Path-01

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

10 tahun kemudian...

"Harus berapa kali kubilang, usiamu belum 17! Bahkan kau belum mendapat kartu tanda kependudukan. Sistem Poin hanya berlaku pada warga yang memenuhi dua persyaratan itu."

"Ayolah, beri saya keringanan. Saya kan sudah 16 tahun. Apa salahnya kurang setahun?"

"Aturan tetap aturan. Tunggu tahun depan."

Aku mendesah jengkel. Kalau harus menunggu satu tahun lagi, aku keburu mati kelaparan. Program Sistem Poin satu-satunya lumbung kerja yang bisa kumanfaatkan. Kebaikan yang menghasilkan uang.

Bertahun-tahun hidup di negara monarki konstitusional yang modern ini, masalahku selalu saja uang dan uang. Aku butuh uang! Mau pindah tapi butuh uang.

Saat ini, aku bekerja paruh waktu di sebuah Kantor Akuntan Tim Audit sebagai tukang kuli. Merobek kumpulan dokumen yang tidak dibutuhkan dengan paper shredder, berdiri berjam-jam di depan mesin fotokopi, membuat salinan, dan bermacam-macam. Para orang dewasa yang berkerja di sana menyukai sifatku yang penurut, patuh, dan jarang berbicara.

Berkat kinerja yang ulet, aku dipertahankan di sana walau cuma sebagai pesuruh semata. Aku tidak malu dengan pekerjaan ini. Lebih baik menjadi babu elite daripada babu proletar... Apa itu kasar? Baiklah, maafkan aku.

Mereka memberiku gaji 10.000 utra per bulan. Itu cukup membayar SPP sekolah, makan sehari-hari, dan sewa apartemen. Aku benci menunggak. Maka dari itu aku tidak boleh telat membayar carteran.

Aturan pembayaran spp di tingkat Semenat tergantung hasil pendapatan orangtua yang dibagi menjadi empat golongan. Apalagi aku bersekolah di sekolah negeri. Tapi karena aku yatim piatu, bekerja mengandalkan tenaga sendiri, sekolah memberiku kelonggaran. Aku cukup membayar 3.000 utra per semester. Jumlah itu adalah golongan ke-4 dari pendapatan orangtua: pekerja kalangan menengah ke bawah.

3.000 utra untuk spp. 5.000 utra untuk biaya sewa tempat tinggal. 2.000 utra untuk sehari-hari. 

Terus terang, hidupku setelah mendapatkan pekerjaan paruh waktu berjalan damai sentosa, sebelum akhirnya Kantor Akuntan Candalte terancam bangkrut dan melakukan PHK besar-besaran. Termasuk aku.

Aku harus lebih giat lagi mencari pekerjaan yang mau menerima anak sekolahan.

*

"Siapa mau ikut aku ke taman pusat Melawa?"

Hunju mengangkat tangan (dia yang bicara). Begitu juga Roas. Kecuali aku yang masih sibuk mencatat. Materi sains selalu sukses membuatku mumet.

"Hei, Eir, bagaimana denganmu?" celetuknya, menyenggol tanganku. Aku menatap mereka. Roas melepaskan headphone putih yang menempel di kepalaku. "Mau ikut ke taman Melawa tidak—"

|Bagaimana kabar kalian? Sehat? Sakit?|
|Konyol. Kita ini kan orang mati. Mana bisa merasakan itu lagi.|

"Kembalikan!" Aku menyambar headphone-ku yang diembat Roas, memasangnya lagi ke kepala. Dua suara yang kudengar barusan langsung menghilang.

Mereka saling tatap, sorot mata empati. Hunju dan Roas jongkok menyejajarkan tinggi mejaku. "Itu belum sembuh juga, ya? Kau tidak bisa terus begitu, Eir. Aku akan minta ayahku merekomendasikan dokter."

"Tak usah. Aku enggan merepotkan orang lain. Terutama kalian, temanku sendiri." Lagi pula aku sering dipinjamkan uang oleh keluarga mereka berdua yang baik. Aku tidak mau ketergantungan.

Semenjak kebakaran misterius di daerah Patur yang menghanguskan Semenat Chemistal, semenjak kematian ibuku, aku mampu mendengar dengung suara yang tak dapat didengar orang lain. Isinya random. Bisa berupa basa-basi, percakapan tentang mati-hidup yang tidak kumengerti, dan sebagainya.

Pertama kali aku menganggap 'ini' adalah tinitus. Kedua kali aku anggap 'ini' adalah penyakit trauma. Ketiga kali baru lah aku anggap 'ini' kutukan.

Daripada sakit kepala mendengar ocehan 'mereka yang tidak terlihat', aku memutuskan memakai headset setiap saat ke mana pun aku pergi. Tak kusangka eksperimenku berhasil. Aku akan terus memakai penyumbat tak peduli daun telingaku nyeri.

"Itulah guna sahabat, Eir! Ada saat dibutuhkan. Bukan hanya ada saat membutuhkan."

"Aku bilang tidak ya tidak," tolakku tegas. "Lebih baik kau bantu aku mencari ventura yang butuh pegawai paruh waktu. Tabunganku kian menipis."

"Tapi, Eir, keluarga kami tidak keberatan—"

Guru Bahasa melangkah masuk ke dalam kelas. Siswa-siswi segera duduk di kursi, tak terkecuali Hunju dan Roas. Timingnya bagus. Aku bisa menghindar dari topik pembicaraan.

"Saya akan mengambil absen."

Hmm? Kenapa aku tiba-tiba merasa dingin?

Aku menoleh ke samping. Seorang murid duduk di sebelahku yang memang kosong sejak awal. Tidak ada nama pada nametag-nya.

Sebelum dia menatapku, aku secepat kilat kembali menatap ke depan, menunggu guru menyebut namaku. Jangan sampai dia tahu aku melihatnya. Kemampuan sialan yang tidak pernah kuminta ini bukan sekadar mendengar suara-suara roh halus saja.

Aku tahu. Dia siswa tak bernama yang dirumorkan korban kebakaran 10 tahun silam. Aku setuju dengan rumor tersebut karena guru tak pernah mengabsennya. Juga, tak ada yang bisa melihatnya.

Karena dia bukan manusia melainkan hantu.

Karena Semenat Tabiel, sekolahku, dibangun di atas bekas tanah Semenat Chemistal.

*

Awalnya aku benci kalau harus melanjutkan studi di tempat ini. Secara, dulu Chemistal didirikan di sini. Seorang investor dari luar negeri membantu pembangunan ulang kemudian lahirlah Tabiel.

Kalau bukan aku mendengar desas-desus kebakaran misterius 10 tahun lalu sebenarnya kebakaran berencana, aku takkan niat bersekolah di Tabiel.

Dengan menggunakan kepintaranku yang setengah-setengah, aku mencoba mencari kebenaran. Tetapi, satu semester sudah terlewati dan sampai sekarang aku tidak mendapat petunjuk apa pun terkait insiden pembakaran itu. Mau minta tolong ke pihak berwajib pun rasanya kurang tepat. Mereka sedang difokuskan terhadap pemilu.

"Ayolah, Eir, kita ke taman pusat! Biar Roas yang traktir ongkosmu." Hunju melanjutkan percakapan tadi pagi. "Festival Tebar Bunga akan diadakan dalam minggu ini. Aku mau melihat-lihat keadaan."

Cewek dengan kegiatan selfie-nya. Aku merotasikan kedua mata malas. "Pergi sama Roas. Jangan mengajakku."

"Kau ini hidupnya super serius banget."

"Aku tidak punya keluarga seperti kalian. Aku harus banting tulang untuk makan."

"Ya, ya, ya. Maaf. Situ sih, sok-sokkan nolak kebaikan. Ibuku bahkan menyukaimu. Kaunya yang tidak enakan sendiri," cibir Hunju.

Aku mau menyanggah, tapi kami sudah sampai di jalan ke rumahku. "Aku lewat sini. Sampai besok."

"Bye-bye." Mereka melambaikan tangan.

Setelah berpisah dengan Hunju dan Roas, kepalaku kembali terpatok ke pekerjaan. Sisa tabunganku hanya cukup buat kebutuhan sebulan. Sementara sekarang sudah di pertengahan bulan dan aku tak kunjung-kunjung mendapatkan pekerjaan.

Bagaimana ini? Kalau terus begini, aku benar-benar akan puasa. Di mana lagi aku harus mencari—

Aku berhenti melangkah. Hawa dingin mengembus kudukku. Aura yang sama saat aku merasakan kehadiran hantu 'Siswa Tanpa Nama' di kelas. Apa... apa di sekitar sini ada makhluk halus? Aku tidak takut hantu, namun lain cerita kalau hantunya tukang jumpscare.

Meneguk saliva pahit, aku pun mengikuti dari mana asal aura dingin itu sembari memegang headphone baik-baik. Aku takkan melepasnya.

Aneh. Aku yakin volume headphone-ku cukup keras. Kenapa sayup-sayup aku mendengar rintihan seseorang? Aku menelan ludah. Ini mulai terasa menegangkan. Suara rintihan itu digantikan suara ambrukan seolah ada yang sedang berkelahi. Aku mempercepat langkah, kemudian belok kiri.

Dua orang. Satu pria berbadan kurus tinggi, satu lagi perempuan usia sekitar 20 tahunan memakai hoodie hitam. Rambutnya berwarna merah dan dikuncir kuda. Posisinya sedikit ambigu. Si cewek menduduki pria berwajah sangar, mengunci pergerakan tubuhnya.

Aku ingin mendukung kakak kece itu, tapi-tapi dilihat dari mana pun, bukankah dia tengah melakukan kekerasan pada orang tua yang tidak memberi perlawanan? Apa dia punya masalah dengan paman sangar itu?

"Lepaskan aku, Keeper sialan! Apa kau tidak lelah menjadi budak surga?! LEPASKAN!"

Huh? Apa yang paman itu katakan?

"Mengocehlah sepuasmu setelah kusucikan kau di Upside Down nanti. Ayo kita pergi."

Huh?? Kakak ini juga, apa yang dia katakan?

Kakak Kece menyeret kasar Paman Sangar. Aku tidak mau ikut campur, tapi aku tidak tega karena perlakuan kakak itu menyimpang. Paling tidak dia harus hormat ke orang tua!

"A-anu, bagaimana kalau kalian berdamai?" Dia berhenti berjalan, menoleh kepadaku yang berdiri gugup. "M-maaf seenaknya menginterupsi. Aku tidak tahu apa masalah kalian... Kusarankan selesaikan lah dengan kordial... Tanpa kekerasan dan umpatan..."

Kakak itu menunjuk dirinya. "Kau, berbicara denganku? Kau bisa melihat kami?"

Aku mengernyit mendengar keganjilan pada kalimatnya. Tentu aku bisa melihat mereka. Apa kakak itu lagi ngejoke denganku?

Dia berpikir sebentar, mendekat ke arahku. "Yeah, ada sih beberapa orang berkemampuan indigo. Kau pasti terkejut."

Aku menelan ludah. Dia tahu aku indigo?

Kakak Kece itu mengarahkan tangannya ke kepalaku. "Tidak apa. Setelah bangun, kau akan melupakannya. Tidurlah."

Laksana mantra, aku tertidur karena bisikannya.




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro