Chp 82. Ulahmu Rupanya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bukan seperti itu, Kak Maehwa. Pertama, kakak harus mendapatkan iramanya dahulu. Rap melebihi mengatakan sesuatu bersajak. Kakak mesti menyelami musiknya sampai ke sumsum tulang. Begitu kakak berhasil internalisasi, kakak akan menyatu dengan musik dan lirik. Kalau kakak tidak menyatu dengan ketukan, rap kakak akan terdengar kaku dan tidak alami."

Aku menggaruk kepala. Walau Jinyoung sudah menjelaskan apa yang dia bisa, tidak mudah untuk mengimplementasikannya.

Ini gawat. Tarianku terhambat karena badanku sakit-sakit. Latihan nyanyian rap-ku juga tidak menunjukkan perkembangan. Evaluasi sementara akan dilakukan lusa depan.

Tapi, bukan hanya aku yang kelelahan.

Aku melirik Daejung, Jun-oh, dan Hong Jo yang meregangkan badan. Kami latihan sejak dua jam lalu. Badan sudah lengket oleh keringat.

Struktur tarian lagu ini terlalu sulit dan menggenjot banyak stamina. Apalagi saat bait kedua, stamina yang dikeluarkan dan dibutuhkan semakin besar. Kaki Hong Jo dan Jun-oh terluka dan sedang dibebat. Jinyoung, jarinya yang bengkak. Hanya Daejung yang tampak fit.

Masa depan tim ini semakin memeper.

Membicarakan tim, aku belum menemukan nama tim yang tepat merujuk aku leader-nya. Haah, sepertinya aku membutuhkan waktu sendiri.

Hingga akhirnya sore tiba.

"Baiklah. Kita sudahi latihan kita dan pergi ke kamar masing-masing lalu mandi. Nanti malam ada jadwal ke Ruang Jurnal. Setelah itu baru kita lanjut diskusi," kata Jun-oh. "Ingat, rawat dan jaga tubuh kalian baik-baik."

Tim bubar dengan ekspresi gelap.

Aku menutup botol air. Memang, yang terbaik itu adalah latihan sampai bercucuran keringat lalu minum air dingin melepas dahaga. Ini akan mantap kalau minumannya bir.

"Maehwa." Jun-oh duduk bersandar, mengurut kaki. "Apa kau sudah hafal liriknya?"

"Hafal sih hafal, tapi aku belum terlalu lancar menyanyikannya." Aku berkata apa adanya.

"Bagus. Aku sudah menyiapkan koreografi untukmu lho." Jun-oh menyeringai. "Koreo ini sangat cocok untuk bagianmu."

Dia mulai memberitahu idenya. Wajah frustasiku menjadi cerah. "Oke, akan kulakukan itu."

"Ngomong-ngomong apa kau sudah menentukan nama kita? Kudengar tim lain sudah memberitahu nama tim ke para mentor." Jun-oh bertanya, topik apa saja yang terlintas di benak.

"Tadi belum, sekarang sudah berkatmu."

Jun-oh terkekeh. "Aku merasa terhormat. Jadi, apakah itu, kalau aku boleh tahu?"

"Ayo kita namai tim kita SOLDAT (tentara)."

♪♫♬

Rasa nyeri itu kambuh lagi ketika aku keluar dari kamar mandi. Seperti kemarin, hanya beberapa detik, dan sakitnya hilang. Lama-lama aku mulai kesal dengan keganjilan ini.

Bukan karena apa. Aku sungguh terganggu sakit yang kambuhan tanpa tahu kapan munculnya. Untunglah kambuh saat sudah selesai latihan, bagaimana kalau itu berulah saat di momen penting? Contohnya evaluasi sementara lusa?

Tidak bisa. Aku tidak bisa terus diam seperti orang bodoh. Aku harus mencari penanganan atau sekiranya tahu bagian apa yang terluka oleh benturan tangan Daejung.

Tapi aku tidak punya ide!

Kalau aku mengeluh ke Tim Medis dan mereka mendapati ada sesuatu terjadi di dadaku, aku akan ditarik. Aku takkan bisa tampil. Aku akan dipulangkan lalu kereta ekspres menuju neraka parkir dengan gagah di depan motel.

Terlebih bagaimana kalau mereka melihat tato Idol Player? Masalah merembet ke mana-mana.

Tunggu sebentar... Aku berhenti mengeringkan rambut yang basah dengan handuk.

Entah kenapa aku teringat si Doctor Player.

Pertama dan terakhir kali kami bertemu, kami berpisah dengan damai. Itu berarti kami tidak punya hubungan permusuhan. Bagaimana kalau aku minta bantuan dia saja?

Tapi dia kan dokter. Sementara rumah sakit di Korea itu banyak. Yang mana satu dia bekerja? Aku juga tak bisa memakai skill-skill sistem.

"Bentar, kalau dia dokter ditambah seorang pengguna sistem itu berarti dia pasti dikenal sebagai dokter genius dan sering diliput berita..."

Aku menjentikkan jari. Artikel tentang Doctor Player pasti berserakan di google.

Itulah yang akan kulakukan di Ruang Jurnal nanti malam karena di sana trainee-trainee diperbolehkan memakai ponsel untuk menghubungi orang tua atau mengeluhi latihan yang berat. Terserah! Selagi berada di Ruang Jurnal, trainee bebas menceritakan apa pun.

Aku tidak punya orangtua yang harus dikabari. Kepala Panti, Nona Kimi, mengenal Im Rae bukan Han Maehwa. Dia hanya akan mengira salah sambung ditelepon oleh trainee Star Peak.

Aku terbiasa sendirian...

Kutepuk pipiku. Sadarlah, Im Rae. Bukan saatnya bersikap emosional dan melankolis. Ada badai yang harus diterjang. Aku mesti memastikan kapalku tidak terbalik saat menantangnya.

Aku pun masuk ke Ruang Jurnal nomor 13 karena itu masih kosong—trainee tidak butuh mengantri saat menggunakan Ruang Jurnal karena trainee butuh waktu lama untuk curhat ke kamera, jadi tidak mungkin ditunggu.

Kulirik kamera di atas langit-langit. Aku harus bicara hati-hati kalau tidak aku akan dituduh mempunyai sponsor di luar sana.

Baiklah. Aku menyambar ponsel di meja.

'Dokter terkenal di Korea'. Aku mengetiknya seperti itu. Ini momen ketika tidak tahu apa yang dicari, tapi tetap memaksa mencari.

Muncul! Aku menyeringai. Aku ingat wajahnya.

Nama Doctor Player adalah Cheon Dain. Alamat rumah sakit dia bekerja di wilayah Sungin-dong. Aku mengangguk, menulis alamat di note kecil. Nomor Dain juga tertera di personalia.

Aku menghubunginya. Semoga dia tidak sibuk, lebih-lebih menolak teleponku. Biasanya dokter mendapatkan jadwal operasi kapan saja?

{Ya, halo? Dengan siapa?}

Diangkat! Aku bersorak dalam hati. "Dain..." Aku mengecilkan volume suara. "Ini aku, Idol Player. Kita bertemu beberapa waktu lalu."

Hening sejenak sebelum Dain menjawab dengan gelak tawa. {Ahahaha! Kau mencari tahu tentangku ya. Jadi, apa yang dibutuhkan seorang idol sepertimu sampai menghubungiku malam-malam begini? Berbisik-bisik pula. Asal kau tahu, ada dua operasi menungguku.}

Kali ini aku berbicara dengan volume yang normal. "Ini hanya sebentar. Dengar, sepertinya aku sakit karena koreografi timku sangat kompleks. Apa kau mau memberi pendapat?"

{Sakit? Di bagian mana tepatnya?}

Aku pura-pura batuk. "Di dada."

Di seberang sana, terdengar suara perawat yang meminta Dain segera bergegas ke ruang operasi. {Jika itu benar-benar menyakitkan, datanglah ke tempat kerjaku nanti. Hari ini aku lembur dan berada di rumah sakit 24 jam. Kau tahu namaku, berarti kau tahu alamatnya.}

Aku menyeringai. "Dengan senang hati."

Sambungan telepon terputus. Bagus, dia orang yang ramah karena bawaan pekerjaan.

Dan itulah siasat yang kurencanakan.

Pukul dua malam, saat teman roommate-ku terlelap, lebih-lebih Jun-oh yang tidur mengorok—keras sekali membuat tanganku gatal ingin menyumbat mulutnya dengan tisu—aku keluar dari selimut, turun dari ranjang tanpa suara.

Aku memakai jaket dua lapis karena udara malam sangat dingin. Tak lupa masker, topi, dan kacamata. Yosh! Aku siap menyelinap.

[Im Rae. Top global game bergenre mata-mata.]

Aku menghindari kamera pengawas, staf yang masih berkeliaran di asrama, melewati pintu keluar dengan gerakan mulus. Ternyata punya badan kurus dan kecil ada gunanya juga.

"Hahaha! Benarkah itu yang terjadi?"

Mataku melotot, langsung berhenti melangkah sebelum menuruni tangga besi. Ada dua orang berbicara di dekat pintu khusus karyawan dan aku kenal betul pemilik suara-suara laknat ini.

Daejung dan Hangang. Itu mereka, kan? Aku mengipas-ngipasi asap di udara. Tanpa memakai masker pun aku tahu itu bau asap rokok.

"Andai aku juga di tim kalian, aku pasti bisa melihatnya. Wajah Maehwa yang menahan amarah. Dia pasti terlihat konyol karena tidak bisa marah-marah karena ada kamera."

"Itu sungguh menyenangkan! Kakak benar, mengganggu Maehwa adalah hiburan yang seru! Di luar dia tampak sabar, tapi aku yakin di dalam dia tengah menyumpahiku."

"Yeah, dia memang sering bersikap seperti itu. Aku muak dengannya yang berpura-pura baik di depan kamera. Aku benci melihatnya menjaga image baiknya di depan timnya. Bagaimanapun, lakukan saja tugasmu. Buat Maehwa tidak bisa tampil dan akan kuyakini kau bebas dari evil editing. Aku punya kenalan di divisi pengeditan."

"Hahaha! Serahkan padaku, Kak!"

Mereka saling cheers sebotol minuman keras.

Tanganku terkepal kuat. Hangang, jadi ulahmu rupanya. Semua kekerasan fisik yang dilakukan Daejung, ternyata kau biang keladinya.

"Ngomong-ngomong apakah baik-baik saja merokok dan mabuk di sini, Kak?"

"Aman. Tidak ada kamera kok. Mendengar ceritamu tentang Maehwa yang payah di latihan, membuatku ingin minum minuman keras."

"Tapi Kak, Jinyoung lama-lama mengganggu—"

Aku melompati tangga dan turun dengan sempurna ke belakang Daejung. "Apakah itu benar? Tidak ada satu pun kamera di sini?"

Mereka berdua terkejut, menoleh. "Maehwa?!"

Aku memegang pergelangan tangan kanan untuk menambah intensitas kekuatan. Dan...

Satu pukulan mendarat di perut Daejung.

~To be continued~

Bagaimana? Sudah puas, adik-adik?

Tapi masalah mereka bertiga Hangang, Daejung, dan Maehwa masih lama selesainya karena nanti Maehwa kena bumerang. Dia yang ingin menendang Daejung, malah dia yang jadi terancam dikeluarkan dari Star Peak nantinya.

Apa yang terjadi? Kok ceritanya jadi begitu?Stay tune di Kafuusa channel! Don't forget like, comment, and subscribe! Follow maksudnya.

♩✧♪●♩○♬☆

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro