Chp 150. Pulau Jeju, Awal Dari Semuanya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jadi, kita akan ke mana?"

Semalam sebelum tidur, tim empat berdiskusi tentang tujuan mereka. Mencari referensi untuk menciptakan sebuah lagu memang sebaiknya langsung ke ahlinya: entertainment.

Haedal menawarkan rekan timnya untuk datang ke agensinya. Tidak ada guru yang lebih baik daripada orang yang sudah pengalaman. Mereka bisa tanya-tanya, terutama Haedal dekat dengan para pegawai di agensinya.

Mereka membagi tugas. Do-Woo bagian musik dan lirik lagu, Lantern dan Haedal bagian koreografi, Kyo Rim dan Maehwa bagian konsep serta penataan panggung.

"Tidak, lupakan tujuan. Kita harus pilih tema dahulu. Merujuk genre lagu kita adalah ballad, bagaimana jika hati yang patah?"

"Itu sudah terlalu umum." Lantern, Do-Woo, dan Haedal serempak menolak ide Kyo Rim.

Tidak semua lagu ballad harus tentang romansa, tentang kesedihan cinta. Ada yang menceritakan pupusnya harapan, impian yang tidak bisa digapai, atau curhatan seorang anak yang mengalami kekerasan di sekolah sampai ingin mengakhiri hidupnya. Menghina dunia.

Kyo Rim menoleh ke Maehwa, bermaksud meminta pendapatnya. Tapi anak itu tidak semangat diajak bicara. Dia dari tadi lebih banyak diam. Menatap cermin, menghela napas. Menatap cermin lagi, tertawa robotik.

Astaga! Apa akhirnya Maehwa kerasukan?!

Ah! Lantern menepuk tangan. "Bagaimana dengan orangtua atau keluarga? Mumpung sebentar lagi Mother's Day."

"Apa maksudmu? Itu sudah lewat sebulan lalu, saat kita masih syuting di episode ketiga atau keempat. Kau tidak melihat tanggal?"

"Benarkah?" Lantern memeriksa ponselnya, meringis. "Seperti aku salah lihat bulan."

Kyo Rim diam, menggenggam erat sebuah flashdisk. Dia menggigit bibir. "Kurasa—"

"Tema keluarga sepertinya menarik untuk dieksekusi." Maehwa menyela. Gayaannya saja melamun. Sebenarnya dia menyimak sejak awal. Lupakan masalah Dokter Lema sejenak. Dia harus fokus pada masalah di depan mata.

Sekarang sedang marak-maraknya anak kabur dari rumah karena orangtua yang suka marah-marah. Ada juga anak yang bunuh diri karena tekanan dan kekangan orangtua. Atau sebaliknya, seorang anak mengabaikan larangan orangtuanya bahkan berani melawan.

Lantern tersenyum. "Benar, kan? Makanya kita pakai tema keluarga saja. Bagaimana, Kak?"

Haedal mengangguk. "Aku setuju-setuju saja. Tapi bagaimana dengan Kyo Rim dan Do-Woo? Apa kalian setuju? Terutama kau Do-Woo. Kami harus memikirkan saranmu karena kau lah yang akan membuat lagunya nanti."

"Aku tidak keberatan."

Kyo Rim menarik tangannya. "Aku juga. Tema keluarga? Ballad sekali! Aku sudah bisa membayangkan Interstellar akan menangis."

Mereka tertawa, kecuali Maehwa yang melirik Kyo Rim. Dia tahu Kyo Rim hendak mengatakan sesuatu, namun pria itu menahannya. Apa karena Maehwa menyetujui ide Lantern? Maehwa baru tahu Kyo Rim tipe memendam.

"Sepertinya pergi ke Pulau Jeju akan memberi inspirasi. Jeju kan pulau yang indah. Biasanya melihat yang indah-indah bisa memicu munculnya ide lho," usul Do-Woo, tersenyum.

"Jeju, ya? Sudah lama aku tidak ke sana..." Haedal menerawang. Ide Do-Woo disetujui.

"Benarkah? Kata siapa?" Beda persepsi dengan Kyo Rim yang tertarik dengan kalimat Do-Woo.

"Kata novel. Protagonis pria mengatakan indah pada gadisnya. Lalu dia mendapat ide untuk menembak gadis itu di pantai. So sweet, kan?"

Lantern berbinar-binar. "Apa dia diterima??"

Do-Woo menggeleng, murung. "Saat dia mau mengungkapkan perasaannya, pria kedua datang mengganggu. Dan malah dia yang nembak heroine. Itu bab paling menyebalkan."

"Bagaimana dia bisa tahu heroine ada di sana?"

Haedal dan Kyo Rim seketika manyun. Ternyata dia korban novel romantis picisan. Mereka lupa kalau dua anak itu masih 19 tahun, seperti Jinyoung dan Kangsan. Pembicaraan yang awalnya membahas tema lagu, sekarang berpindah pada isi novel yang dibaca Do-Woo.

Pulau Jeju, huh? Kenapa harus ke sana sih...

***

Besok paginya.

"Kenapa mereka terus bilang aku nggak punya aura idola? Memangnya idola punya aura kek gimana? Shining shimmering splendid?"

[Mungkin masalahnya ada pada gaya pakaianmu yang sederhana. Tidak berwibawa sedikitpun.]

Apa yang salah dari hoodie? Itu kan keren. Di tubuh sebelumnya Maehwa menjadikan hoodie sebagai baju utamanya. Ke mana-mana selalu mengenakan hoodie dan ditimpuk pakai jas.

Lalu apa, mereka ingin Maehwa memakai celana ketat hingga sudah bergerak atau celana robek-robek seperti kekurangan kain? Ada apa dengan budaya fashion anak muda sih. Kenapa mereka memakai celana robek? Harusnya dijahit dulu biar sopan, biar kakinya tidak terlihat. Mereka suka sekali pamer aurat.

Danyi menepuk dahi. [Lantas kamu ingin memakai baju pendeta, begitu? Jadi pastor saja sekalian. Nggak usah jadi idol.]

"Kau ngedukung aku jadi idol atau nggak sih, sialan? Aku mau tukar admin!"

PLAKKKK!!!

Tidak ada lagi percakapan. Maehwa bersiap dengan cepat lalu menyusul teman-temannya. Ada kelompok yang sudah pergi dari jam tujuh tadi (berarti tujuan mereka jauh), ada juga yang masih menyarap di kantin.

Kabar baiknya, tim Maehwa mendapatkan kameramen yang pendiam. Baguslah. Suasana di dalam mobil sedikit tenang. Dia sudah pusing karena Do-Woo dan Kyo Rim duet, lalu Haedal ikut-ikutan. Kalau ditambah satu suara lagi, Maehwa pasti sudah mengamuk.

Ada banyak yang dia pikirkan. Yang paling dominan adalah misi yang diberikan Danyi. Saat debat kesekian kalinya tadi pagi, Danyi bilang dia masih belum menemukan misi baru untuk Maehwa. Daftar quest belum diperbaharui.

Apa Maehwa ambil saja misi membuat lagu itu? Tapi, tapi, tidak mungkin dia bisa!

Maehwa menghela napas kasar, memandang ke luar. Dia tidak tertarik mendengar nyanyian teman-temannya, bergelut dengan pikirannya.

Masih ada waktu. Aku harus sabar. Danyi akan mencarikan misi mudah untukku.

***

"Wahh!! Kita di Jeju! Lautnya indah."

"Jeju memang luar biasa ya. Pemandangannya tidak berubah. Haedal, foto aku dong."

"Aku ikut, aku ikut!"

Maehwa geleng-geleng kepala melihat kelakuan Lantern, Kyo Rim, dan Do-Woo seperti anak kecil diajak ke pantai oleh orangtuanya. Dia menatap Haedal yang tersenyum melihat lautan biru. Mereka seolah sudah lupa tujuan datang ke Pulau Jeju adalah cari referensi.

"Pergilah," gumam Maehwa mengambil alih kamera Haedal. "Biar aku yang memotret."

Haedal dengan senang hati menyerahkannya. Mereka berempat mulai berpose. Awalnya pose yang lumrah, namun lama-kelamaan pose mereka semakin aneh dan absurd sampai kameramen tertawa untuk pertama kalinya. Apa mereka remaja baru puber? Kekanakan!

"Astaga, Maehwa! Ini benar-benar kau yang ambil? Kau pandai memotret ya??"

"Kukira Kak Maehwa cuma pandai main game."

"Tapi omong-omong, Maehwa-nya ke mana?"

Mereka hanya lengah beberapa detik untuk memeriksa hasil jepretan Maehwa yang cantik, namun Maehwa sudah hilang dari pandangan. Kata kameramen, Maehwa pergi membeli minuman di swalayan terdekat.

Tentu saja Maehwa berbohong. Dia sebenarnya pergi ke jalan tempat dirinya yang dulu kecelakaan. Ah, bukan. Dibunuh.

Maehwa mengingat cuplikan yang diperlihatkan GM dengan jelas, bagaimana dia diperdaya oleh dua gadis sok polos yang bersekongkol dalam pembunuhan Im Rae. Tawa mereka, ejekan mereka, membuat emosi Maehwa bergejolak. Belum lagi jasadnya dibuang ke laut.

Pekerjaan para begundal itu terlalu rapi seakan membunuh seseorang adalah hal gampang. Apakah mereka pembunuh bayaran?

Debur ombak menyadarkan Maehwa. Dia  melangkah ke pagar pembatas, melongok ke bawah.  Tebing itu tinggi. 400 meter. Mereka melempar jasad Im Rae dari ketinggian ini? Apa mereka bukan manusia? Teganya, teganya...!

Maehwa berbalik, hendak lari menjauh. Ke mana pun, asal tidak di sana. Berlama-lama di jalan itu bisa membuat akal sehatnya hilang. Tapi sayangnya Maehwa tidak memperhatikan jalan. BRUK! Dia bertabrakan dengan seseorang.

"Siswa, kau baik-baik saja?" tanya Maehwa, agak panik karena pelajar itu sesegukan. Dia tidak menangis karena Maehwa tidak sengaja menabraknya, kan? Aduh, apa itu sakit sekali?

Maehwa melihat nametag siswa itu.

Kim Yeosu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro