Path-03

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku punya banyak pertanyaan.

Satu, aku seperti pernah bertemu Attia sebelumnya. Dua, namanya itu lho, membuatku terus terbayang seseorang yang penting di negara Tora. Tiga, apa itu Upside Down? Kalau menuruti arti, terjemahannya adalah 'terbalik'. Attia suka bermain permainan kata?

Bagaimana ini? Firasatku terus memberi tanda kalau Attia seorang bangsawan. Entah keluarga bangsawan yang sudah jatuh atau masih aktif.

"Tidak ada salahnya ikut denganku. Kau takkan dirugikan," katanya menyeret pria pingsan di lantai, berjalan menuju pintu keluar. "Kau butuh uang, kan? Kami bisa memberimu jutaan utra jika kau bergabung dengan kami. Anggap ini eksklusivitas dariku karena kau sudah membantuku menangkap dia."

Ini mulai menyeramkan. Kok dia tahu aku membutuhkan uang? Sejak bertemu Attia, dia terus membicarakan dan menunjukkan hal-hal supernatural yang sering kutulis waktu kecil.

Jutaan utra katanya. Aku mengepalkan tangan. Siapa yang mau menolak uang, terlebih pelajar miskin sepertiku. Aku memang masih takut kalau Attia sosok lady yang menyaru jadi orang biasa, namun kusampingkan dulu.

Bagiku, uang lebih penting.

"Ya! Izinkan aku ikut denganmu, Kak Attia!" Aku berkata mantap, mengirim pesan pada Hunju dan Roas kalau aku batal pergi ke Taman Pusat Melawa.

Kami bisa pergi kapan pun. Sedangkan Attia, aku tidak tahu apa masih bisa bertemu lagi dengannya atau tidak. Gila namanya aku membuang kesempatan emas mendapatkan uang gratis.

"Baguslah kau menyetujuinya. Aku berencana menculikmu barusan." Aku tak tahu apa Attia sedang bercanda. Ekspresinya datar-tembok. Dapat kutebak Attia berkepribadian cool. Dia menatapku. "Ayo pegang tanganku."

"K-kenapa aku harus melakukannya?" Tentu saja aku canggung memegang seseorang yang kucurigai bangsawan.

"Sudahlah. Kita kelamaan di sini."

Tanpa perlu izinku, Attia pun meraih lenganku, tak lupa pria kasar tadi. Kami seketika menghilang dari sana beriringan dengan masuknya seseorang yang ingin menggunakan toilet.

*

Aku punya banyak pertanyaan, lagi.

Satu, sensasi apa yang baru saja kurasakan? Aku seperti tersedot lubang hitam dan di lubang itu aku tak bisa bernapas dalam hitungan detik yang cepat. Dua, kenapa suhu menjadi sejuk sekali? Apa ini masih di toilet?

Aku menatap ke depan. Lho, ini kan masih di stasiun kereta api. Hanya saja tidak ada satu pun orang di sini kecuali aku, Attia, dan pria kasar yang masih pingsan. Aku pun mendongak.

Kukira cahaya matahari berdegradasi, namun tidak ada bola raksasa panas menggantung di langit melainkan pucuk-pucuk gedung yang sering kulihat di kota dalam kondisi terbalik seakan aku tengah berdiri di atas negara Tora.

"Lupakan jika kau ingin mencari matahari atau apa pun itu. Kita sudah bukan di Tora Nyata. Sistem tata surya tak berlaku di sini," sahut Kak Attia, menepuk-nepuk pipi si pria kasar. "Oi, bangun. Aku tahu kau sudah sadar."

Aku mengabaikan Attia. Dia tampak jengkel karena paman yang ringan tangan itu tak mau bangun, berpura-pura masih pingsan untuk menyerang kala kami lengah. Aku lebih tertarik dengan kalimatnya: kami tidak di Tora Nyata.

Maksudnya tempat ini Upside Down yang dia bicarakan tadi? Aku mengusap kedua lengan. Uhh, dingin banget. Aku berasa lagi bertamasya ke kutub utara. Tahu begini aku pulang ambil jaket dulu.

"A-anu, Kak Attia, kok di sini dingin—"

Tubuhku membeku melihat om kasar itu menghilang bagai abu, terduduk lemas. A-apa aku sedang bermimpi? Seseorang lenyap tak bersisa seperti debu!

"Jangan berbelas kasih, dia roh jahat. Kau merasa dingin sebab kau entitas yang hidup. Ini dunia orang mati."

Roh jahat? Dunia orang mati? Ini kan stasiun yang sama. Bedanya tidak ada orang kecuali kami. Aku mulai waswas Attia sedang mempermainkanku. Tapi barusan aku tak salah lihat, kan?!

Aku menoleh lagi ke sekeliling. Ini masih Tora yang kukenal. Tapi... aneh. Tak ada orang, tak ada bising kendaraan atau apa pun. Tempat ini seperti kota mati atau kota zombie di film aksi-fantasi yang pernah kutonton.

"Ayo. Kita harus ke markas dan memperkenalkanmu ke yang lain." Atti beralih melepaskan hoodie-nya, menyerahkan benda itu padaku. "Kau kedinginan, kan? Hangatkan tubuhmu."

"Hee?!! L-lalu Kak Attia pakai apa?"

"Aku ini sudah mati. Udara di sini tak mempengaruhiku. Cemaskan dirimu sendiri."

*

Sepanjang perjalanan ke markas 'Keeper' yang dijelaskan Attia secara singkat, aku merasa terseret ke dunia hening. Maksudku, astaga, kukira tidak ada penduduk di sini tapi aku salah!

Walau tak padat, warga yang kulihat sejauh mata memandang, sibuk dengan kegiatan mereka. Sesekali menatapku tertarik, hanya sekilas angin lalu, dan lanjut bekerja. Apa kami benar-benar di dimensi terbalik?

"Aku pulang. Aku membawanya."

Aku bergegas mengikuti Attia, takut tertinggal. Bagaimanapun statusku pendatang asing di 'dunia ini'. Sebelum masuk, aku melihat spanduk toko yang didatangi Attia. Kedai es krim.

Ada es krim di Upside Down? Wah...

"S-selamat sore." Atau masih siang?

Seorang wanita paruh baya tersenyum mendekatiku. "Ah, jadi kau anak yang diceritakan Atti kemarin. Masuklah, Nak. Ya ampun, dari sini aku sudah bisa merasakan energimu meluap-luap."

Kemarin? Kapan tepatnya? Tidak, tidak. Kan aku baru bertemu Attia hari ini. Uhh, aku sungguh kebingungan sekarang. Attia yang kuharapkan malah ngacir menyendok es krim.

"Namamu Eir Peaceful?" kata bibi itu, membaca bordir namaku. "Indah sekali. Ah, kau bisa memanggilku Mikaf."

"T-terima kasih, Bibi Mikaf—"

"Sudah kuduga, aku tak bisa menerima bocah ini di tim kita, Mikaf!" bentak seorang anak kecil, memotong salamku.

Aku menoleh, manyun. Pelakunya adalah anak perempuan yang lebih kecil dariku. Bilang bocah pada orang dewasa? Ngaca dong!

"Namanya Senya," sahut Attia, duduk santai di kursi mengemil es loli. "Bibi Senya mati di umur 10 tahun dan sudah terjebak di sini selama 30 tahun. Walau wujudnya bocil begitu, umur aslinya 40 tahun. Yang sopan padanya. Dia itu sepuh sekaligus ketua Para Keeper."

Gila! Jadi arwah selama 30 tahun?

"Ayolah Senya, kita kan mendiskusikan hal ini semalam. Eir bukan sekadar indigo biasa, dia indigo luar biasa."

"Nyonya Mikaf benar, Bi. Tidak hanya melihat, Eir bahkan dapat menyentuh roh jahat. Dia aset yang berguna untuk kita," tambah Attia.

Aset apanya woi? Aku orang bukan senjata! Ingin berteriak bilang begitu, tapi nyaliku tidak ada.

"Awalnya aku setuju, tapi tidak setelah tahu dia seorang pelajar! Bahkan aku yakin umurnya belum cukup 18 tahun. Oi, Nak, berapa usiamu?" tanyanya tajam.

"A-aku 16 tahun," jawabku kikuk. Hiks! Aku dipanggil 'nak' oleh orang yang lebih muda dariku. Di manakah letak harga diri~

"Kan! Dia hanya akan jadi beban."

"Ada apa denganmu sih? Kau berubah pikiran dalam sehari? Bukannya tadi malam kau yang paling setuju proposal mengajak Eir ke Keeper? Kita butuh dia."

"Anu...!" Aku berseru. Mereka menatapku. "J-jangan bertengkar. Aku kemari bukan menyulut perkelahian. K-kenapa kalian tampak mengenalku? Ini pertama kali aku melihat kalian."

Attia mendesah panjang, melompat dari meja yang dia duduki. "Kemarin kita bertemu, tapi aku menghapus ingatanmu supaya identitasku aman."

"K-kau bisa menghapus ingatan?" Sudah kuduga, memang terjadi sesuatu kemarin.

"Aku membicarakan tentangmu kepada Para Keeper tanpa menyangka akan bertemu lagi denganmu. Ini takdir, heh."






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro