Chp 83. Ini Peringatan Terakhir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Daejung terseok beberapa langkah. Dia meringis memegang perutnya yang kena telak oleh tinjuku. "A-apa yang kau lakukan, Maehwa?! Apa kau akhirnya menjadi gila? Sial, kau mau kutuntut karena kekerasan fisik?!"

Si bajingan ini ngomong apa? Bisa-bisanya dia membahas topik kekerasan selagi korbannya berdiri di depannya. Antara pukulanku kurang keras atau dia memang berotak burung, aku tidak tahu lagi. Sepertinya aku harus membuatnya terbang dulu baru sadar kali ya.

"Jangan lebay, munafik sialan. Seharusnya kau bersyukur aku tidak memukul wajahmu. Aset berharga seorang idol." Aku tersenyum miring. "Bagaimanapun kau anggota timku. Aku sih tidak peduli kau mau terluka kek, sekarat kek, mati kek, tapi tim bisa disalahkan karena memaksa anggotanya berlatih di luar batas."

Hangang buru-buru mengeluarkan ponselnya dari saku sambil tertawa teler (mungkin efek alkohol). "Hah! Akhirnya kau memperlihatkan kepribadianmu yang asli! Bagus, aku bisa—"

Aku menendang batu di tanah. Batu itu mengenai ponsel Hangang bersama jari-jarinya. Dia refleks mengaduh kesakitan. Ponselnya jatuh dan rusak begitu bertemu bebatuan.

"Kau tahu, Hangang?" Aku melangkah ke tempat Hangang dan menginjak ponselnya sampai terdengar suara keretak yang renyah. "Ilmu bela diri itu penting, tapi ilmu SADAR DIRI juga sama pentingnya. Cobalah berkontemplasi. Siapa tahu kau mendapatkan pencerahan hati."

Hangang melotot marah. "Apa yang kau lakukan, brengsek?! Pindahkan kakimu dari ponselku!"

"Aku bukan temperamen, tapi aku juga bisa marah lho kalau kalian menggangguku terus-menerus. Pernahkah kalian merasakan perasaan seorang gamer yang lose streak 10 kali? Itulah yang sedang kurasakan saat ini."

"L-lalu mau apa, huh? Kau pikir aku takut padamu?" Hangang berusaha tetap tenang, mengangkat dagunya jemawa. "Dengar ya, aku punya banyak kenalan di industri ini untuk menghancurkanmu. Kau salah memilih profesi."

"Jika kau ingin bertarung denganku, maka bertarunglah dengan adil. Aku muak dan lelah melayani permainan anak-anak kalian."

Daejung mengepalkan tangan. Dia... ketakutan? Bahkan Hangang menjadi gugup! Daejung pikir ketua timnya hanya orang lemah yang suka memakai topeng di depan kamera.

Ternyata 'Han Maehwa' sekuat ini?

Tidak. Mereka keliru berpikir aku kuat, ikut les bela diri, atau semacamnya. Aku yang malas olahraga ikut privat taekwondo? Aduh, itu mustahil terjadi. Rahasia sebenarnya adalah...

... Aku hafal semua kombo Takkan seri 7! Sebuah game pertarungan dari Jepang! Jadi aku bisa bertarung secara tidak langsung.

Aku mengeluarkan tangan dari jaket. "Ini peringatan terakhir, jangan ganggu aku lagi. Dan untukmu Daejung, jangan mengacaukan performa tim atau kau benar-benar menyesal."

"Kau pikir kau siapa beraninya memerintah—"

"Kau belum mengerti juga?" Aku mendesah jengkel. "Sebenarnya otak kalian sekosong apa sih? Siapa yang memerintah siapa? Aku ini sedang memberi peringatan padamu. Kau bisa mengartikannya sebagai ancaman."

Hmm, aku sudah mengatakan setengah daftar unek-unekku pada mereka. Akan membuang waktu kalau aku terus berada di sini. Dain nanti mengira aku bukan pria penepat janji.

Hangang membantu Daejung berdiri. "Kau pikir kau akan selamat setelah ini, Maehwa?"

"Tidak, dan kalian takkan selamat juga dengan rokok dan dua botol alkohol itu. Kita memiliki bukti lisan, memegang rahasia tanpa satu pun kamera. Mari ke lubang neraka bersama-sama jika rahasia ini terbongkar oleh Scarlett."

Aku melambaikan tangan, mengangkat tudung hoodie-ku yang jatuh ke kepala.

"Tunggu saja!" teriak Hangang sekali lagi. "Aku pasti akan menghancurkanmu! Akan kutemukan bukti kau seorang pembuli! Lalu seperti hyena, kau akan dimakan hinaan dan cacian dunia yang membuatmu tak punya pilihan selain mati!"

"Silakan saja, tapi kau takkan menemukan apa pun tentangku karena aku seorang STRANGER."

Seseorang yang tidak kalian kenal.

Aku turun dari taksi.

Haah, akhirnya aku tiba di rumah sakit Dain. Andai aku membawa ponsel, aku tidak perlu memprovokasi Hangang dan Daejung seperti itu dan cukup merekam percakapan mereka saja.

Tapi baterai ponsel murahan itu terlalu boros dan terpaksa ku-charger di kamar!

Ya sudahlah. Mendengar kata-kata Hangang, sepertinya benar tidak ada kamera di tempat itu. Aku aman karena latar belakangku bersih.

Aku masuk ke bangunan dan pergi ke bagian administrasi yang berjaga malam. "Permisi, saya membuat janji dengan Dokter Cheon Dain."

Petugas wanita itu salah fokus dengan suaraku yang merdu di telinganya. "A-ah, Dokter Cheon telah memberitahu ada tamunya yang akan datang. Ruangan beliau ada di lantai 4."

Aku mengangguk. "Terima kasih."

Aku bergerak menuju lift, memencet tombol tidak sabaran. Cepat! Cepat! Cepat!

Di ruangannya, Dain berhenti menonton video klip saat pintu terbuka dan menampilkan aku masuk dengan langkah terburu-buru.

"Akhirnya kau datang, Maehwa. Aku sudah—"

"Aku pinjam toiletmu sebentar!!!"

Menunggu selama lima menit.

Aku keluar dengan ekspresi lega. "Udara dingin, sopir taksi juga tidak mendengarku untuk memastikan ac mobil. Aku kebelet dari tadi."

Dain bersedekap. "Kau sungguh pria tak tahu malu. Bagaimana mungkin toilet pertama yang kau cari? Alih-alih idol, kau cocoknya menjadi aktor atau pelawak komedi. Pasti kau terkenal di kalangan anak-anak dan lansia."

Aku ikut bersedekap. "Kau tahu namaku?"

"Rasanya curang hanya kau yang tahu namaku dan aku mencari program audisi yang sedang berlangsung. Aku diberitahu oleh salah satu bawahanku tentang Star Peak dan melihatmu di sana. Nyanyianmu bagus."

"Jangan menjadi fansku. Itu memalukan."

"Kau yang menjadi fansku karena aku yang kau ingat pertama kali di kala kau sakit," kekehnya.

"Ngomong-ngomong, kau cocok dengan setelan jubah putih itu. Tampak seperti dokter sejati."

"Ngomong-ngomong, kau juga cocok di atas panggung. Kau tampak seperti bintang sejati."

Enak mengobrol dengan orang yang nyambung.

"Jadi, di mana letak salahnya?" tanya Dain.

Aku menceritakan keluhanku.

Dain mengelus dagu. "Begitu. Kau dibuli rupanya. Persaingan antar idol... Haah, ini sama denganku yang digencet oleh profesor. Kita senasib."

"Apa kau tahu di bagian mana sakitnya? Aku ada evaluasi sementara lusa depan dan akan tampil lima hari lagi di panggung."

"Kau tidak perlu khawatir. Kurasa ini adalah Precordial Catch Syndrome, serangan nyeri di dada yang muncul ketika saraf-saraf di dada terhimpit atau mengalami stimulasi kuat. Kondisi ini bukan kegawatan medis karena sering dialami anak-anak, remaja, atau individu berusia 20 tahun. Kau yang sekarang 20 tahun, kan? Sindrom ini bisa menghilang sewaktu-waktu. PCS tidak membutuhkan penanganan khusus."

"B-benarkah akan hilang begitu saja?"

"Tapi aku meragukan sesuatu. Sebenarnya penyebab PCS tidak selalu diketahui. Banyak yang salah mengartikan PCS merupakan faktor-faktor munculnya penyakit jantung seperti kasus benjolan tumor usus yang sering disalahpahami sebagai sembelit atau infeksi usus jika kau tidak berhati-hati mendiagnosis."

Aku mendengarkan dengan saksama.

"Ada baiknya kita melakukan CT-scan. Aku khawatir terjadi sesuatu yang serius jika uncheckable. Tapi ruang radiologi sedang dipakai untuk penelitian profesor. Jadi..." Dain meraih gagang telepon, menghubungi seseorang. "Ah, Dahlia, bisakah kau membawakan mesin rontgen portabel ke ruanganku? Secepatnya ya."

Dain bangkit dari kursi, menatapku. "Kenapa kau diam saja? Buka dan ganti bajumu dengan piyama pasien supaya nyaman."

"Ck, kau tidak mengatakan apa pun. Ya mana aku tahu aku harus apa." Aku melepaskan jaket.

"Hei, berapa umurmu? Hormat dong!"

Aku menyeringai. "Aku aslinya 32 tahun—"

Lutut Dain luruh menyentuh lantai. "Ternyata... kau lebih sepuh dariku. Aku mati di umur 30 tahun setelah akhirnya aku mendapatkan titel profesor. Matiku tidak elite, ditabrak truk es krim. Yang kena bentur otak bagian belakang. Makanya aku langsung mati di tempat."

"Eh? Kau murni kecelakaan? Aku sih dibunuh."

Dain menggeleng. "Aku didorong ke jalan."

Ah... Aku menutup mulut, fokus melepaskan kancing baju. Dain juga terlihat canggung. Ternyata kami sama-sama mati dibunuh.

Pintu terbuka. Dahlia masuk. "Dokter Cheon, saya sudah membawa pesanan anda—"

Aku terkesiap, menoleh. Gawat!

Dahlia menutup mulut kaget. "M-M-Maehwa?!" Matanya berputar-putar pusing melihatku setengah telanjang. "T-tubuh boneka macam apa itu?! Tampak halus seperti Anak Penjual Bunga!!"

Dan dia pun pingsan dengan mimisan.

"Apa dia baik-baik saja?" tanyaku.

Dain menghela napas. "Dia penggemarmu."

~To be continued~
Don't forget like, comment, and follow
♩✧♪●♩○♬☆


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro