Path-02

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kenapa denganmu, Eir? Dari pagi bengong mulu kerjanya. Kau tak lupa menyarap, kan?"

"Aku pikir dia mulai kerasukan deh."

Pukul satu siang, jam istrahat, kami bertiga seperti biasa pergi ke kafetaria bersama. Salah satu fasilitas unggulan di Semenat yaitu murid mendapatkan makan siang gratis. Hal kedua yang kufavoritkan setelah uang.

Oke, kembali ke topik. Aku belum menyentuh jatah makananku sama sekali karena benakku lagi bermain lompat tali di alam lain.

Aku yakin kemarin telah terjadi sesuatu, lalu kenapa aku tidak bisa mengingat apa pun? Ingatan terakhirku terhenti saat aku, Hunju, dan Roas berpisah. Hanya sampai situ, tidak menjawab tanda tanya besar mengapa aku berbaring di sebuah gang dekat rumahku.

Kenapa aku tidur di gang itu, ya? Apa aku pingsan? Jangan-jangan perampokan... Tidak. Perasaanku saat bangun: linglung dan lelah.

"Aku mau tanya, apa kalian pernah merasa ada yang hilang dari ingatanmu?" Akhirnya aku mengutarakannya pada dua sahabatku.

"Kenapa? Kenapa? Apa kau kena hipnotis? Pantas saja hari ini kau terlihat kikuk."

Aku mau menjelaskan, tapi kutahan karena aku sendiri tak punya ide bagaimana cara mengungkapkan hal ganjil ini. Mungkin akunya saja yang terlalu parno memikirkannya.

"Hei, hei, sudah tahu tidak total partai yang ikut pemilu? Jumlahnya 32 lho. Banyak!"

Kami menoleh ke cowok-cowok di depan mejaku. Mereka sibuk membahas soal pemilu. Kurasa mereka punya jiwa ketatanegaraan.

"Harap-harap Partai Z mengirim perwakilan yang pintar ke DEPARA (lembaga legislatif) supaya bijak memilih Perdana Menteri baru. Aku dan keluargaku suporter keras Partai Z."

"Itu pun jika Partai Z lolos," sahut temannya.

"Partai Z termasuk partai yang kuat."

Aku yakin nih, dia menyukai Partai Z karena program kerja andalan partai itu adalah meniadakan wajib militer dan menyediakan setiap sekolah dengan tab. Dengar-dengar Partai Z punya organisasi untuk remaja dan dewasa yang tertarik dengan isu-isu politik.

Well, lagi pula itu bukan urusanku. Aku tidak tertarik dengan skandal-skandal yang ada di negara ini. Aku tidak tertarik pada politik. Aku hanya peduli dengan uang dan biaya hidup.

"Jadi bagaimana, Eir? Apa kau sudah berubah pikiran dan akan ikut kami ke Melawa?" Oh, tidak. Hunju kembali mengungkit topik kemarin.

"Aku tak bilang akan mempertimbangkannya."

"Jangan malu-malu, Eir. Kau butuh refreshing. Apa otakmu tak capek mikirin kerja mulu? Kita masih remaja. Banyak yang bisa kita lakukan di usia muda ini. Jangan membuangnya tanpa kenangan berarti." Roas merangkul bahuku. Semburat merah hadir di kedua pipinya. "Kau tahu, Festival Tebar Bunga identik mencari pasangan. Mana tahu aku bertemu jodohku."

Aku mendengus masam. Ada udang di balik batu. Sudah kuduga, alasan mereka ngebet ingin pergi ke sana pastilah karena tradisi itu!

*

"Kami mencintaimu, Peaceful!"

Haa... Pada akhirnya aku ikut dengan mereka. Tidak enak juga ngotot menolak sementara Hunju dan Roas baik padaku selama ini. Aku tersenyum. Tak apalah menemani mereka. Lagian ongkos perjalananku mereka yang patungan. Aku cuma tinggal bawa diri saja.

Punya teman itu menyenangkan, ya. Hoho.

Ketimbang bus, Roas mengusulkan mending kami berangkat ke sana naik kereta listrik agar cepat sampai. Maka dari itu kami pergi ke stasiun terdekat, mengantri membeli tiket.

Aku berdecak kagum. Humuh. Banyak juga warga yang ingin ke Melawa hari ini. Festival Tebar Bunga benar-benar sesuatu sekali.

Pengen pipis. Aku menoleh ke sekitar. Aha! Untung ada toilet umum. "Aku ke wc bentar."

"Jangan lama-lama. Kita sudah dapat tiket."

Sebenarnya aku bisa saja selesai dalam lima menit karena toiletnya kosong lalu menyusul Hunju dan Roas yang duduk di bangku stasiun. Tapi, salahkan suara perkelahian yang kudengar dari bilik sebelah, kamar air untuk wanita. Suara itu terdengar heboh. Aku pikir sedang terjadi pertengkaran hebat di sana.

Aku bukan orang mesum ataupun gapil. Aku hanya penasaran! Sebatas penasaran doang!

Hawa dingin sedingin es menyeruak saat aku menyelonong masuk. Aku sedikit menggigil, tapi bukan perubahan suhu ekstrem yang mengganggu pikiranku melainkan, aku merasa deja vu dengan situasi ini. Aura dingin ini.

Bum! Bruk! Krak!!!

Aku berbinar jeri melihat seorang perempuan 20 tahunan berambut merah, terbanting ke dinding toilet. Saking kuatnya pukulan yang dia terima, dinding melesak lima senti. Batu bangunan yang kecil berjatuhan ke lantai.

Kekuatan macam apa itu?! Apa pria yang menghajarnya mantan atlet tinju??

Masalah ini jadi kapiran, kan? Aku hanya mau buang air kecil, tapi aku malah terlibat ke perkelahian serius antara wanita dan pria. Terlebih musuhnya tidak menurunkan level kekuatan sama sekali!

Diam-diam aku mengambil tongkat pel di balik pintu toilet. Bagus. Mereka belum menotis keberadaanku. Akan kuserang kuduknya agar dia langsung pingsan dan menolong kakak itu.

"Hah! Kalian, Para Keeper, apa menganggap diri kalian berharga? Istimewa? Berbeda dari kami? Naif! Surga cuma memperalat kalian. Status kalian tak kurang sama seperti kami."

A-apa yang dia ocehkan? Keeper (penjaga)?

"Sayang sekali aku tidak bisa memakan jiwamu karena kau sudah diberkati oleh penanggung jawab Upside Down. Tapi bukan berarti..." Pria itu menyeringai, meradak maju. "Aku tak bisa membunuhmu! Matilah, Keeper laknat—"

Aku memukul tengkuk pria itu, mengerahkan segenap tenaga. Aku tak mau mengambil risiko mengurangi intensitas ayunanku. Kalau benar dia atlet, dia pasti bisa menahannya dan berakhir aku kena hantam juga nanti.

Bukan pilihan salah menggunakan seluruh stamina. Pria itu terkapar pingsan. Fiuh! Aku menoleh ke kakak tadi. Dia fokus memulihkan diri. "A-apa kau baik-baik saja, Kak?"

Eh? Kenapa aku familier dengan wajahnya?

"Orang-orang mengatakan pertemuan pertama adalah kebetulan. Pertemuan kedua adalah kepastian. Pertemuan ketiga adalah takdir. Tapi kelihatannya aku tak butuh pertemuan ketiga," katanya, menyeka sudut bibir yang berdarah. "Kau... bukan sekadar indigo biasa. Apa kau tahu siapa yang kau pukul barusan?"

"T-tidak." Aku menggeleng takut, berkeringat. Yang kutahu dia berniat mencelakainya. Aku hanya menolong. Tolong jangan bilang pria tak sopan itu seorang bangsawan.

Lalu, tahu dari mana dia aku indigo?

"Namaku Attiana. Panggil aku Attia."

"A-aku Eir Peaceful. Salam kenal, Kak Attia." Tuh, kan! Namanya juga familier. Aku pernah mendengar nama itu di suatu tempat—

"Apa kau mau ikut aku ke Upside Down, Eir?"

Tawaran yang mengubah warna hidupku.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro