keluarga? Tunggu, 'membuatnya'? Maksud?? Aku yakin tanda tanya memenuhi mukaku saat ini. Aku tidak mengerti.

"Kau bingung?" Kala menatapku polos.

"Iyalah!" seruku sebal. "Kalimatmu ambigu."

Kala menggaruk kepala. "Aku juga susah bagaimana cara bilangnya. Atau tidak begini saja." Lelaki itu menarik napas panjang.

Huh? Apa yang mau dia lakukan? Kulihat rambutnya bercahaya. Seperkian detik kemudian, warna rambut aqua-nya berubah jadi hitam. Kala pun pingsan tanpa aba-aba.

"Kala...? Kau kenapa?" Tubuhku menegang merasakan suhu badan cowok itu mendingin. Aku tidak bercanda. Kala tak bernapas!

"Bangun, Kala! Ada apa denganmu tiba-tiba?! Sialan, dari mana angin kencang ini berasal-"

Aku menoleh ke kanan, terdiam mendapati sebuah anak topan kecil sedang mengitariku. Warna topan seukuran telapak tangan itu sama persis dengan warna rambut Kala.

Otakku berpikir cepat. Mungkinkah itu Kala?

Topan mungil itu masuk kembali ke badannya. Rambut aqua Kala memulih seperti semula, beranjak bangun. Dia menatap wajahku yang kuyakin memandanginya pucat pasi. "Apa kau paham sekarang? Aku bukan manusia, bukan juga penyihir murni. Aku adalah spirit angin."

Aku membelalakkan mata. Refleks beringsut mundur tiga langkah. S-spirit? Dia roh?!

"Kau takut padaku?" Sorot matanya berubah.

"TIDAK! Bukan begitu! Aku tidak takut kok!" bantahku cepat, tak mau dia salah paham. Bagaimana mungkin aku takut padanya hanya karena dia bukan manusia atau apa pun itu. "Aku lebih ke... tidak menyangka. Spirit..."

"Cuma kau saja yang tahu," katanya lagi.

Apakah aku harus bangga karena Kala menganggapku spesial? IDIH! Pikiran macam apa itu, Verdandi? Jangan kegeeran deh.

"B-berarti cahaya yang kulihat selama ini..."

"Ya, itu dari tanda lahirku." Kala menyingkap poninya. Ada suatu simbol mirip kincir angin atau embusan angin tergurat di dahinya.

Tanganku refleks terulur menyentuh tanda tersebut, mengusapnya pelan. "Menarik sekali. Tanda lahir yang berwarna. Pantas saja warna mata dan rambutmu menyesuaikan..."

Aku baru sadar kalau posisi kami tidak enak dipandang dari segi mana pun. Ah, sialan! Aku segera menarik tangan. Bodohnya diri ini, mendekatkan wajah secara agresif begitu.

Tapi... aku menggaruk pipiku yang merona. Kala dengan poni tersibak lumayan tampan. Sejauh ini, Kala selalu tampil berantakan.

"Jadi orang yang kau sebut ibu-"

"Namanya Life-Fe. Dia yang memberiku tubuh ini sekaligus mengajarkanku menjadi penyihir. Dia satu dari 4 Penyihir Agung. Tapi entah kenapa, eksistensinya dianggap tidak ada. Jika Life-Fe tidak pernah ada, maka aku hanya akan jadi angin sepoi-sepoi tak berarti."

Dia tanpa sadar berbicara panjang lagi. Sepertinya Life-Fe penting sekali bagi Kala.

"Aish! Bisa tidak biarkan aku menyelesaikan kalimatku?" Aku betulan gemas hendak memukul kepalanya. Menjengkelkan banget.

Banyak hal yang terjadi setelah perang besar berakhir. Walau sedikit, aku mulai tahu tentang latar belakang Kala. Tubuhnya adalah pemberian penyihir agung bernama Life-Fe. Aku... masih sulit percaya dia bukan manusia. Pantas saja wataknya dingin. Kala memang tidak memiliki emosi manusia sejak awal.

"Kau mengajariku, Dandi," celetuknya.

Aku menaikkan satu alis ke atas. "Apanya?"

"Perasaan untuk melindungi seseorang."

Haruskah aku senang? Haruskah kuberi dia pujian 'Selamat, Kala! Kau memiliki sebuah perasaan!' seperti seorang ibu yang memberi tepuk tangan pada anaknya? Ogah banget!

"Terima kasih, Pangeran Angin yang baik hati mau melindungi gadis Bumi sepertiku." Aku membungkuk hormat kepadanya. Kalem.

"Tidak perlu khawatir," kata Kala tersenyum miring. "Meski aku hanya spirit tak berdaya, badan ini tetap badan yang membutuhkan nutrisi. Aku memiliki jantung dan hati yang berdebar. Bisa berdarah, bisa menua, bisa kelaparan, dan semua sifat tubuh manusia. Ibuku membuat tubuh ini begitu sempurna. Tidak salah dia dijuluki Penyihir Kehidupan. Yang kurang hanyalah kemampuan bicaraku. Aku jadi cepat lelah jika berbicara panjang... Seperti... saat ini..." Kala pun ngos-ngosan, mengelap keringat yang menetes dari kening.

Aku merasakan keganjilan bermakna dalam pada baris kalimatnya. Apa maksud anda?

"Bagaimana denganmu? Bagaimana bentuk dunia bernama Bumi itu?" tanyanya gantian.

"O-oh yeah, begitulah. Tidak ada makhluk mistis atau yang berbau fantasi di sana, yang ada hanya teknologi dan sains. Peri tidak ada. Penyihir tidak ada. Orang-orang terbang memakai pesawat, bukan sapu lidi ataupun sayap. Orang-orang mendapat informasi terbaru lewat gawai petak elektronik yang menampilkan semua hal. Hanya saja..." Bumi menarik di berbagai sudut pandang orang. Tapi tidak denganku karena aku tidak disukai karena aku yang cerewet. Sementara di sini? Aku punya banyak teman yang peduli padaku.

"Hanya saja?" Kala menunggu.

"Yah, itu saja kok." Aku tersenyum simpul, malas melanjutkan ceritaku yang basi.

Aku berkeringat dingin. Sekarang aku mulai merasakan tekanan rasa takut harus segera pulang ke Bumi dan meninggalkan Asfalis. Perang sudah selesai, tak ada gunanya lagi aku di Fairyda. Aku sudah janji pada diriku sendiri untuk pulang setelah urusanku tuntas.

"Ada apa? Kau baik-baik saja-"

"Di sana kau rupanya, Verdandi."

Kami berdua tersentak, beranjak bangun. Adalah Madam Shayla dan Madam Allura.

"Kenapa, Madam?" Aku berusaha tersenyum padahal hatiku tengah bergemuruh tak santai.

"Apa kau sudah siap untuk besok?"

Aku mengingat-ingat besok hari apa. Ada festival untuk merayakan kemenangan? Tidak mungkin. Kan sudah dua minggu lalu. Acara seperti Gladi Perang? Aku berpikir keras dan menyerah tak menemukan jawabannya.

"Besok adalah upacara pembentukan Pohon Neraida baru. Kami harap kau istirahat penuh hari ini agar besok kau dalam kondisi terbaik."

Aku melotot. Oh, benar! Pohon Neraida!






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro